Epilog : Tangisan Tak Tertahan

3.1K 136 1
                                    

Happy Reading!




Tubuh penuh luka goresan, sebuah alat penunjang kehidupan yang menempel dimana-mana, juga sebuah masker oksigen yang berada di wajah Raga membuat Julian tanpa sadar kembali menangis, begitupula dengan Jovan yang berdiri di sebelahnya.

"Adek!" panggilan itu, salah satu panggilan yang sangat Raga dambakan, akhirnya keluar dari mulut sang ayah. Namun sayang, Raga tidak bisa mendengarnya.

"Adek harus bangun! Ayah masih punya salah ke Adek, ada banyak permintaan maaf yang ingin Ayah ucapkan untuk Adek. Jadi, Ayah mohon. Adek harus bangun," ucap Julian dengan air mata yang berjatuhan sembari mengusap kening Raga yang tertutupi kain kasa.

"Dek! Ini Abang!" ucap Jovan sembari mengusap tangan Raga yang tak terpasang selang infus. "Adek harus bangun ya! Katanya Adek pengen kumpul lagi bareng Abang, bareng Ayah. Jadi, setelah Adek bangun, kita pasti wujudkan keinginan Adek. Iya kan Yah?" Jovan beralih menatap Julian yang sedang mencoba menahan isakan.

"Iya, Ayah dan Abang pasti wujudkan!" sahut Julian yang tanpa disadari oleh keduanya membuat setetes air mata jatuh dari kedua mata Raga yang terpejam, seolah mendengar dan merasa senang dengan ucapan kedua orang berharga di hidupnya itu.

"Lho, Adek kok nangis?" Julian yang menyadari adanya air mata yang mengalir dari kedua mata Raga lantas mengusap air mata tersebut. "Ini pasti tangisan bahagia kan Dek? Iya kan?" tanyanya yang tentu saja tidak mendapatkan jawaban apapun.

"Pokonya, Adek harus bangun ya!" ucap Jovan disertai senyuman kecil penuh harapan. "Kita, gak bisa lama-lama di ruangan yang kamu tempatin! Jadi, Ayah dan Abang tungguin kamu di luar ya."

Selepas Jovan dan Julian keluar, kini terlihat Josep dan Rangga yang masuk, keduanya menatap sahabatnya dengan pandangan sendu. Mereka mengobrol sebentar dengan Raga, lalu kembali keluar setelah sebelumnya berpamitan.

Dan kini, giliran Jean dan Kenzo yang memasuki ruangan ICU, tempat Raga di rawat. Terlihat Jean yang mencoba menahan tangis, sedangkan Kenzo sudah menangis dengan agak kencang saat melihat keadaan Raga. Sama halnya dengan Rangga dan Josep, keduanya mengobrol dengan Raga, lalu keluar.

Berganti menjadi Janu dan Jesa yang masuk. Diantara sahabat-sahabatnya yang lain, keduanya yang terlihat paling tegar di luar. Namun, dalam hatinya keduanya lah yang paling merasa terpukul. Secara yang satu sahabat kecil, yang satu sahabat sejak zaman masuk SMA. Yang secara tidak langsung, keduanya yang paling dekat dengan Raga.

"Ga! Gue yakin, lo pasti bangun kan?" tanya Jesa dengan air mata yang mengalir. "Jawab elah, jangan diem aja," lanjutnya menaikkan nada bicaranya. Membuat Janu yang berada disebelahnya mengusap bahu sahabatnya itu, sekadar menenangkan.

"Lo, gak mungkin ninggalin kita semua kan?" lanjutnya dengan nada yang sudah normal kembali. Yang lagi-lagi tak mendapat jawaban.

"Ga! Lo gak mungkin tega ninggalin sahabat kecil lo yang ganteng ini kan?" pertanyaan itu terlontar dari Janu, disertai dengan sedikit candaan yang menimbulkan kekehan pilu dari Jesa.

"Gue mohon, lo harus bangun ya Ga. Pas kecil kita dipisahkan oleh jarak. Pas udah gede kita sering ketemu di sekolah, tapi malah musuhan gak jelas. Dan baru beberapa bulan kita baikkan, jadi banyak impian kecil yang kita tulis untuk masa depan, yang belum kita tuntaskan. Lo tega kalau semisal ninggalin gue, Jesa, Rangga, Josep, Kenzo sama Jean."

"Kalau lo ninggalin kita, kita berenam kemusuhan sama lo," tambah Janu mencoba tegar ditengah atmosfer kesedihan yang tercipta dalam ruangan dengan khas obat-obatan ini.

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang