Happy Reading!
•
•
•
•Saat melihat putranya yang sudah tak sadarkan diri, ayah Raga bukannya menolong, ia malah berjalan ke arah kamarnya. Tanpa perduli dengan kondisi Raga, menurutnya itu sudah biasa.
Selepas kepergian majikannya, bi Munasih langsung menghampiri Raga. Di matanya sudah banjir air mata, dirinya menepuk pipi Raga pelan. “Den bangun, maafin Bibi karena gak bisa nolongin Aden,” ucapnya seraya terisak pelan.
Saat bi Munasih masih menepuk pipi Raga, seseorang yang baru memasuki pintu berjalan pelan, ia berjongkok di dekat tubuh Raga.
“Biar saya bantu Bi,” ucap orang itu pelan.
Bi Munasih mendongak, dahinya mengernyit saat melihat sosok asing di depannya. “Kamu siapa?” tanya bi Munasih pelan.
“Saya Janu Bi, teman sekelas Raga.” Mendengar itu bi Munasih langsung membantu Janu yang sedang mencoba menaikkan Raga ke punggungnya, menggendong tubuh Raga dibelakang.
“Mari! Bibi antarkan sampai ke kamar Den Raga.” Keduanya menaiki tangga menuju lantai dua, menuju kamar Raga lebih tepatnya.
Setibanya disana, bi Munasih kembali membantu Janu membaringkan tubuh Raga. “Den Janu diam dulu saja disini, itu juga bajunya basah kuyup gitu. Aden pinjam baju Den Raga saja ya?” ucapnya menawarkan diri saat melihat keadaan Janu yang sama seperti Raga.
Janu berpikir sejenak sebelum dirinya mengangguk. Melihat pemuda di hadapannya mengangguk, bi Munasih kembali bersuara, “Aden pakai saja kamar mandinya Den Raga, untuk pakaian, biar saya carikan dulu.”
Janu masuk kedalam kamar mandi dengan tangan yang memegang baju, beserta celana pendek selutut, sedangkan bi Munasih kembali mengambil baju ganti untuk Raga. Setelah semuanya ada, ia meletakkan pakaian tersebut di meja belajar Raga, dirinya berjalan keluar. Berniat memanggil sang suami untuk membantu dirinya mengganti pakaian Raga, karena tak mungkin dirinya yang menggantikan baju Raga.
15 menit kemudian.
Bertepatan dengan pintu kamar mandi yang terbuka, Janu keluar dengan sebuah kantong kresek berisi seragam juga hoodienya yang basah. Bi Munasih baru saja kembali dengan membawa dua gelas teh hangat. Btw, Raga sudah berganti pakaian. Suami bi Munasih langsung kembali ke belakang setelah selesai menggantikan Raga baju.
“Ini Den, Bibi buatin Den Janu teh hangat, diminum ya Den!” bi Munasih memberikan salah satu gelas tersebut.
“Makasih Bi,” ucap Janu menerima teh tersebut. lalu meminumnya pelan.
“Aden nginep saja disini, ini sudah mau magrib.”
“Eh, enggak deh Bi, saya mau pulang saja sekarang. Takutnya Papa nyariin.” Janu menyimpan gelas teh itu pada meja di sampingnya. Dirinya mencium punggung tangan bi Munasih.
“Makasih ya Den sudah bantu Bibi, juga membantu membawa Den Raga,” ucap bi Munasih dengan senyuman tulusnya.
“Iya Bi, saya pulang dulu ya Bi. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam.”
•
•
•
•
•
•Janu sudah sampai di halaman rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan berwarna putih yang baru saja masuk. Orang dalam mobil keluar, itu Mahesa, abang Janu satu-satunya.
“Habis darimana lo Bang?” tanya Janu.
“Dari kantor Papa,” jawab Mahesa. “Lo sendiri habis darimana jam segini baru pulang? Terus itu juga baju siapa yang lo pakai?’ lanjutnya bertanya secara beruntun.
“Satu-satu kali nanyanya,” ucap Janu yang hanya Mahesa balas dengan cengiran. “Gue habis belajar bersama dulu. Dan untuk baju, ini baju temen sekelas gue.”
Mahesa menganggukan kepala. “Gue masuk duluan,” ucapnya kemudian.
Janu mengikuti langkah Mahesa di belakang, setelahnya dirinya berjalan memasuki kamarnya. Meletakkan tasnya yang basah pada sebuah kursi, tangannya membuka resleting tas itu, mengambil buku-buku juga peralatan sekolahnya yang lain. Mengecek apakah ikut basah atau tidak. Soalnya dia juga tidak memakai mantel tadi, sama seperti Raga.
Setelah mengecek buku-bukunya, Janu menarik kursi satunya, menduduki kursi tersebut. Wajahnya ia tompangkan pada kedua telapak tangannya yang bertumpu pada meja. Ingatannya bergulir pada kejadian di rumah musuhnya tadi.
Jika kalian bertanya apakah Janu melihat kejadian di rumah Raga? Maka jawabannya ya, Janu melihatnya, bahkan dari awal hingga berakhir dengan Raga yang pingsan. Sebenarnya ia berjalan memasuki halaman rumah Raga berniat mengambil helmnya yang Raga letakkan di teras depan.
Namun, saat akan kembali ke motornya, indra pendengarannya mendengar suara bentakan keras di dalam rumah, membuat Janu penasaran dan berakhir dengan dirinya yang hanya bisa mematung melihat kejadian tindak kekerasan yang dilakukan ayah Raga di depan matanya.
Dirinya tak habis pikir, ada ya seorang ayah yang dengan tega menampar dan memukuli putranya sendiri. Bahkan sampai melontarkan kata-kata menyakitkan seperti itu.
Janu juga tak habis pikir, mengapa Raga tidak bersuara sama sekali untuk setidaknya melakukan sedikit pembelaan. Bukan malah diam menerima dengan pasrah, layaknya boneka yang sedang di pukuli.
Ada satu yang Janu dapatkan dari kejadian ini. Bahwa tingkah Raga yang selalu terlihat ceria dan juga jahil di sekolah itu kenyataannya merupakan topeng, sebuah topeng untuk menutupi kerapuhannya.
Ternyata, penilaiannya selama ini salah, kehidupan yang dilalui musuhnya itu tidaklah mudah. Ia kira hidup Raga bahagia dan selalu dipenuhi canda tawa. Karena setiap melihat Raga, ia hampir tak pernah melihat raut muram disana, lebih tepatnya sang empunya wajah terlalu pintar menyembunyikannya.
“Kok gue kasihan dan juga salut ya sama lo, yang bisa bertahan sampai sejauh ini,” monolongnya.
Ceklek
Suara pintu yang dibuka, membuat Janu mengalihkan pandangannya pada sumber suara. Disana ada sang papa yang berdiri masih dengan setelan kantornya yang belum diganti, tengah tersenyum lima jari ke arahnya.
“Papa kenapa senyum-senyum gitu? Habis menang lotre ya?”
Senyuman itu berganti menjadi sebuah dengusan kecil. “Lotre dari Hongkong,” balas papa Janu sebal.
_______________________________________________
To Be ContinueDisini! Kolom untuk mengeluarkan unek-unek kalian! Silahkan.
Dua kata untuk ayah Raga! Boleh di tulis di komen.
Jangan lupa tinggalkan jejak, juseyo!
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Piala untuk Ayah ✓
Fanfiction[END] Raga tahu, kesalahannya di masa lalu itu sangat fatal. Namun, mengapa? Mengapa harus Ayahnya yang membencinya? Disaat yang dirinya punya hanyalah Ayah? __________________________________________ "Maaf, belum bisa membuatmu bangga. Namun, bole...