23 : Terkejut

1K 82 2
                                    

Happy Reading!




Sebulan telah berlalu, sejak hari dimana Raga bertemu dengan Jovan. Setelah pertemuan itu, dirinya jadi lebih sering bertemu dengan Jovan. Menurut Jovan sih hanya kebetulan, namun entah mengapa Raga merasa tidak setuju dengan itu. Pertemuan keduanya seolah memang direncanakan, seolah Jovan memang sengaja menemuinya.

Keduanya memang hanya bertemu untuk saling mengobrol sejenak, tidak lebih. Namun, Raga selalu merasa janggal dengan tingkah Jovan yang bahkan sering tertangkap basah oleh Raga sedang menatap dirinya dengan pandangan yang lembut dan penuh kasih sayang? Entahlah, Raga tak berani memikirkan terlalu jauh.

Pagi-pagi sekali, di hari Minggu yang cerah ini. Raga sedang membantu pak Karyo, suami dari bi Munasih sekaligus ayah dari Laras. Sebenarnya, pak Karyo sempat menolak saat Raga menawarkan bantuan, namun Raga dengan sikap keras kepalanya tetap membantu pak Karyo. Alhasil dirinya saat ini sedang menyiram tanaman bunga matahari dan anggrek kepunyaan sang ayah sembari mengobrol ringan dengan pak Karyo.

"Laras, gak ikut Pak?" tanya Raga saat tak melihat adanya perempuan kecil yang sering dirinya ajak mengobrol itu.

Pak Karyo yang sedang mencabuti rumput liar yang tumbuh disekitar tanaman langsung menjawab, "Tidak Den, dia ikut dengan Adek saya ke pasar."

"Bang Asep, gimana kabarnya Pak? Dia baik kan? Saya sekarang jarang lihat Bang Asep kesini." Bang Asep merupakan adik kandung pak Karyo yang memang tinggal dengan sepasang suami isteri itu di Jakarta.

"Alhamdulillah baik Den, Asep sekarang sudah dapat kerja, makanya dia jarang kesini Den," jelas pak Karyo membuat Raga mengangguk paham.

"Pantesan," gumamnya. "Tapi, syukurlah kalau Bang Asep sudah punya kerjaan."

"Bunganya cantik," celetuk Raga seraya memperhatikan bunga matahari yang sudah ada beberapa yang tumbuh. "Ini semua, Pak Karyo yang tanam Pak?" tambahnya bertanya.

Pak Karyo menganggukkan kepalanya pelan. "Iya, Den."

"Bibitnya dapat dari Ayah?" tanyanya.

"Iya Den, dua bulan yang lalu Ayah Den Raga, membawa banyak bibit bunga anggrek beserta bunga matahari. Dan meminta ke Bapak agar di tanam di halaman belakang."

Raga mengangguk, pembicaraan itupun berhenti sampai disana, Raga mulai fokus dengan aktivitasnya menyiram tanaman, sedangkan pak Karyo saat ini sedang menanam bibit bunga matahari di lahan yang masih kosong.

"Ini, sudah Raga siram semua Pak. Sekarang mana lagi yang harus Raga bantu?" Raga menyimpan alat untuk menyiram tepat disebelah kakinya.

"Sudah Den, Bapak jadi gak enak, harusnya kan Aden diem aja di dalam. Atau ini kan hari Minggu, lebih baik Aden main sama temen-temen Aden, gak usah bantuin saya."

Raga terkekeh geli saat mendengar ucapan pak Karyo yang terdengar takut-takut. "Kalau sama saya, gak usah sungkan Pak. Lagipula, ini kan saya yang menawarkan diri buat membantu, bukan Pak Karyo yang menyuruh saya. Jadi, santai aja Pak."

"Lagipula, rencananya nanti siang saya baru main Pak," ucapnya. "Itupun kalau dapat izin dari Ayah," tambahnya lirih.

Raut wajah pak Karyo sedikit berubah menjadi sendu. Karena sudah bekerja cukup lama dengan Julian, membuat dirinya tahu sekali dengan apa yang terjadi antara sepasang ayah dan anak itu. Inginnya dirinya bersuara, apalagi jika sesekali saat melihat Julian yang bahkan dengan teganya memukuli putranya sendiri dengan kesetanan. Namun, apalah daya, walaupun sudah lama bekerja, ia hanyalah orang asing yang patut bersyukur sebab diberikan pekerjaan oleh Julian.

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang