12 : Kemarahan Sang Ayah

1.1K 72 1
                                    

Happy Reading!



Sesuai dengan kesepakatan Janu dan Raga, saat ini keduanya sudah berada di salah satu cafe yang terletak di seberang sekolah SMA Gardapati. Sesuai arahan bu Meta, mereka akan melanjutkan kembali sesi belajar bersama, mengevaluasi kembali pelajaran Fisika untuk olimpiade.

Tidak ada percakapan yang mewarnai sesi belajar bersama itu, mereka sama-sama konsentrasi dengan tumpukan buku paket di hadapan keduanya.

Salah satu pegawai cafe, lebih tepatnya waiters, menghampiri mereka sembari membawa buku menu, sebuah note book kecil dan bolpoint.

Janu mengambil buku menu yang disodorkan kepadanya, matanya meneliti dari halaman pertama hingga terakhir, mencoba mencari menu makanan yang sekiranya enak untuk menemani belajar mereka.

“Saya pesen cheescake 1 dan manggo float 1, itu aja Mbak!” Waiters tersebut terlihat mencatat pesanan yang disebutkan Janu. “Lo pesen apa?” lanjutnya bertanya pada Raga yang masih asik dengan buku paket ditangannya.

“Samain aja,” balas Raga tanpa mengalihkan pandangannya dari bukunya. Sesekali tangannya yang memegang pulpen mencatatkan sesuatu ke buku tulisnya.

“Bearti masing-masing jadi dua Mbak pesennya.”

Waiters itu mengangguk. “Baik, mohon ditunggu pesanannya Dek!”

“Hm,” balas Janu, setelah waiters itu pergi, dirinya kembali melanjutkan kegiatannya.

Tiga jam sudah mereka habiskan untuk belajar, diluar ekspektasi. Mereka yang biasanya saling melemparkan tatapan permusuhan, hari ini malah  banyak mengobrol saling bertukar pikiran tentang materi-materi Fisika.

Mereka berdua benar-benar mengukuti saran bu Meta untuk saling bekerjasama dan mengesampingkan ego mereka. Karena bagimanapun, keduanya ingin memenangkan olimpiade ini. Jika Janu ingin menang sebab sudah dijanjikan hadiah berupa mobil baru oleh papanya, beda dengan Raga yang ingin menang, agar tidak terkena amukan sang ayah. Sangat bertolak belakang sekali.

Raga membereskan buku-bukunya, memasukkannya ke dalam tas gendongnya, begitupula dengan Janu. Belajar bersama hari ini cukup sampai disini, ini sudah sore, sejam lagi waktu Maghrib.             

Raga menoleh ke arah luar melalui kaca jendela, hujan deras yang mengguyur sejak dua jam yang lalu belum kunjung reda. Dirinya menghela napas lega saat teringat di jok motornya sekarang sudah ada mantel yang tadi malam dirinya siapkan untuk antisipasi, takut jika sewaktu-waktu hujan. Dan benar saja, mantel itu akan berguna hari ini untuk melindungi tubuh juga tasnya.                                                                                                           
“Gue duluan!” Janu melangkahkan kaki melewati Raga yang sedang mengecek ponselnya.

“Tumben,” gumam Raga merasa heran dengan Janu yang berpamitan padanya. “Anginnya lagi bagus kali,” lanjutnya acuh. Dirinya ikut berjalan keluar, ke arah parkiran cafe.

Saat sudah sampai di samping motornya, Raga membuka jok, dan dirinya dibuat terbelalak saat tak melihat mantelnya disana. “Lah? Kok mantelnya gak ada? Perasaan pas malem udah gue masukin,” gumam Raga bingung.

Ia menghela napas kasar, setelah mengingat jika semalam mantelnya tak sempat dia masukkan sebab ada pedagang wedang jahe favoritnya yang lewat depan rumah, dan ia malah langsung berlari keluar tanpa ingat dengan mantelnya yang masih tergeletak. “Terpaksa hujan-hujanan kalau gini,” lanjutnya.

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang