Tiga bulan lalu, setelah Namjoon pergi dari salah satu hotel bintang lima yang terkenal di Korea Selatan, pria itu berencana terbang ke Hongkong keesokan harinya di pagi buta untuk urusan pekerjaan. Ia bahkan sudah menentukan jam penerbangan dan mengabari rencana tersebut pada istrinya yang baru mengandung.
Namun rencana memang terkadang tidak sesuai dengan keadaan. Namjoon terkejut bukan main ketika salah satu keluarga kerabat dekatnya mengirim kabar duka lewat telepon singkat. Dengan segera, pria itu langsung mengundur jam penerbangan sekaligus rapat besarnya di Hongkong. Meski risiko yang lumayan merugikan harus ia dapat setelah ini.
Namjoon bersiap sesingkat mungkin lalu pergi bersama istrinya yang bernama Yera menuju tempat upacara pemakaman. Suasana dalam gedung itu terasa begitu mencekam, dipenuhi raungan tangis dan begitu suram. Namjoon datang cukup terlambat. Bertepatan dengan kerabat dekatnya yang baru saja menyelesaikan pidato perpisahan.
Dan di sepersekian detik, mereka saling menatap.
Setelah memastikan posisi istrinya yang kini duduk bersama keluarga yang berduka, Namjoon buru-buru menghampiri kerabatnya. Seorang pria bertubuh jangkung dengan bahu lebar serta wajah yang tampan. Alih-alih kesedihan, pria itu tampak memamerkan senyum teduh yang selalu menjadi ciri khasnya.
"Hyeong," Namjoon tidak bisa menutupi kesedihannya.
"Persiapkan dirimu." pria itu menepuk pundak Namjoon tanpa menghilangkan senyumnya. "Jisoo sudah menganggapmu sebagai adik kecilnya. Dia akan senang jika kau berkenan mengatakan beberapa kalimat perpisahan."
Namjoon terpaku dengan mata berkaca-kaca. Bahkan setelah kerabatnya duduk lalu menenangkan ibu mertuanya yang tengah menangis, Namjoon masih berdiri di depan mereka dengan rahang mengeras. Katakan, apakah ini nyata? Batin Namjoon terus menyangkal keadaan yang terjadi. Kerabat dekatnya baru saja kehilangan seorang istri. Namun kenapa? Kenapa ia terlihat begitu tenang? Alih-alih Namjoon yang kini tidak bisa menahan diri untuk membuka kerapuhannya. Karena Jisoo yang ia kenal begitu baik dan menyayanginya layaknya seorang adik.
Namjoon mungkin akan terus kehilangan kendali dirinya jika Yera tidak segera mengajaknya untuk duduk. Upacara duka itu berlangsung khidmat. Namjoon bahkan maju untuk memberikan pidato terbaiknya yang ia persiapkan bersama perasaan emosional. Pria berlesung pipi itu tidak bisa menahan tangisnya saat mengenang kebaikan Jisoo, lalu menatap foto cantiknya yang terpajang di depan peti. Setengah jam kemudian, upacara itu selesai tanpa menanggalkan kesedihan yang masih tersisa dalam benak masing-masing.
Setelah para tamu yang hadir pergi untuk membubarkan diri, hal pertama yang Namjoon lakukan adalah mencari keberadaan kerabatnya. Di tengah lalu-lalang, Namjoon berjalan ke sekitar gedung untuk menemukan kerabatnya yang tiba-tiba menghilang. Pria itu tidak di mana pun. Yera bahkan ikut mencarinya. Namun yang ia temukan justru putra dari kerabatnya yang bernama Jeon. Anak berumur lima tahun itu kini menatap Namjoon kebingungan sambil membawa bingkai foto berukuran sedang berisi foto Jisoo yang sedang tersenyum manis.
"Kenapa Paman rusuh sekali?" Jeon bertanya dengan polosnya. "Kata Nenek, Ibu sedang berada dalam proses kremasi agar bisa beristirahat dengan tenang. Jadi Paman tidak boleh membuat keributan. Ibuku bisa terganggu."
Seketika Namjoon terdiam seraya memejamkan mata. Diikuti Yera yang hanya bisa menahan tangis sambil mengusap puncak kepala Jeon.
"Maaf, maafkan aku." Namjoon kini berjongkok dengan mata berkaca-kaca. Satu tangannya bergerak untuk menepuk pundak Jeon. "Aku hanya panik karena ayahmu tidak ada."
Mendengar itu, Jeon mengangguk-angguk seraya mengedikkan bahu. Anak itu tenang sekali. Seakan orang dewasa yang berada di sekitarnya bisa menjelaskan situasi dengan sangat baik. Namjoon dan Yera bahkan dibuat takjub dengan reaksi Jeon.
![](https://img.wattpad.com/cover/324355154-288-k303421.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Issues [M]
FanfictionDi tengah rintik hujan siang itu, Ryu Nari melihat seorang ayah berparas tampan yang duduk di depan minimarket tempatnya bekerja. Terdiam melihat putranya yang menangis histeris sampai berguling-guling di trotoar jalan. Awalnya, gadis itu tidak pedu...