Chapter 17

860 99 90
                                        

🐹

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐹





Kolumbarium saat pagi hari begitu sepi dan sunyi. Suasana hening yang mencekam diiringi embusan udara yang dingin mengiringi nuansa dalam ruangan penuh duka tersebut. Tempat di mana manusia menyimpan tanda yang mereka miliki sebelum pergi meninggalkan dunia bersama batas hidup yang telah tandas. Ahn Seokjin, pria yang turut menyimpan abu mendiang istrinya di tempat ini tiba-tiba datang dengan sebuket anyelir putih yang dihiasi pita berwarna merah.

Pria dengan jas berwarna abu serta rambut yang tertata itu kini memasuki ruang khusus di dalam kolumbarium. Raut wajahnya diliputi duka sekaligus kelegaan yang sukar dijelaskan. Seokjin terlihat sedih dan senang di saat yang sama. Pria itu tampak murung saat memasuki ruangan yang dikhususkan untuk penyimpanan abu milik mendiang istrinya, namun ada binar yang tidak bisa disangkal dari matanya.

"Aku datang," bisik Seokjin di tengah keheningan. Pria itu memang kerap kali bicara dengan lebih leluasa saat berkunjung pagi-pagi sekali. "Kali ini aku sendiri. Jeon masih tidur dan harus sekolah."

Hening sejenak. Butuh waktu bagi Seokjin untuk menyiapkan kata-kata lain agar bisa mengutarakan apa yang ingin ia sampaikan. Padahal biasanya tidak seperti ini. Semua yang dibicarakan Seokjin di depan guci abu mendiang istrinya selalu mengalir bagaikan air. Sejurus kemudian, pria itu menyimpan bunga yang ia bawa sebelum berdiri sambil menyatukan kedua tangannya di depan tubuh. Ia lantas menunduk, merasa begitu bingung dan ragu akan tindakannya kali ini.

"Aku merindukanmu,"

Keheningan kembali menyambut Seokjin dalam sepi.

"Aku ... selama ini aku selalu bersumpah pada diriku sendiri, pada apa yang sudah kita janjikan untuk sama lain." Seokjin kembali bicara tanpa berani mengangkat kepalanya. "Dan aku melakukan semuanya sendiri. Karena ... karena kau pergi meninggalkanku lebih dulu."

Pikiran Seokjin bergerak secara spontan, mengingat masa-masa sulit yang ia alami sejak kematian istrinya. Bagaimana Seokjin kesulitan menahan perasaan rindu, bagaimana Seokjin tersiksa karena sendirian, bagaimana Seokjin berduka karena kehilangan cinta pertamanya. Di tengah gempuran kesedihan itu, Seokjin pun berharap jika Jisoo akan menjadi cinta terakhirnya. Seokjin pernah berjanji untuk tidak lagi merajut kasih bersama orang lain.

Pria itu menautkan janji pada diri sendiri.

Namun semalam, takdir seakan mendorong kenyataan yang sulit untuk disangkal. Seokjin gagal menepati janjinya. Pria yang selama ini berdedikasi mati-matian untuk membuktikan kesetiaannya pada mendiang sang istri harus rela mempertaruhkan usahanya hanya karena terpancing oleh sentuhan kecil. Seokjin merasa bodoh. Seokjin merasa marah pada dirinya sendiri karena ia tidak bisa menahan perasaan yang mengalir dalam dirinya.

"Tapi apa yang kulakukan?" Tiba-tiba Seokjin berjongkok lantas terkekeh garing meratapi nasibnya sendiri. "Astaga, apa yang kulakukan?"

Keheningan kembali menyambut Seokjin dalam kubangan yang dipenuhi oleh rasa frustrasi. Kini Seokjin sibuk menjambaki rambutnya sendiri tanpa peduli dengan tatanannya yang rusak. Pria itu merasa malu, merasa begitu hina dan merasa begitu lancang karena menodai kesetiaan yang ingin ia persembahkan hanya untuk Jisoo. Namun di sisi lain, binar di matanya tidak bisa berbohong. Terdapat kilau yang kembali bersinar. Terdapat kelegaan yang kini mengalir di sana.

Daddy Issues [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang