Di tengah rintik hujan siang itu, Ryu Nari melihat seorang ayah berparas tampan yang duduk di depan minimarket tempatnya bekerja. Terdiam melihat putranya yang menangis histeris sampai berguling-guling di trotoar jalan.
Awalnya, gadis itu tidak pedu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🐹
Hidup menjadi orang tua tunggal tidaklah mudah.
Ryu Yunji tahu bahwa risiko besar harus ia hadapi ketika pertama kali mengetahui kehamilannya. Sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan terjadi begitu saja. Menghancurkan masa depan Yunji di saat umurnya masih begitu muda. Namun wanita itu memilih untuk memperjuangkan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Ia berjuang seorang diri dengan ambisi penuh akan kelahiran anaknya nanti.
Dulu, Yunji selalu berjanji pada diri sendiri. Wanita itu tidak akan pernah mempertemukan anaknya dengan sang ayah. Di saat pria berengsek itu memang tidak punya keinginan untuk turut bertanggung jawab. Selama kehamilan, Yunji menyimpan dendam yang begitu besar. Hingga anak itu lahir dalam keadaan sehat. Di sisi lain, Yunji begitu bersyukur. Namun ada banyak kesalahan yang ia perbuat dalam pola asuhnya.
Yunji baru menyadari kesalahannya setelah Nari memutuskan untuk melarikan diri. Selama hampir enam bulan, wanita paruh baya itu berpikir dan menyesali segalanya. Yunji sadar jika Nari tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Apabila seorang anak punya kemampuan untuk memilih orang tua, Yunji yakin bahwa Nari akan memilih tempat yang jauh lebih baik untuk dibesarkan. Lalu hidup dengan kepribadian ceria karena pola asuh yang benar.
Yunji sadar semua ini salahnya.
Setelah sekian lama, akhirnya Nari kembali. Yunji senang bukan main kala melihat anak semata wayangnya datang dalam keadaan baik-baik saja. Namun wanita paruh baya itu sadar bahwa ada sesuatu yang berbeda. Nari begitu sedih. Ketika gadis itu tiba-tiba memeluknya dan mengatakan bahwa ia lelah menjalani hidup, seketika Yunji merasa hancur dan gagal menjadi seorang ibu. Mereka berdua akhirnya menangis di ambang pintu. Di saat jam baru menunjukkan pukul lima pagi.
Yunji tidak tahu apa yang terjadi. Tiga hari setelah kembalinya Nari ia gunakan untuk pendekatan. Meski hubungan mereka semakin membaik selama ini berkat telepon dan pesan singkat, Yunji tetap merasa perlu melakukannya. Karena Nari terlihat sangat tersiksa. Ini saat yang tepat bagi Yunji untuk berperan menjadi ibu. Ibu yang jauh lebih baik. Yunji hanya bisa berharap bahwa Nari akan tetap menjadikannya tempat untuk berteduh. Di saat dunia begitu kejam pada mereka berdua selama ini.
"Nari, duduklah dan makan."
Yunji menghela napas untuk ke sekian kali, menatap eksistensi Nari dengan pandangan nanar. Gadis yang berbaring di tengah lantai, begitu lunglai menghadap televisi yang tidak menyala. Wanita paruh baya itu masih belum menemukan cara untuk bertanya mengenai keadaan Nari.
"Nari, kau belum memakan apa pun sejak kemarin." Yunji berkacak pinggang di belakang gadis itu. "Aku memanggang sosis dan membuat kimchi jjim. Makanlah selagi masih hangat."
Nari masih enggan untuk merespons. Gadis berpenampilan kacau dengan mata bengkak akibat kebanyakan menangis itu masih larut dalam lamunan. Menatap kosong layar televisi yang padam sejak pagi buta. Rambutnya yang berantakan terurai begitu saja di lantai. Sementara satu lengannya menyangga kepala sebagai bantalan.