❝ schöner geist ❞

74 4 0
                                    

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Vian menutup pintu kamar Elora. Dia menaruh Elora di atas kasurnya tidak sadarkan diri. Sebagai seorang dokter, dia tidak dapat menemukan kejanggalan yang membuat Elora bisa sampai seperti itu, "Jelasin adek gue kenapa." Dia melipat tangannya di depan.

Jika Vian pikirkan kembali, banyak kejadian absurd terjadi saat mereka pindah ke kota Feltbeaux, terutama setelah kematian orang tuanya. Selama ini, Vian tidak pernah punya pemikiran untuk mengulas hal tragis itu kembali. Lagipula dia memang tidak punya waktu untuk memikirkan itu.

Cedric mengulurkan tangannya, "Lu akan ngerti."

Rasa bingung dan was-was telah bercampur menjadi satu. Dia tidak mengerti harus melakukan apa, jadi Vian menyambut tangan itu dan membuat satu salaman singkat.

Di antara telapak tangan mereka, Vian dapat merasakan benda lancip. Ketika salaman itu lepas, dia menemukan batu kecil di tangannya, "Ini apa?" Tanyanya, berharap penjelasan lebih.

"Liat aja." Cedric mundur beberapa langkah menjauh dari Vian, membuat area kosong untuknya.

Batu berbentuk oktahedron itu Vian jepit di antara pucuk ibu jari dan telunjuknya. Warnanya bening keruh, hampir kehitaman, lalu di tengahnya terdapat simbol segitiga, lingkaran, juga garis lurus yang membagi bagian segitiga menjadi dua.



"Vian." Suara lembut menyapa telinganya.



Netranya beralih dari batu itu ke asal suara.



"Vian." Suara yang sama memanggilnya untuk yang kedua kalinya.



Dia tidak percaya dapat melihat sosok wanita yang dia kenal di depannya. Bohong kalau dia tidak langsung mencoba meraih wanita itu, "Mama . . ." Namun, tangannya melewati sosok transparan itu. Sekarang dia dapat membayangkan perasaan Elora saat orang yang dia cintai tidak dapat secara nyata dia rasakan.

Seperti bayi yang baru belajar berbicara, maka Vian bertelut lutut di depan ibunya sambil menangis, "Aku minta maaf." Vian tidak tau harus mengatakan apa. Dia hanya merunduk membiarkan air mata itu berjatuhan. Batu itu dia remas dalam kepalannya di dadanya, berharap mampu menghilangkan rasa sesak dalam hatinya.

Perasaan yang selalu dia sembunyikan di depan orang-orang tanpa direncanakan pecah.



"Untuk apa?" Suara yang berbeda.



Vian mendongak ke atas, mencari-cari suara lain yang juga dia rindukan, "Papa?" Remuk perasaannya melihat kedua orang tuanya datang dari akhirat ke dunia kehidupan. Walau hanya dalam bentuk roh, rasa kekeluargaan itu muncul kembali, "Aku nggak sanggup hidup tanpa papa mama. Aku masih banyak kurangnya. Ngurusin adek pun nggak bisa. Aku, aku . ." Banyak sekali yang harus dia perbaiki sampai dia tidak tau harus menyebutkannya mulai dari mana. Menggantikan posisi orang tuanya sebagai wali bukanlah hal yang mudah.

"Itu bukan salah kamu, Vian." Ibunya memberikan senyum yang penuh kasih.                         "Benar. Anak papa kan hebat." Sambung ayahnya, mendukung kalimat sang ibu.

Verlangen [Draco Malfoy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang