︶꒦꒷♡꒷꒦︶
Seperti biasa, lantunan instrumen klasik Elora putar dalam kamarnya. Ditemani hujan pagi hari yang menyejukkan.
"Selamat pagi, Pa, Ma." Elora merobek lembar kalender yang tanggalnya sudah lewat. Hari ini adalah hari kematian orang tuanya.
Suara berisik datang dari luar kamar, tanda Vian sedang menyiapkan sarapan.
"Pagi Kak." Sapaan pertama dari Elora saat membuka pintu kamarnya.
"Udah enggak ngambek?" Tanya Vian sebagai lelucon, "Nih, sarapannya ini aja ya." Vian menyodorkan sepiring telur mata sapi dan roti panggang. Tidak lupa memberikan pisau roti dan sebuah garpu untuk alatnya.
Elora duduk di atas bangku, menyambut makanan yang diberikan, "Makasi. Kok kakak pakai baju rapi?" Tanya Elora sambil menyuapkan potongan roti ke dalam mulutnya sendiri.
"Mau lamar anak orang." Balas Vian acuh tak acuh.
"Hah, serius?!" Elora sontak membelalak karena pernyataannya. Yang dia tau Vian album – maksudnya Vian single sejak dini.
"Menurut lo?" Vian memakai sepatunya, "Gue mau kunjungin makam papa, mama, habis itu ambil lembar kerja dan langsung pulang." Mengingat hari ini adalah hari sabtu, Vian tidak ada jam kerja, "Kamu mau ikut pergi bareng kakak enggak?"
Elora menggeleng, menolak tawaran kakaknya, "Enggak deh. Gue mau serahin proposal kerja di tea shop."
"Oke, siap bos. Hati-hati. Gue duluan ya." Ucap Vian di ambang pintu, "Semangat cari kerjanya!" Sahut Vian dari luar.
"Iya, hati-hati!" Balas Elora.
.0.
Sudah dua hari berturut-turut hujan melanda. Angin yang bertiup juga menambahkan rasa dingin, menusuk sampai ke tulang. Payung transparan dan turtleneck yang Elora pakai tidak cukup untuk menghangatkan dirinya dari suhu sedingin ini.
Untunglah, sekarang dia sampai di tea shop yang ia maksud. Sangat sederhana tetapi nyaman. Pemilik tokonya sangat ramah, penyampaian proposal dan interview kerja juga tidak memakan waktu yang lama karena pemilik toko langsung menerima. Mereka sedang membutuhkan karyawan sebagai tea brewer dan tentu saja saja Elora bersedia.
Dia akan bekerja di hari Kamis, Jumat, dan Sabtu sore mulai minggu depan. Dia diajari cara membuat teh langsung oleh pemilik toko. Walaupun hanya dasar pembuatannya, tetapi menurut Elora cukup menyenangkan. Selesai mempelajari sedikit cara pembuatan teh, Elora mengucapkan terima kasih lalu pergi.
Hujannya sudah mereda, hanya tersisa gerimis pelan. Payungnya ia lipat dalam genggamannya. Tiba-tiba seseorang menutupi kepalanya dengan coat, "Hei, pakai payungmu."
Ternyata si lelaki yang ia temui di halte bus kemarin.
Gila! Elora barus sadar kalau laki-laki yang di sampingnya ini ternyata setinggi itu sampai bisa menutupi kepalanya.
Dilihatnya pipi Elora memerah, "Kau pasti kedinginan."
Elora langsung menutupi pipinya dengan kedua tangan kemudian berhenti, membuat orang itu juga ikut berhenti.
"Kau tidak perlu melindungi kepalaku." Bukannya tak mau, tapi Elora takut kalau suara debaran jantungnya akan terdengar.
"Kalau begitu, setidaknya gunakanlah payung."
"Tak apa, ini hanya gerimis." Elora menunjuk kea rah langit yang masih mendung karena awan tebal. Tanpa aba-aba, hujan kembali deras. Bahkan lebih parah dari sebelumnya, kali ini dengan petir.
Orang itu mengangkat sebelah alisnya, merasa menang dengan perdebatan ini karena didukung oleh alam, "Bagaimana dengan sekarang?"
Elora menjadi semakin malu dan akhirnya menggunakan payung yang ia bawa. Dia juga kebingungan karena orang ini tiba-tiba datang padanya.
"Oh. Perkenalkan." Dia menjulurkan tangannya untuk bersalaman, "Aku Draco. Draco Malfoy." Elora membalas salamannya, "Aku Elora Mraw."
"Kau... akan pergi ke mana?"
"Membeli bunga." Jawab Elora sangsi. Untuk apa dia bertanya?
"Aku punya waktu luang. Biarkan aku menemani." Draco berbicara dekat telinga Elora. Karena sedang hujan, suara memang susah terdengar, tapi kalau sedekat ini, Elorapun bisa gila.
Tak dapat dipungkiri, Elora merasa sangat senang. Ia senang ada yang menemani kesepiannya hari ini.
Sebelum pindah ke kota Feltbeaux— tempat ia tinggal sekarang— keluarga Mraw sering berpindah-pindah perihal pekerjaan. Kota ini adalah kota ke-3 yang mereka tinggali. Sebab itulah Elora tidak terlalu dekat dengan teman-temannya. Ditambah lagi dengan kematian orang tuanya yang membuat ia merasa semakin kesepian.
Setelah beberapa zebra cross diseberangi, akhirnya mereka sampai di toko bunga 'die Blume'— tempatnya dulu bekerja paruh waktu. Elora membeli sebouquet bunga mawar dan melati.
.0.
Elora berdiri di depan dua buah pusara keramik dengan tulisan 'Dean Mraw' dan 'Vivian Mraw' terpahat di sana.
Elora terisak, tidak bisa menahan kesedihannya. Rasanya dingin. Begitu juga dengan hatinya. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia yakin tak akan bisa bertahan hidup tanpa Vian.
Sampai sekarang dia masih terus bergantung kepada Vian. Dia masih membutuhkan orang lain. Dia merasa orang tuanya meninggalkannya terlalu cepat. Dia masih butuh perhatian.
Draco tetap setia memayungi Elora dari hujan. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun, hanya diam, entah merenungkan apa.
"Papa... mama..."
.0.
Elora membuka pintu rumahnya.
"Adek?! Kok bisa basah kuyup gini sih?" Vian sigap mengambil handuk kecil untuk mengeringkan rambut Elora.
Elora malah menangis, masih terbawa perasaan sehabis mengunjungi kuburan orang tuanya, "Makasi ya Kak udah ngerawat adek. Adek bersyukur banget."
"Iya, iya. Gue sayang sama lo. Tapi jangan mandi hujan begini dong." Vian mengacak-acak rambut Elora dengan handuk yang sudah dia ambil.
Elora mengangguk sambil mengusap matanya yang banjir dengan air mata, "Ngomong-ngomong, itu yang di depan suruh masuk dulu Kak."
"Hah, ada siapa emang?" Vian berjalan kea rah pintu rumah. Mengintip dari jendela untuk memastikan, "Enggak ada siapa-siapa, Dek."
"Ih, ada Kak. Yang bawain payung." Elora masih mengatur nafasnya yang masih sesenggukan akibat menangis.
"Lah, itu? Jelas-jelas payungnya di tangan kamu." Elora menengok tangannya sendiri, baru sadar sedang memegang payung.
Elora mengedip-ngedipkan matanya untuk memastikan, "Tapi tadi—"
"Udah, sekarang lo mandi, gue bikinin makanan enak." Vian mengambil payung dari tangannya. Dia mendorong Elora pelan menuju ke kamar mandi lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.
Elora sendiri masih bingung. Elora ingat sekali Draco yang membawa payungnya.
to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Verlangen [Draco Malfoy]
Fantasi| Hidup seorang gadis yatim piatu yang belakangan selalu merasa kehilangan, kini digantikan dengan peristiwa yang jauh lebih mengerikan dari perkiraannya. Ia tidak menyangka akan berbenturan dengan dunia sihir sampai ia ditemukan oleh Draco untuk ke...