︶꒦꒷♡꒷꒦︶
Ternyata Draco membawanya ke sebuah taman. Mereka berhenti di depan sebuah truk es krim, "Kau mau beli es krim?"
Elora menganggukkan kepalanya cepat.
"Belilah." Timpal Draco. Elora yang tadinya tersenyum semangat, langsung cemberut. Elora mengira Draco akan menraktirnya.
Elora memutar bola matanya, tak peduli. Sudah bisa memiliki teman yang menemaninyapun sudah cukup baginya. Dia tetap membeli es krim, es krim rasa peppermint. Tetapi, Draco hilang dari sisinya, lagi.
Elora melihat ke kanan dan ke kiri seperti orang yang ini menyeberang jalan. Namun, ia tidak mendapatinya. Alangkah terkejutnya saat ia melihat ke atas.
"Draco? Sedang apa kau di atas sana?" Panggil Elora saat melihat Draco sedang bersimpuh di atas pohon. Entah kapan dia memanjat pohon itu.
Dia melompat turun dari atas pohon yang tidak terlalu tinggi itu, membawa satu buah apel hijau di tangannya, "Aku memetik apel." Dia tertawa kecil, "Mau?"
"Tidak, t'rima kasih. Aku sudah punya es krim."
Draco duduk di bawah pohon apel tadi, kemudian menepuk-nepuk tempat yang ada di sebelahnya, mengajak Elora untuk duduk di dekatnya. Mereka memulai sebuah percakapan sederhana. Elora yang memimpin percakapan, sedangkan Draco lebih sering mendengarkan.
Di saat yang bersamaan sebuah daun gugur dan tersangkut pada rambut Elora. Draco mengambil daun itu, lalu membuangnya sembarang. Kemudian Draco menatapnya lekat, membuat Elora jadi gugup karena sorot matanya yang indah. Draco menyibakkan beberapa rambut Elora yang terjatuh di menutupi wajahnya, ke belakang telinga kirinya. Jangan tanya seberapa berdebarnya Elora sekarang, "Lanjutkan ceritanya." Kata Draco.
Sambil mengatur degup jantungnya, Elora melanjutkan cerita-cerita randomnya. Saking panjangnya cerita Elora, mulai dari pekerjaan masa depan sampai peliharaan impiannya, Draco tak tahan untuk mengatup matanya. Bukannya karena membosankan, tetapi karena suara Elora yang menurutnya lembut ditambah angin yang berhembus tenang, membuatnya lambat laun mengantuk. Ia tertidur dengan posisi bersandar pada pohon itu.
Elora tertawa, gemas melihat Draco yang tertidur. Rambutnya terterpa angin sepoi yang sejuk. Diam-diam Elora bersyukur dalam bisa menghabiskan waktu dengannya. Kalau dipikir-pikir, Elora bahkan tidak tau benar tentang Draco, tetapi dia yakin dapat menaruh kepercayaan kepadanya. Dia juga ingin mengenal Draco lebih jauh.
Elora ikut menyandarkan punggungnya pada pohon sambil memegang cangkir es krim yang belum ia habiskan.
.0.
"Nak, permisi." Ada yang menggoncang-goncangkan bahu Elora. Tak disangka, Elora ikut tertidur saat bersandar tadi. Es krim yang dia pegang sudah mencair. Seorang ibu-ibu membangunkan Elora karena langit mulai mendung, takut kalau-kalau turun hujan, Elora jadi basah kuyup.
"Terima kasih, Bu." Elora menyampaikan terima kasih dan segera berdiri. Dan sekali lagi, Draco sudah tidak ada di sana. Dia sering pergi seenaknya. Tanpa mencari-cari lagi, Elora langsung melaju ke rumah, takut terkena hujan. Tengah berlari, handphonenya bergetar.
Nama Vian muncul di layar handphonenya, "Halo, Kak." Elora tetap berlari sambil mengangkat panggilan itu. Namun tidak ada jawaban dari sebelah sana, "Kak?"
"... Halo... Benar ini dengan adiknya Vian Mraw?" Bukan suara Vian.
Elora heran karena handphonenya berada di orang lain, "Oh, iya benar." Dia tetap menjawab setenang mungkin.
"Vian kolaps di rumah sakit dan sekarang tidak sadarkan diri. Bisa ke sini sekarang?"
Mendengar itu, rasanya kaki Elora langsung melemah. Dia khawatir sekali. Ada sedikit perasaan kesal karena Elora sudah melarangnya untuk bekerja pagi tadi. Tetapi, Vian terus membantah karena ada pekerjaan penting yang harus dikerjakan hari ini.
Langsung saja Elora menghubungi taxi dan menuju ke rumah sakit tempat Vian bekerja. Dia jadi bertambah kesal karena fakta bahwa Vian adalah seorang dokter, tapi tidak memperhatikan kesehatannya sendiri.
Setelah taxi terparkir sempurna di depan rumah sakit, Elora buru-buru menanyakan posisi kamar Vian kepada perawat di situ. Ia berlari ke ruang 365 dan mendapati Vian terbaring lemah. Bibirnya dan kulitnya memucat.
Di samping Vian, berdiri seorang dokter yang sepertinya adalah orang yang sama yang menghubungi Elora tadi, "Adiknya ya?"
"Iya, benar." Elora melangkah, mendekat ke bangsal Vian dan memegang tangan Vian. Suhunya meinggi lagi. Bahkan lebih panas dari sebelumnya.
"Sudah berapa lama kakak kamu sakit?" Dokter itu pasti ingin memastikan sesuatu.
"Dia sakit dari kemarin, Dok." Jawab Elora sejujur-jujurnya. Demi kebaikan Vian, tidak ada alasan untuknya berbohong atau menutupi sesuatu.
Dokter mengangguk-anggukkan kepalanya. Kerutan di dahinya terukir jelas. Dokter itu kelihatannya ingin menyampaikan sesuatu. Tetapi, ia sedang mencari situasi yang tepat untuk membicarakannya.
Tak perlu menunggu, Elora sudah tau ekspresi sang dokter, "Kenapa ya, Dok?"
"Kakakmu terjangkit demam berdarah." Dokter itu menghela napas berat, "Yang mengkhawatirkan adalah kakakmu ini, anemia juga. Jadi, pendarahan pada hidungnya memperparah kondisi dan bersifat fatal."
Elora jadi lemas. Sakit sekali mendengarnya.
"Kalau kakakmu kehilangan terlalu banyak darah, kami akan mempertimbangkan untuk melakukan transfusi darah." Entah memang kabar ini sangat mengkhawatirkan atau karena dokter menyampaikannya dengan nada yang sendu, Elora rasanya ingin menangis.
"Saya keluar dulu. Kabarkan kalau ada yang genting." Dokter itu keluar dari kamar pasien.
Elora duduk di atas bangku yang dia posisikan tepat di sebelah bangsal Vian. Elora menyeka rambutnya, melihat wajah kakaknya yang pucat pasi. Tubuhnya yang terlihat semakin kurus membuat hatinya pilu, "Kak... Adek ngomong enggak didengerin sih. Jadinya drop kan." Elora mengelus punggung tangannya, "Kakak jangan sakit-sakit dong. Nanti gue marah nih, kalau kakak enggak sembuh."
Mengingat bagaimana kakaknya bekerja keras untuk kecukupan hidup mereka berdua membuat Elora jadi menitikkan air matanya, sedih sekaligus terharu. Walau sibuk, ia selalu menyiapkan makanan untuk Elora dan hal itu tidak pernah tidak dia lakukan seharipun kecuali dia benar-benar tidak mampu, seperti sekarang, "Makasi, Kak."
Elora membaringkan kepalanya di sisi ranjang, masih menggenggam tangan Vian erat. Tak lama, ia tertidur karena kelelahan. Vian, walau matanya tertutup, ia ikut meneteskan air mata. Dia tidak bersuara, tapi dia bisa mendengar seluruh perkataan adiknya.
"Makasi juga, Dek." Vian membatin.
to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Verlangen [Draco Malfoy]
Fantasy| Hidup seorang gadis yatim piatu yang belakangan selalu merasa kehilangan, kini digantikan dengan peristiwa yang jauh lebih mengerikan dari perkiraannya. Ia tidak menyangka akan berbenturan dengan dunia sihir sampai ia ditemukan oleh Draco untuk ke...