❝ verletzend ❞

169 19 3
                                    

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Setelah menangis habis-habisan kemarin malam, akhirnya Elora terbangun dengan perasaan yang masih campur aduk. Setidaknya, kini ia lebih tenang dari hari sebelumnya.

Wajahnya sembab, matanya bengkak. Kepalanyapun jadi pening. Dia berharap tidak jatuh sakit hari ini karena ia harus pergi bekerja di tea shop.

Dia ingin melupakan semuanya. Rasanya terlalu menyakitkan untuk disimpan dalam memorinya.

Tapi, tebak... apa yang dia dapatkan setelah membuka pintu kamarnya?

,...

Siapa lagi kalau bukan Vian Mraw, kakak dari seorang adik yang semalam menangis sesenggukan di kamarnya. Vian berdiri tanpa ekspresi, membuat segalanya malah terkesan seram.

Elora memutar bola matanya malas. Yang tadinya ia mendongak untuk memandang Vian, sekarang tengah menunduk karena malas mendengar suaranya. Malas untuk menanggapi ejekannya lagi.

Vian ikut menunduk untuk melihat wajah Elora, "Muka kamu kayak disengat lebah, dek." Elora terdiam.

Vian mengeluarkan handphonenya. Elora kira dia akan bersikap lebih baik hari ini. Ternyata, ia mengeluarkan handphone untuk mengambil gambar wajah Elora. Sengaja ia gunakan flash, dengan niat untuk menghibur Elora.

Masalahnya, perilakunya ini tidak tepat untuk kondisi Elora yang sekarang.

Elora awalnya tidak mau berkutik dan berusaha menghindar dengan menutupi wajahnya dengan tangannya, namun ia tak tahan. Vian terlalu menyebalkan.

Elora berhenti, kemudian menatap Vian, tajam. Mata Elora memanas, berkaca-kaca akibat menahan emosi.

"Lo pikir lucu?" Ungkap Elora, akhirnya mengeluarkan kekesalannya. Suaranya bergetar, menahan tangis.

Senyum di wajah Vian sirna mendengarnya. Ada perasaan sedikit takut saat melihat keseriusan di mata Elora. Ia memasukkan handphonenya ke kantung celananya, "Maaf."

"Kenapa sih kak-- ?" Elora tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Ia hanya tak habis pikir, kenapa Vian tidak bisa serius. Apakah situasi dan kondisi yang sedang terjadi sulit untuk dia mengerti?

Benar. Dia mana mengerti tentang hal yang bahkan tidak pernah terjadi, ya kan?

Elora menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya.

"Kamu kenapa?"

Ah.. pertanyaan itu lagi. Pertanyaan yang selalu berhasil membuat bendungan pertahanan Elora runtuh serata-ratanya. Air mata yang ia tahan, akhirnya jatuh juga.

Melihat Elora belom sanggup menjawab, Vian memeluk Elora. Menepuk-nepuk punggungnya selagi Elora menangis di dalam dekapannya.

Setelah beberapa lama, akhirnya tangisan Elora mereda.

Vian menangkup pipi Elora, "Kenapa, El? Huh?" – Elora hanya bisa menjawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala.

"Ck." Kali ini Vian melipat tangannya, wajahnya menunjukkan wajah kesal, "Mana si Draco yang kamu bilang? Sini ketemu sama gue, biar gue siram pakai air panas!"

Elora senyum. Memang kedengarannya seperti bercanda, tapi Vian tidak pernah berbohong tentang melindungi Elora.

Dia pernah menggebuk teman sekolah Elora yang mengatainya dengan pianika sampai gigi temannya patah saat SD. Guru di sekolah ikut turun tangan atas permasalahan ini karena orang tua teman Elora meminta biaya perawatan rumah sakit untuk operasi jahit gusi.

Verlangen [Draco Malfoy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang