❝ dein kuss ❞

162 20 6
                                    

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

"Apa kau tau seberapa besar aku menyukaimu?"

Elora mengingat kejadian sore tadi. Semenjak bertemu dengan Draco hidupnya jadi terasa seperti roller coaster banyak sekali hal dan perasaan tak terduga yang datang.

Elora kini duduk di ujung kasurnya, ia menarik napas dalam-dalam. Mengosongkan pikirannya sejenak, kemudian menutup matanya. Dia ingin tau, sekali lagi saja, ia ingin memastikan tentang kognisi.

Dengan keinginan penuh, ia berusaha menciptakan Draco sesuai gambaran yang ada di kepalanya, "Draco..." Dalam hatinya, ia memanggil.

"Buka matamu." Panggil seseorang tepat di depannya. Sontak, Elora membuka matanya dan menemukan Draco sudah ada di dalam kamarnya.

"AAA! Pergi!" Elora menendang tulang kering Draco. Entah kesakitan atau tidak, detik berikutnya Draco menghilang lagi. Hal itu semakin meyakinkannya tentang pikirannya yang gila.

"Tambah gila gue lama-lama!" Teriak Elora ke dalam bantalnya.

Saat terdiam, Elora mendengar suara yang datang dari kamar sebelah, kamar Vian, "Iya, jangan lupa makan ya. Aku juga kangen kamu~"

Tanpa aba-aba ; bersedia, siap, mulai, Elora langsung berlari ke kamar Vian sembari membawa bantalnya dalam pelukannya. Ia mendobrak kasar pintu Vian yang tidak terkunci, membuat orang yang ada di dalam sana melompat saking terkejutnya. Buru-buru Vian mematikan mic di sambungan handphonenya.

"SIAPA TUH?!" Elora melempar bantalnya langsung ke muka Vian.

"SHHH!" Vian menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya sendiri, mengisyaratkan Elora untuk diam. Terdapat bayangan terkejut dan malu-malu di wajahnya, "Pacar gue ini." Ia menunjuk handphonenya.

"Hah?! Kok kakak enggak kasi tau gue? Bete lah." Elora menghentakkan kakinya.

Awalnya Vian ingin membalas amarah Elora. Seperti biasa, mereka pasti akan beradu argument, namun, suara dari handphone memecah arena debat kakak-adik itu, "Halo, Vian? Halo~ Kok putus ya?"

Vian mendekatkan handphonenya, "Halo? Hahaha, iya maaf tadi ada tikus."

Jawaban Vian membuat Elora melototinya. Sambil menjepit handphonenya di antara bahu dan telinga, Vian mendorong Elora keluar dari kamarnya dan mengunci pintu.

Iseng, Elora memukul pintu kamar Vian dan berteriak, "Jangan mau sama kakak saya, pantatnya bisulan!"

Vian memukul balik pintunya, "Berisik lo! Lama-lama bolong pintu gue!"

Elora berlari ke kamarnya, tertawa karena berhasil membuat Vian marah.


.0.


Satu sosok yang terlihat sangat tidak bersemangat dan lesu bagaikan unta kehausan di padang pasir adalah Vian. Dia terbaring dengan keadaan terbalik di sofa ruang tengah. Kakinya bertumpu di sandaran sofa dan kepalanya menghadap ke bawah.

"Adekkk!" Rengeknya sambil memegang handphone, "Dia lama banget sih balas pesan kakak, padahal notifikasi udah kakak atur sampai volume maksimal, tapi tetap tiada bunyi yang kentara dari handphone ini." Vian cemberut.

"Dih. Liat tuh muka lo, udah kayak mentega meleleh. Dasar budak cinta!" Sindir Elora sambil merapikan isi tas nya.

Konsonan langit menjawab permintaan Vian! Tiba-tiba terdengar nada dering yang super kencang dari handphonenya. Berbeda dengan Elora yang terperanjat, Vian langsung bangun dari posisinya,

"WOW! DIBALAS DEK, WOW! NINU NINU!"

Elora memutar matanya malas, juga menutup telinganya dengan kedua tangan, "Narsis banget sih. 'Ninu ninu', emangnya ambulans?!"

Vian menjulurkan lidahnya, mengolok, "Biarin." Senyumnya melebar, gembira sekali.

Elora menggeleng-gelengkan kepalanya, lucu dengan sikap Vian hari ini. Ia berjalan keluar rumah, tertawa teringat Vian. Namun, tawanya itu kian menyedihkan, mengingat bahwa dirinya belum pernah merasakan sensasi geli seperti itu.

Jalan cintanya pelik. Bukan seperti cinta Vian dan pacarnya.

Elora berjalan kaki untuk menuju ke taman tempatnya beberapa kali bertemu dengan Draco.

Di ditu ada gazebo yang terbuat dari kayu mahogani berwarna oker kuning. Beberapa tanaman terlihat telah melilit bagian atap dan tiang dari gazebo itu. Elora memilih untuk sekedar duduk dan mendengarkan lagu dari earphone nya di situ. Di dalam gazebo kecil itu, suasananya sangat nyaman dan menenangkan.

Alunan lagu yang Elora dengar juga mendukung suasana itu.

Dalam kepalanya, ia kembali mengingat bagaimana sepinya kehidupan. Dan di saat-saat terendahnya datang seorang 'Pangeran'. Di saat itulah datang seorang Draco Malfoy, mengisi hari-harinya.

Seseorang yang dia tak pernah duga akan muncul ke dalam cerita kecil kehidupannya.

Sebenarnya, sekarang Elora tengah merutuki dirinya sendiri karena memikirkan Draco. Dia takut bayangan itu akan muncul lagi di hadapannya.

--- Semua usaha itu hanya Kesia-siaan. Karena, seberapa keraspun ia mencoba, sosok yang muncul memang selalu Draco.


Laki-laki berbaju serba hitam itu muncul. Lagi.

"Bisakah kau berhenti muncul di hadapanku?" Elora menaruh tangannya di depan dadanya, berharap sesak yang ia rasakan dapat sirna. Matanya berkaca-kaca.

Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Draco mengambil Langkah untuk lebih dekat dengan Elora. Ia meniup dahi Elora. Pelan dan hangat, seperti sedang menyalurkan ketenteraman,

"Kau bisa merasakan itu?" Tanyanya setelah adegan yang berselang hanya selama tiga detik tadi.

Tiupan itu memang terasa nyata. Sama seperti bayangan-bayangannya yang sebelumnya. Sangat realistis.

Elora tidak mau tenggelam dalam bayang-bayang yang sama. Ia menggelengkan kepalanya dengan maksud : dia tidak bisa merasakannya secara nyata.

Kemudian, Draco memeluknya. Pelukan yang hangat dan menenangkan, sama seperti impresi tiupan tadi.

"Kalau ini? Apa masih terasa tidak nyata?" Pertanyaan itu muncul saat Elora masih berada di dalam dekapannya. Tak sadar, apa yang sudah ditahan Elora dari tadi akhirnya pecah juga. Ia menangis dalam diam.

Isakan yang ia tahan supaya tidak bersuara membuatnya semakin sesak. Earphone yang ia pakai juga sudah jatuh, menggantung di bahunya.

"Jangan mengadakan yang tidak pernah ada. Jangan menyatakan yang tak pernah nyata." Dengan suara yang gemetaran, Elora berani mengatakan kalimat itu. Kalimat yang sebenarnya ia tujukan kepada dirinya sendiri sebagai pengingat seperti mengatakan : "Jangan mimpi!"

Draco tidak bisa melihatnya menangis seperti ini. Saat melihat Elora seperti itu, hatinya juga ikut terluka.

Tangannya seperti bergerak sendiri. Draco menaruh tangannya di samping telinga Elora, memegang kepalanya di antara helaian rambut panjang Elora.

Ia mencium Elora.

Butir air mata Elora mengalir dari pipinya ke pipi Draco karena wajah mereka bersentuhan. Sesungguhnya, Elora marah namun ia tidak ingin menolak.

"Apa masih kurang nyata?" Tanya Draco lekas setelah ciuman itu berhenti.

Namun, belum keluar suara dari Elora, sudah ada yang berteriak dari kejauhan, "Asu!"

Ternyata orang itu adalah Vian.




to be continued

Verlangen [Draco Malfoy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang