Kebenaran

107 11 2
                                    

"iya sayang, maaf ya?"

"iya. Jadi, sekarang mau cerita apa engga?" Arva terdiam sebentar membuat Kafka menghembuskan napas

"aku ga maksa" Kafka berbalik dan berjalan menuju kamarnya, Arva langsung menyusul.

"iya, aku cerita. Jangan marah?" Kafka yang duduk dipinggiran kasur mengangguk.

"aku mulai dari mana?" Kafka mengedikkan bahunya tanda tidak tau

"okay, kita mulai dari awal kita ketemu" Arva duduk disamping Kafka dan menaro kepalanya di paha milik Kafka, menuntun tangan Kafka untuk mengelus rambut hitam miliknya

"kamu ingat kan saat kamu duduk dikursi aku waktu itu? Aku ga suka sama orang yang menggantikan posisi ku. Aku benci. Bahkan temen-temenku kalau duduk dikursi itu, aku langsung marah. Tapi, pas aku lihat wajah kamu, aku ngak bisa marah."

"kenapa?" tanya Kafka dengan tangan yang memainkan rambut milik Arva

"entah. Aku juga tidak tau. Ka, kamu percaya kan, kita bisa jatuh cinta pada pandangan pertama? Mungkin itu terjadi sama aku. Pas kamu pergi dan disusul Joe, aku cemburu. Dan juga, pertemuan kedua kita, saat kamu main kerumah? Kamu lucu pake celemek milik papa. Kamu persis sama papa, ka. Aku makin jatuh lebih dalam."

Kafka menyunggingkan senyum tipisnya.

"kamu tau rumah kosong dihutan itu? Aku ngak pernah bawa siapapun kesana. Karena itu tempat rahasia kita berenam. Mungkin sekarang bertujuh karena kamu tau." Arva tersenyum tipis.

"Saat kamu diajak bolos sama Joe. Disana gue dikasih tantangan buat dapetin kamu, kalau kamu jadi pacarku sebelum 1 bulan, aku menang. Jika engga, aku kalah, aku harus memberi motor kesayangan ku ke Bara."

"jadi, lu menang kak?" suara Kafka berubah, Arva langsung duduk dan menatap Kafka, ia menggeleng ribut

"lu menang kan? Lu udah dapetin gue. So, gue cuma jadi bahan taruhan gitu?" Arva makin menggeleng

"aku yang kalah, ka." Kafka mengerutkan dahinya, Arva menghembuskan napas

"aku jatuh sama kamu. Bahkan sebelum tantangan itu, dan, karena tantangan itu aku makin paham sama perasaan ku." Kafka hanya terdiam, ia ngak mau marah, cukup diam dan dengerin penjelasannya.

"aku salah, aku akui itu. Tapi, aku mencintaimu itu ngak bohong, ka."

"gue percaya"

"ka, Aku."

"iya, aku percaya"

"tadi malam aku mabuk. Kamu mau tau?" Kafka mengangguk lagi, ia sangat penasaran

"Aylen, dia ngomong dia suka aku. Saat aku bilang aku suka kamu, dia langsung marah, dia bilang kalau aku ngak nerima dia, dia bakal ngomong sama kamu kalau aku cuma mainin kamu. Nyatanya engga, ka, aku tulus. Aku juga takut kalau kamu marah sama aku, terus kamu pergi. Aku gamau kehilangan untuk kesekian kalinya" Kafka terdiam. Otaknya berputar hingga entah ide dari mana ia memancing Arva untuk menceritakan masa lalunya

"kesekian?" pancing Kafka

"iya. Papa dan..."

"dan?"

"Nesha. Aneesha"

"siapa?"

"my first love"

"terus sekarang kemana dia?"

"pergi, pergi jauh, ka. Kata-kata kamu bener, ka. Seingin apapun kita punya ending yang bahagia kalau sang penulis berkehendak lain, pasti akan susah. Penulis itu sama seperti Tuhan, kita adalah tokoh yang dijalankan oleh sang penulis. Akhir hidup kita, yang nentuin juga penulis, kita hanya mengikuti alurnya. Mungkin, aku sama Nesha bukan jodoh, dan, Tuhan lebih menyayanginya jadi, Tuhan mengambil Nesha dari ku, dari keluarganya dan dari dunia ini."

"meninggal? Karena?" dalam hati, Kafka berdoa agar semua yang diucapkan abang nya berbeda dengan yang diucapkan oleh Arva

"saingan? Aku, Arvin dan Nesha. Kita ada dalam cinta yang sama. Dimana aku dan Arvin, saudara kembar ku sendiri mencintai sosok yang sama. Mereka bilang, aku pemenangnya nyatanya, aku kalah. Nesha mencintai Arvin." Kafka dibuat terkejut. Ada apa dengan semua ini? Yang bener yang mana?

"Kafka. Nesha suka Arvin. Aku deket dengan Nesha hanya menjadi jalan untuk mereka berdua bersatu. Tapi, nyatanya semua berubah saat Arvin marah ke aku, Arvin kira, aku yang menjadi penghalang, aku perebut. Kita berantem pas jam istirahat kedua, kita berantem di roftop sekolah lama ku. Hingga sebuah Peluru mengenai tepat di dada kiri Arvin, aku yang terkejut langsung mendorong tubuhnya, dia jatuh dari ketinggian. Detik itu juga, Nesha sampai diroftop. Ia melihat Arvin dibawah dengan darah yang berceceran. Tanpa berfikir panjang, Nesha loncat. Membuat ku makin merasa bersalah. Saat aku terdiam, Keivan, datang dan langsung menonjokku. Dia marah, dia membenci ku. Aku salah. Kamu boleh hukum aku"

Kafka terdiam mendengar penjelasan panjang jadi Arva.

"hukum? Untuk?"

"aku tau, ka. Kamu Kafka Prananta anak bungsu keluarga Prananta. Keivan, abang mu, dia menyuruhmu untuk mencari ku, lebih tepatnya mencari m.j" Kafka terdiam, ia diam seribu bahasa.

"ka, 1 rahasia lagi. Kei dikirim kesana itu karena, Kei yang berada ditkp saat mereka jatuh. Dan dia mengakui bahwa dialah yang mendorong Arvin jatuh. Dan, Kei menyuruhmu untuk mencariku, hanya untuk mencari sosok dibalik kejadian 2 tahun silam." Kafka masih diam, ia tidak paham yang dimaksud sama Arva

"intinya, Kei membenciku karena aku tiba-tiba kabur begitu saja, tanpa meminta maaf. Dia ingin mencariku hanya untuk mengajak kerja sama. 1 tahun yang lalu, aku mendapatkan surat dari Kei yang mengajak ku untuk bekerja sama. Namun, aku terlalu takut dan terlalu pengecut. Aku lari, lari dari kenyataan"

"Kafka sekarang tau kan? Jadi, kalau kamu mau ngasih tau aku ke Kei, silahkan, sayang. Aku ga masalah." Kafka tersenyum dan mengangguk tipis

"kamu ga salah?"

"aku salah"

"iya, salah sedikit" Arva langsung memeluk tubuh Kafka

"tapi, bang Rafka benci m.j" Arva tersenyum tipis mendengar ucapan Kafka

"bang Rafka benci m.j bukan benci Marva"

"iya juga!" ucap Kafka semangat

"jadi, ini tugas ku selesai ya?" tanya Kafka antusias

"selesai. Namun, kisah kita belum" Kafka tersenyum lebar ia mendekatkan dirinya dengan Arva, mengecup bibir milik Arva, hanya kecupan

"AKU TAU!" Arva terkekeh, ia menyatukan keningnya dengan kening Kafka. Arva memberi beberapa kecupan dibibir milik Kafka.

Selesai. Mencari kebenaran sudah selesai.

End

Who M.J? [boyslove] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang