"nyonya tolong kata-katanya." ini Jack yang berbicara, ia memijat pelipisnya yang terasa pening
"tidak bisa begitu, pak. Saya disini minta pertanggungjawaban. Ini menyangkut masa depan anak saya satu-satunya"
"ibu ini banyak bacot sekali" Kafka membatin "maafin papa mu ini, nak. Emang emak tua ini butuh dikasih penjelasan"
Kafka menatap Anita yang juga menatapnya. Anita menggeleng pelan seolah mengatakan "jangan lepasin Arva"
"kak, lu sayang sama gue, kan?" Arva diam, ia menatap Kafka dengan tatapan datar. Waduh, Kafka lupa
"kakak sayang Kafka, Kan?" Arva melembutkan tatapannya, ia mengangguk mantap
"jadi, nikahi Anita. Jika bukan untuk Anita setidaknya untuk anak kakak, untuk aku, biar aku hidup tanpa rasa bersalah" Kafka mengangguk mantap.
"setelah anaknya lahir, aku boleh cerai, kan, ka?"
"jangan jadi bajingan, kak. Aku benci cowo bajingan" Arva bingung, ia tidak ingin meninggalkan Kafka sendiri, namun, disisi lain ia tidak ingin menjadi cowo bajingan yang dimaksud Kafka
"aku oke. Aku ga masalah, nanti aku bantu kakak buat ngerawat bayinya. Kita rawat bayinya bareng-bareng, okay?" inilah sifat Kafka yang paling dibenci Arva. Sifat yang merasa semuanya tidak apa-apa, sifat yang selalu tegar.
Ka, jangan jadi kuat. Setidaknya, tidak didepan Arva
"kak Arva terima, kok. Tante gausah khawatir, kak Arva bakal tanggung jawab" Kafka tersenyum lebar yang malah membuat Anita menangis
"gausah, ka. Beneran gapapa, nanti saat anaknya lahir, aku kasih dia ke kamu, biar kamu ngerawat anak ini sama kak Arva. Aku oke" Kafka menggeleng, ia menghampiri Anita, duduk disamping wanita ini
"nit, aku pernah baca beberapa novel yang didalam ceritanya, seorang wanita hamil dengan laki-laki lain tapi, minta tanggung jawab sama laki-laki yang ngak ngelakuin itu..."
"jadi, kamu nuduh anak saya?" Kafka menoleh ke arah ibu Anita, Kafka menggeleng
"engga, aku ngak sejahat itu, tan. Aku percaya, anak ini anak kak Arva. Karena itu, aku ikhlaskan kak Arva, jadi, Anita. Tolong jangan kecewain kepercayaanku, ya?" Kafka mengelus perut buncit Anita
"oh, iya. Aku pamit, ya? Tadi aku kesini karena ingin bilang kakak, kalau aku mau pulang ke Jogja, kak Kei menyuruhku pulang. Nanti pas nikahan aku dateng, janji" Kafka nunjukin 2 jarinya yang membentuk huruf 'v'
"aku pamit dulu, ma, dad, mom, tante, om, Anita." Kafka tersenyum lebar, ia berjalan kearah Arva
"aku pulang dulu, ya? Aku mau cari cewe" Kafka mengecup bibir Arva, membuat orang tua Anita terkejut. Berbeda dengan keluarga Arva yang tersenyum
"reflek" Kafka terkekeh kecil, ia berbalik dan berlalu pergi, disusul Joe
"kemauan bayi, ya?" Kafka terkejut saat akan menaiki motornya
"ketinggalan, ni" Joe mengulurkan testpack milik kafka
"nemuin dimana?"
"jatuh, untung gue yang nemu. Mau minta tanggung jawab, ga? Biar gue jadi wali nya" Joe terkekeh.
"ayo gue anter" Joe menaiki motor Kafka, menyuruh Kafka untuk duduk dibonceng an
"gue nangis" ucap Kafka tiba-tiba. Joe mengangguk, ia tidak menggunakan helm.
"cowo juga boleh nangis, ka" Joe menghentikan motor Kafka ditepi jalan sepi, disini ada bangku kosong. Mereka berdua duduk disana dengan Kafka yang tidak berhenti menangis
"besok jangan sedih" Joe mengusap air mata Kafka.
"ini nanti sedih" Kafka terkekeh saat rasa geli berada diperutnya yang diusap oleh Joe
"umur dia berapa?"
"satu bulan"
"abang gue bangsat, ya?"
"banget, tapi gue sayang"
"gue boleh bilang lu bodoh?"
"boleh, banget"
"bodoh, bodoh, bodoh, idiot, goblok, tolol"
"thanks"
Mereka berdua tertawa. Kafka terdiam sebentar, ia baru menghubungi bang Rafka untuk menjemputnya
"setelah kak Arva nikah, gue mau pindah" Joe yang dari tadi menatap langit malam yang kosong itu mengalihkan pandangannya kearah Kafka
"pindah?" Kafka mengangguk, ia mengusap perutnya. Rasanya sakit, bukan perut Kafka, tapi hatinya
"gue pengen ke negara yang kira-kira ga di jangkau oleh kak Arva" Joe menghembuskan napasnya
"gue ke Prancis aja ga si? Setidaknya sampai anak ini besar" Joe mengusap kepala Kafka
"lu ga minta tanggung jawab? Kan anak disana juga butuh ayah, ka" Kafka menggeleng
"gue cowo, Anita cewe. Kalau gue minta tanggung jawab, terus gimana sama Anita dan bayinya? Kan, kalau kak Arva yang bertanggung jawab ke Anita gue masih bisa hidup, gue bisa jadi papa dan ayah si bayi. Why not?" Joe kehabisan kata-kata, ia hanya diam sambil menatap langit malam kembali
"ka, sedihnya jangan lama-lama. Nanti langitnya juga sedih" Kafka memandang keatas, ia terkekeh.
"lu bener, gue kudu bahagia. Kata dokternya, gue ga boleh stres"
"lu emang jangan stres. Sorry sorry aja ni ye, gue ga mau punya ponakan yang stres"
"cocotmu, jo" Joe tertawa
"kalau anaknya lahir, lu pengen dia mirip siapa?"
"kak Arva. Biar kalau gue kangen, gue bisa terus natap anak gue nanti"
"kalau gue pengen dia mirip lu. Biar ada Kafka kecil yang kuat"
"tapi ga boleh ada Kafka kecil season dua. Anak lu harus bahagia" lanjut Joe, Kafka mengangguk.
"jo, kenapa gue ga pacaran aja sama lu ya?" Joe tertawa
"lu nya si goblok to the Bone. Dahal dulu gue udah ngode-ngode. Ya udah lah. Kita bukan jodoh kali"
"ka, jaga Dedek bayinya, ya? Setelah lulus sekolah gue langsung kesana buat bantu lu. Nanti pas lu udah masuk bulan ke 8 gue juga kesana buat temenin lu lahiran" cerocos Joe. Kafka mengangguk-angguk saja
"ayo, Jo. Bang Rafka udah di depan apartemen gue"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Who M.J? [boyslove]
Randomsemua orang mengetahui namanya namun mereka tidak mengetahui siapa dibalik nama M.J M.J ketua geng motor yang terkenal di kotanya. hingga seorang laki-laki yang rela pindah sekolah demi mencari siapa m.j. dia, Kafka Prananta. pemuda umur 16 tahun...