1 | Kesepakatan Dimulai

131 11 0
                                    

Dhisa masih saja bercermin meskipun dirinya sudah selesai berpakaian sejak setengah jam yang lalu. Ia dan Abi sepakat akan pergi ke Malangbong tepat jam empat sore, setelah pria itu pulang dari kantornya. Permintaan yang Abi ajukan telah ia setujui usai pulang dari rumah Pak RT. Mereka sempat membicarakan detail yang harus dijalani senatural mungkin, agar Ilmi dan Tomi bisa dibungkam untuk tidak lagi menyebarkan fitnah soal Abi.

"Aduh ... penampilan anak gadis Ibu cantik sekali. Sore-sore begini kamu mau ke mana, Sayang? Kamu teh sudah ada janji dengan seseorang?" tanya Salma, sambil berupaya menahan-nahan senyumnya.

Dhisa menggigit bibirnya secara diam-diam karena merasa gugup. Karena ia sudah menyetujui permintaan Abi, berarti kini dirinya juga harus memberi tahu hal yang sama kepada Ibunya.

"Iya, Bu. Aku sudah ada janji mau jalan-jalan sore ini ke Malangbong. Sekalian, aku mau mampir sebentar di klinik," jawab Dhisa.

"Sama siapa? Bilang saja, jangan takut. Ibu enggak akan melarang kamu pergi meski tahu dengan siapa kamu akan pergi."

Dhisa juga jelas tahu mengenai hal itu. Sejak dulu Salma memang tidak pernah melarangnya untuk berteman atau dekat dengan siapa pun. Bagi Salma sendiri, Dhisa adalah sosok yang bisa menjaga dirinya dan tahu betul akan sebuah batasan yang tidak boleh dilanggar. Maka dari itulah tidak pernah ada larangan untuk Dhisa jika ingin pergi dengan siapa pun.

"Itu, Bu ... aku akan pergi sama Kak Abi. Ibu masih ingat Kak Abi, 'kan?"

"Oh, kamu sudah janjian dengan Abi. Ya sudah, tunggu apa lagi? Ayo, cepat turun. Jangan buat orangnya menunggu terlalu lama," saran Salma, tampak antusias.

Dhisa pun mengangukkan kepalanya seraya tersenyum. Ia benar-benar mencoba untuk terlihat wajar di hadapan Salma. Ia tidak mau apa yang disepakatinya dengan Abi diketahui oleh Salma, agar kesepakatan itu tidak perlu menjadi berantakan.

Di luar, Abi yang telah mandi dan berganti pakaian setelah pulang dari kantor kini berdiri tepat di depan gang kecil yang menjadi tempat pertemuannya dengan Dhisa tadi siang. Tatapan Ilmi dan Tomi mendadak terarah kepada Abi, begitu pula dengan beberapa orang yang sudah mengenal Abi sejak masih anak-anak, yang saat itu sedang berkumpul bersama Nisa--anak Pak RT.

"Mau ngapain kamu mendekat ke rumah kami? Kamu mau mencoba menggoda Istriku agar berpaling padamu lagi, hah?" teriak Tomi, kembali menggulirkan fitnah lainnya untuk Abi.

Yatna dan Marni--kedua orangtua Abi--segera keluar dari halaman rumah mereka saat mendengar suara Tomi yang begitu keras. Abi sendiri sama sekali tidak menanggapi fitnah yang baru terucap itu karena sedang mencoba melakukan saran yang diberikan oleh Dhisa. Ia ingin mencoba tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan, terutama jika orang itu adalah Tomi ataupun Ilmi.

"Astaghfirullah, Abi teh ngapain lagi mendekat ke sana? Aduh, anak itu bikin Ibu was-was terus," desis Marni.

"Sabar dulu, Bu. Bapak akan panggil Abi untuk pulang," ujar Yatna.

Belum sempat Yatna memanggil Abi seperti yang direncanakan, pagar rumah yang sedang Abi tatap akhirnya terbuka dan sosok Dhisa keluar dari sana seraya tersenyum ke arah Abi. Abi pun ikut tersenyum saat menatapnya. Dalam benaknya, Dhisa benar-benar masih memiliki senyum yang sama seperti dulu. Manis dan sesekali sering membuatnya kepikiran. Kedua mata Ilmi mendadak terbelalak saat melihat sosok Dhisa lagi setelah empat belas tahun berlalu. Bahkan teman-teman masa kecil mereka yang saat itu sedang berkumpul bersama di warung mie ayam milik Pak RT juga sama terkejutnya seperti Ilmi.

"Hai, Kak. Sudah lama menunggu? Maaf ya, kalau aku terlalu lama keluar dari rumah. Ibuku banyak menitip pesanan," ujar Dhisa.

"Enggak lama, kok. Aku baru saja menunggu di sini setelah pulang dari kantor dan mandi sore. Kamu mau jalan-jalan sekarang?" tawar Abi.

Dhisa pun mengangguk, lalu segera menggandeng lengan Abi seperti yang sudah direncanakan siang tadi. Hati Ilmi mendadak terasa panas ketika melihat betapa mesranya Abi dan Dhisa. Padahal dulu dirinya sudah mati-matian membuat mereka terpisah dengan cara merebut perhatian Abi dan menjadikannya kekasih. Tomi--yang tidak tahu apa pun tentang Dhisa--mendadak kehilangan kata-katanya saat melihat bahwa ada seorang wanita cantik yang kini dekat dengan Abi. Ia tidak menduga kalau wanita cantik yang tak lain adalah tetangga baru mereka di Kampung Cijanur itu langsung bisa dekat dengan Abi.

Yatna dan Marni pun segera masuk kembali ke halaman rumah mereka saat melihat kalau Abi dan Dhisa akan lewat menuju ke Malangbong. Mereka berdua tentu saja kaget karena melihat Dhisa lagi setelah empat belas tahun berlalu. Bahkan, mereka semakin kaget karena Dhisa tidak canggung sama sekali ketika berada di samping Abi. Padahal dulu Dhisa dan Abi tidak pernah saling mendekat saat remaja.

"Itu teh Dhisa yang anaknya Pak Diki dan Bu Salma, bukan?" tanya Marni.

"Iya, benar. Itu Dhisa anaknya Pak Diki dan Bu Salma," jawab Yatna, masih mengintip ke arah jalanan bersama Marni.

Abi dan Dhisa benar-benar berlalu di depan rumah mereka tak lama kemudian. Mereka benar-benar mengambil jalan menuju ke Malangbong dan tampak sedang saling bercerita.

"Aduh ... geuningan Dhisa teh tambah geulis ayeuna mah[1]. Kenapa dulu Abi bukan dekat dan pacaran sama Dhisa, sih?" gemas Marni, sambil meremas tali daster yang dipakainya.

"Jangan senang dulu. Sekarang Dhisa teh belum dengar fitnah-fitnah yang diucapkan sama Tomi setiap saat. Kalau dia sudah dengar semua fitnah itu, bisa jadi dia akan sama saja dengan anak gadis lain di Cijanur yang menjauhi Abi," ujar Yatna, tak mau banyak berharap.

Marni pun mendadak teringat dengan fitnah-fitnah yang terus diterima oleh Abi akibat semua ucapan Tomi. Hal itu benar-benar menyadarkan dirinya untuk tidak berharap banyak, sekalipun terhadap Dhisa.

"Gimana, Kak? Kira-kira tadi yang kita lakukan menyakinkan atau enggak?" tanya Dhisa, dengan jantung yang berdebar-debar akibat takut ketahuan bersandiwara.

"Insya Allah meyakinkan, Dhi. Intinya lenganku jangan kamu lepas dulu. Takutnya ada yang mengikuti kita dan akhirnya tahu kalau kita cuma pura-pura pacaran," jawab Abi.

"Awalnya aku agak keringat dingin pas mau buka pagar. Tapi saat aku dengar ucapan sampah laki-laki itu, mendadak keringat dinginku menghilang seketika. Darahku mendadak mendidih saat mendengar fitnahnya untuk Kakak," ungkap Dhisa, dengan jujur.

Abi pun tersenyum kembali sambil menatap ke arah Dhisa.

"Kamu aneh. Seharusnya kamu langsung percaya dengan fitnah yang dia katakan tentang aku, apalagi kamu tahu bahwa aku memang mantan pacarnya Ilmi. Lah kok darahmu malah mendidih saat mendengar dia mengucapkan kata-katanya tadi, sih?" heran Abi.

"Andai aku enggak kenal siapa Kakak dan tidak tahu kepribadian Kakak seperti apa, mungkin aku akan sedikit mempercayai fitnahnya. Tapi itupun masih kemungkinan. Belum tentu juga aku percaya begitu saja tanpa membuktikan kebenarannya lebih dulu," jelas Dhisa.

Sebuah motor yang melintas mendadak berhenti saat melihat Abi dan Dhisa yang sedang berjalan bersama di trotoar menuju Malangbong. Orang di atas motor itu membuka kaca helmnya dan menatap punggung mereka sambil mengerenyitkan keningnya,

"Dhisa? Abi jalan sama Dhisa?" gumamnya, penuh tanya dengan perasaan heran bercampur kaget.

* * *

TRANSLATE :

[1] ternyata Dhisa itu tambah cantik ya, sekarang.

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang