Abi menerima helm dari Dhisa yang baru saja dilepas oleh wanita itu. Abi sendiri kini turun dari motornya setelah menarik kunci dari tempatnya. Dhisa tampak akan berjalan sendiri menuju ke pintu masuk rumah makan yang mereka datangi. Namun Abi segera mencegahnya dengan cara menarik tangan wanita itu dan menggenggamnya dengan erat. Dhisa tersentak sebentar, lalu teringat soal kesepakatan mereka ketika sadar saat tangannya digenggam oleh Abi.
"Astaghfirullah. Maaf ya, Kak. Aku lupa kalau kita sedang pura-pura pacaran," bisik Dhisa, tak ingin ada yang mendengar.
"Kok bisa kamu lupa? Nanti apa lagi yang akan kamu lupakan mengenai persoalan tentang aku?" sinis Abi.
"Hah? Gimana? Maksud Kak Abi, apa?" tanya Dhisa, agak sedikit heran dengan sikap Abi saat itu.
Abi terdiam sebentar sambil menatap lama tepat pada kedua mata Dhisa saat jarak mereka begitu dekat.
"Aku sedang kesal. Jadi kamu enggak usah memikirkan apa pun yang aku katakan hari ini. Bisa saja itu adalah luapan rasa kesalku yang tidak bisa sepenuhnya aku katakan padamu. Intinya ... kamu enggak boleh lupa lagi dengan apa yang sedang kita jalani sekarang," tegas Abi.
"Oke, Insya Allah aku akan ingat setiap saat," janji Dhisa, agar Abi segera berhenti merasa kesal.
Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah makan tersebut, lalu duduk pada salah satu meja yang masih kosong. Dhisa bisa melihat kalau di rumah makan tersebut ada banyak orang yang memakai seragam sama persis seperti yang Abi pakai. Hal itu jelas menandakan bahwa kemungkinan orang-orang itu adalah orang-orang dari satu kantor yang sama dengan Abi. Dhisa pun segera kembali tersenyum seperti biasanya, agar dirinya dan Abi tidak terlihat kaku di depan umum.
Beberapa orang mulai tampak berbalik, untuk melihat dengan siapa Abi datang siang itu. Tomi dan Ilmi--yang masih bertengkar soal penghinaan yang Ilmi lakukan terhadap Dhisa--pun ikut melihat ke arah yang sama seperti yang lainnya. Mereka jelas tampak semakin kesal karena Abi benar-benar terang-terangan membawa Dhisa bersamanya ke mana pun sejak pertemuan keduanya kemarin. Melihat senyum di wajah Dhisa, Abi pun mendadak merasa bersalah karena telah meluapkan kekesalannya pada wanita itu tanpa alasan. Kini ia ikut berupaya untuk ikut tersenyum, setelah Dhisa berupaya agar mereka terlihat natural di depan banyak orang.
"Kamu mau pesan makanan apa?" tanya Abi.
Dhisa pun membaca daftar menu yang dibawakan oleh pelayan di rumah makan tersebut.
"Ayam rica-rica saja, Kak, dengan tambahan nasi. Minumnya jus alpukat," jawab Dhisa, tanpa berpikir lama soal apa yang akan disantapnya siang itu.
Abi mengerenyitkan keningnya selama beberapa saat, meski senyum di wajahnya tidak pernah menghilang.
"Kamu kok tidak berpikir lama saat aku tanya mau makan apa? Biasanya wanita selalu banyak pilih-pilih, 'kan?" tanyanya.
"Aku enggak pernah seperti itu, Kak. Sejak kecil jika ditanya ingin makan apa atau ingin membeli apa, pasti aku langsung menjawab dengan cepat. Aku tidak suka membuat orang lain menunggu jawaban dariku terlalu lama, karena menurutku itu akan membuang-buang waktu orang tersebut. Itu hal yang merugikan dan aku tidak mau orang lain merasa dirugikan olehku," jawab Dhisa.
"Wah ... ternyata banyak sekali hal yang aku tidak tahu tentang kamu, ya. Kira-kira kalau aku bertanya banyak hal tentang diri kamu, apakah kamu akan menjawabnya?"
Dhisa bisa melihat bahwa Abi tampak tidak mau menerima jawaban yang mengecewakan. Hal itu jelas sangat terbaca dari raut wajahnya yang sedang Dhisa perhatikan.
"Boleh. Apa pun tentang diriku yang ingin Kakak ketahui, silakan tanyakan. Aku akan menjawabnya dengan jujur agar Kak Abi bisa tahu semua hal yang ingin Kak Abi ketahui."
Sekitar lima belas menit setelah mereka benar-benar memesan menu yang tadi sudah dipilih bersama, pesanan mereka pun akhirnya datang. Pelayan di rumah makan itu menyajikan makanan ke atas meja dengan sangat rapi.
"Mau diambilkan sambal kacangnya?" tanya pelayan itu.
"Oh, enggak usah, Teh. Pacar saya enggak bisa makan yang mengandung kacang karena alergi," tolak Dhisa, dengan sopan.
Abi langsung terpaku di tempatnya saat mendengar apa yang Dhisa katakan tentangnya. Ia jelas merasa bingung karena Dhisa lebih hafal hal-hal mengenai dirinya, padahal mereka tidak pernah dekat. Setelah pelayan tadi pergi, Abi pun langsung meraih tangan Dhisa dan menggenggamnya.
"Ada apa, Kak?" tanya Dhisa, tampak sedikit kaget.
"Kamu tahu dari mana kalau aku alergi terhadap makanan yang mengandung kacang?" tanya Abi.
"Dari Kak Danar. Dulu waktu aku masih remaja dan sedang gencar-gencarnya memperhatikan Kakak, aku sering bertanya soal Kakak pada Kak Danar. Dulu kami satu kelompok bermain di Cijanur. Kakak ingat 'kan, soal kelompok bermain itu? Nah, dari situlah aku banyak tahu soal Kakak, termasuk tentang alergi kacang."
Abi kembali terdiam. Ia kembali melepaskan genggaman tangannya pada tangan Dhisa, lalu mereka mulai menyantap makanan yang sudah tersaji. Beberapa orang yang tadi memperhatikan mereka terlihat berbisik-bisik dengan orang yang ada di sekitarnya. Abi dan Dhisa sadar bahwa mungkin mereka berdua sedang dibicarakan oleh orang-orang itu, sehingga mereka berupaya untuk tetap tenang meski merasa risih karena terus diperhatikan.
Ponsel milik Dhisa bergetar di dalam saku jasnya. Ia segera meraih jas tersebut--karena tadi ia memutuskan untuk melepasnya sebelum makanan yang mereka pesan datang--lalu mengeluarkan ponselnya dengan cepat.
"Chat atau telepon?"
"Chat, Kak."
"Dari siapa?"
"Kak Danar. Dia tanya apakah aku sedang makan berdua sama Kakak atau tidak," jawab Dhisa, sangat jujur.
Abi pun berhenti makan dan langsung menatap ke arah Dhisa.
"Kok Kak Danar punya nomor ponsel kamu? Kamu pacaran sama siapa sebenarnya saat ini? Sama aku atau sama Kak Danar?" tanya Abi, dengan suara yang pelan meski sedang merasa kesal.
Dhisa menatap sesaat ke arah Abi dengan ekspresi agak sedikit heran. Abi tidak biasanya bersikap aneh seperti itu, jadi Dhisa bisa merasakan perbedaannya hanya dengan satu kali memperhatikan.
"Kak Abi ... cemburu?" tanya Dhisa, tetap berhati-hati.
"Menurut kamu? Kamu pacarku dan yang punya nomor teleponmu malah Kakakku, bukannya aku. Mana mungkin aku enggak cemburu, Dhisa?" omel Abi.
"Kak Abi ... kita cuma pacaran pura-pura," bisik Dhisa, agar Abi kembali sadar dengan kenyataan. "Jadi enggak seharusnya Kakak merasa cemburu hanya karena Kak Danar punya nomor teleponku. Lagi pula Kak Danar dapat nomor teleponku bukan dari aku secara langsung, tapi katanya dia dapat nomorku dari Ibuku saat bertemu di Pasar Malangbong, tadi. Kalau Kakak ingin punya nomor teleponku, maka Kakak hanya perlu bertanya padaku. Bukan malah cemburu terhadapku dan Kak Danar."
Abi sadar bahwa tidak seharusnya ia merasa cemburu, karena hubungannya dengan Dhisa hanyalah hubungan pura-pura. Tapi entah kenapa hatinya merasa sulit untuk tidak merasa cemburu. Seakan hatinya tidak mau perhatian Dhisa dibagi kepada yang lain, termasuk kepada Kakaknya sendiri.
"Pokoknya aku enggak terima. Kamu enggak boleh terlalu sering berbalas chat dengan Kak Danar dan hanya boleh sering berbalas chat denganku. Titik. Sekarang juga, buatlah alasan agar Kak Danar tidak sering-sering menghubungi kamu," tegas Abi, tidak ingin dibantah lagi oleh Dhisa.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIRNYA
Romance[COMPLETED] Hal pertama yang diucapkan oleh Abi setelah empat belas tahun tidak bertemu dengan Disha adalah sebuah permintaan tolong untuk membantunya menghentikan banyak fitnah. Abi yang saat itu sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hatinya te...