Salma memilih-milih sayuran saat penjual sayur keliling lewat pagi-pagi sekali bersama Ibu-ibu lain di Cijanur. Tomi tampak sedang mengelap mobilnya yang baru saja ia cuci, ketika sadar bahwa Salma saat itu sedang mengobrol bersama Marni sambil memilih sayur. Ilmi keluar tak lama kemudian, dan ikut melihat ke arah yang sedang diperhatikan oleh suaminya.
"Kenapa kamu lihat ke arah Ibu-ibu yang lagi belanja?" tanya Ilmi."Ibunya Abi dan Ibunya Dhisa lagi ngobrol. Menurutmu mereka sedang membicarakan apa sampai sedekat itu? Mereka enggak sedang membicarakan soal hubungan Abi dan Dhisa yang begitu dekat, 'kan? Mereka memang saling panggil sayang, kemarin. Tapi mereka enggak mungkin pacaran, 'kan?" Tomi ingin Ilmi meyakinkannya.
Ilmi pun tersenyum sinis.
"Enggak mungkinlah mereka pacaran. Aku tahu betul kalau Abi tidak pernah punya perasaan apa-apa sama Dhisa, meskipun dulu Dhisa punya perasaan terhadap Abi. Tapi masa iya perasaan Dhisa terhadap Abi masih sama setelah empat belas tahun berlalu? Mustahil, dong. Apalagi dulu Dhisa merasa sakit hati banget waktu akhirnya Abi memilih aku untuk jadi pacarnya. Enggak mungkin banget kalau perasaan Dhisa yang sekarang kepada Abi masih sama. Lagi pula, dia 'kan Dokter. Masa sih, seorang Dokter mau pacaran sama pegawai negeri yang gajinya tidak seberapa seperti Abi? Akan merasa gengsilah dia," tutur Ilmi, merasa yakin dengan pemikirannya soal Dhisa.
"Baguslah kalau memang begitu. Aku enggak suka kalau si Abi itu bisa merasakan bahagia. Kamu tahu sendiri 'kan, betapa bencinya aku sama Abi yang hidupnya sejak dulu dipenuhi dengan keberuntungan. Pokoknya sampai kapan pun, aku enggak akan memberi Abi kesempatan untuk merasakan bahwa dirinya adalah orang paling beruntung di dunia ini! Aku akan selalu menghancurkan rasa bahagianya, dan bahkan tidak lama lagi aku akan mulai mencoba mengadu domba dia dengan Dhisa, agar Dhisa juga menjauh darinya," niat Tomi, benar-benar licik.
Ilmi pun segera memberi tanda pada Tomi untuk segera masuk ke dalam rumah, agar mereka bisa bersiap-siap sebelum pergi ke kantor.
"Saya cuma khawatir saja sama Dhisa, Bu Salma. Tahu sendiri kalau kadang Abi memang suka dijahili sama Kakaknya. Jadi kadang kalau dia kesal sama Kakaknya, marahnya suka dia limpahkan sama siapa saja," ujar Marni, yang sejak semalam sama sekali tidak merasa tenang.
Salma pun tertawa pelan sambil mengusap pelan pundak Marni.
"Sabar saja, Bu Marni. Namanya juga anak-anak. Ibu belum tahu saja bagaimana kalau Dhisa sedang merajuk di rumah. Masih bagus kalau Abi suka meluapkan rasa kesalnya. Dhisa kalau merajuk lebih memilih diam berjam-jam dan tidak mau melakukan apa-apa. Susah membujuknya, Bu," ungkap Salma.
Marni pun ikut tertawa pelan seperti yang Salma lakukan.
"Sepertinya memang bagus, Bu. Kalau Abi sedang mengomel, tinggal didiamkan saja sama Dhisa. Pasti nanti berhenti sendiri omelannya," tanggap Marni.
"Nah, itu yang saya maksud," Salma setuju dengan tanggapan tersebut. "Dan dengan begitu, marahannya mereka enggak akan pernah lama terjadi. Seperti tadi malam, akhirnya mereka rujuk lagi setelah Dhisa memilih diam saja."
Dhisa keluar dari pagar rumah tak lama kemudian, tepat dengan datangnya Abi untuk menjemput.
"Kalian sudah mau berangkat kerja? Abi enggak mau sarapan dulu, Nak? Itu Ibu sudah siapkan bubur ayam di dalam," ujar Salma, menawarkan.
"Kak Abi kalau pagi enggak bisa langsung makan makanan berat, Bu. Perutnya nanti bisa sakit kalau sarapan yang berat-berat," jelas Dhisa, tentang kondisi Abi yang sangat ia hafal.
"'Kan bubur ayam teh terbuat dari beras, bukan batu. Masa iya, berat?" heran Salma.
Penjual sayur, Ibu-ibu tetangga, dan bahkan Ibunya Abi sendiri akhirnya tertawa setelah mendengar balasan Salma untuk putrinya yang sejak dulu selalu saja sama. Dhisa pun hanya bisa menutup mata sambil meringis pelan di samping Abi.
"Ayo, Kak. Sebaiknya kita berangkat sekarang, sebelum Ibuku menambah beban pikiran kita pagi ini," ajak Dhisa.
"Iya, ayo," balas Abi, yang sejujurnya ingin ikut tertawa bersama kumpulan Ibu-ibu pagi itu.
Kedua mata Salma mendadak menyipit usia mendengar apa yang Dhisa katakan pada Abi. Dhisa pun terkikik geli saat melihat wajah Ibunya, lalu segera mencium tangan Salma dan Marni sebelum pergi bersama Abi. Abi pun melakukan hal yang sama setelah Dhisa selesai.
"Kami pergi dulu, Bu. Assalamu'alaikum," pamit Dhisa dan Abi.
"Wa'alaikumsalam," sahut Salma dan Marni.
"Abi ... pelan-pelan saja bawa motornya. Jangan sampai Dhisa jatuh atau kenapa-napa," pesan Marni.
"Iya, Bu. Insya Allah aku enggak akan ngebut," balas Abi seraya tersenyum lepas.
"Nanti aku yang ceramahin, Bu, kalau sampai Kak Abi berani ngebut," tambah Dhisa.
Abi pun akhirnya tertawa saat mendengar janji yang Dhisa ucapkan. Dhisa pun kembali merangkul tangan Abi lalu berjalan bersama menuju ke rumah Abi untuk mengambil motor.
"Aduh ... kalau begitu romatisnya mah sebaiknya segera dinikahkan mereka berdua teh, Bu Salma ... Bu Marni ... jangan nunggu lama-lama. Takutnya kita para Ibu-ibu yang malah merasa gemas karena menonton kemesraan mereka berdua," saran Bu RT.
"Rencananya memang begitu, Bu RT. Maka dari itu saya dan Bu Marni lagi gencar-gencarnya membicarakan persiapan untuk menikahkan mereka berdua. Lagian enggak baik kalau pacaran terlalu lama. Biar nanti mereka pacarannya habis menikah saja," balas Salma.
"Setuju, Bu Salma. Setuju pisan. Nanti kita semua Ibu-ibu yang ada di Cijanur akan ikut meramaikan proses persiapan pernikahannya. Mulai dari masak-masak, sebar undangan, dan juga gangguin calon pengantinnya ... serahkan sama kami," ujar Lina--Ibunya Sari.
"Masya Allah. Mendadak jadi saya yang tidak sabar kalau seperti itu mah atuh, Ceu Lina," sambut Marni sambil tertawa.
"Harus tidak sabar atuh Ceu Marni, kalau sudah mengurus urusan nikahan anak mah. Pokoknya jangan main santai kalau sudah dekat waktunya," tanggap Ratih--Ibunya Intan.
"Betul. Pokoknya harus sat-set sat-set," tambah Hasna--Ibunya Fani dan Fini.
Setelah semua Ibu-ibu bubar usai belanja sayur, keadaan Cijanur kembali sepi. Tomi dan Ilmi kini sudah siap akan berangkat ke kantor, bertepatan dengan lewatnya Intan yang akan pergi kerja.
"Iya, Fani. Mamah aku tadi bilang begitu waktu pulang setelah belanja sayur. Insya Allah Abi dan Dhisa akan segera menikah. Ibunya Abi dan Ibunya Dhisa sedang sama-sama merencanakan pernikahan mereka saat ini," ujar Intan kepada Fani yang sudah berangkat kerja lebih awal hari itu, melalui telepon.
Tomi dan Ilmi tentu saja bisa mendengar hal itu dengan sangat jelas. Mereka berdua mendadak merasa marah usai mendengar kabar itu. Ilmi pun kini menatap ke arah Tomi yang sedang mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Bagaimana? Kamu sudah punya rencana untuk membuat Abi benar-benar sengsara? Jangan cuma diam saja. Sebaiknya kamu segera laksanakan rencanamu itu secepatnya, kalau kamu tidak mau Abi benar-benar berbahagia," saran Ilmi.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIRNYA
Romance[COMPLETED] Hal pertama yang diucapkan oleh Abi setelah empat belas tahun tidak bertemu dengan Disha adalah sebuah permintaan tolong untuk membantunya menghentikan banyak fitnah. Abi yang saat itu sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hatinya te...