Abi dan Dhisa keluar dari rumah makan itu bersamaan dengan Tomi dan Ilmi yang juga baru akan pergi dari sana. Mereka sama-sama ada di parkiran, namun Dhisa tampak sama sekali tidak peduli dengan kehadiran mereka. Perhatian Dhisa hanya tertuju pada Abi dan Abi menyadari itu dengan sangat jelas.
"Apa enggak panas siang-siang begini bawa seseorang pakai motor? Pakai mobil dong, biar enggak ada yang perlu kepanasan," ejek Tomi dengan sengaja.
Abi mendadak berhenti bergerak, padahal baru saja pria itu hampir menyodorkan helm kepada Dhisa. Dhisa segera meraih helm yang ada di tangan Abi, setelah menulikan telinganya dari ocehan Tomi.
"Sayang, kita boleh mampir dulu ke minimarket? Aku mau beli sesuatu sebelum kembali ke klinik," pinta Dhisa dengan sengaja, untuk membalas ocehan Tomi.
Dhisa jelas ingin memperlihatkan bahwa ia tidak peduli dengan kendaraan apa yang dibawa oleh Abi. Apa pun yang Abi bawa, ia tetap akan ikut jika pria itu mengajaknya pergi.
"I--iya, boleh ... Sayang," jawab Abi, agak gugup karena untuk pertama kalinya mendengar Dhisa memanggilnya dengan sebutan 'sayang'.
Tomi jelas menjadi sangat kesal karena usahanya untuk membuat Dhisa kesal pada Abi yang hanya bisa membawa motor, gagal total. Dhisa pun segera naik ke jok belakang dan melingkarkan lengannya pada pinggang Abi. Ilmi jelas merasa panas saat melihat hal itu. Namun dirinya tidak mungkin melarang atau memaki-maki Dhisa, karena Abi sudah bukan miliknya lagi seperti dulu.
Motor milik Abi pun segera melaju meninggalkan halaman parkir rumah makan yang mereka kunjungi tadi. Tomi pun langsung menendang bumper mobilnya akibat menahan marah sejak pagi.
"Sial! Sial! Sial!" umpat Tomi. "Bisa-bisanya Dhisa tidak terpengaruh sama sekali saat aku mencoba memanas-manasi soal motor yang Abi bawa! Ini enggak bisa aku biarkan terlalu lama! Abi enggak boleh bahagia meski cuma sebentar!"
Dhisa kini meregangkan pegangannya dari pinggang Abi. Abi jelas bisa merasakan hal itu. Ia jelas tidak bisa menahan Dhisa untuk tetap melingkarkan lengannya seperti tadi. Ia sadar kalau hubungan mereka hanya sebatas pura-pura, tidak lebih. Maka dari itulah Dhisa terkadang kembali menjaga jarak dari Abi setelah tidak ada yang melihat keberadaan mereka berdua.
"Langsung ke klinik saja ya, Kak. Tidak usah mampir ke minimarket," pinta Dhisa.
"Loh? Kenapa? Kok batal?" tanya Abi.
"Aku tadi cuma pura-pura saja, biar laki-laki itu berhenti mengoceh yang tidak jelas. Aku enggak mau mendengar suaranya. Aku enggak suka," jawab Dhisa.
"Hah? Cuma karena kamu enggak suka sama suaranya, terus kamu langsung pura-pura mesra sama aku? Wah ... kamu kayanya punya banyak hal yang jauh berbeda dengan wanita lain pada umumnya, ya. Kamu benar-benar sulit aku tebak, Dhi. Aku kadang bingung sama kamu," ungkap Abi, jujur.
"Enggak usah bingung-bingung, Kak. Kak Abi enggak perlu memikirkan aku. Aku bukan hal penting yang harus Kakak pikirkan. Kita cuma pacaran pura-pura. Jadi aku, sikapku, dan seleraku yang aneh bukan hal yang wajib untuk Kakak pikirkan," sahut Dhisa, agar Abi tidak menambah-nambah beban pikiran.
Motor Abi kini kembali berhenti tepat di depan Klinik Prima Medika. Dhisa pun turun dari motor tersebut sambil berusaha membuka helmnya.
"Kalau aku tetap mau memikirkan kamu, memangnya kenapa? Enggak boleh? Kamu lebih senang kalau ada pria lain yang memikirkan kamu daripada aku? Iya? Begitu maksud kamu?" tanya Abi, terdengar seperti sedang mendesak Dhisa.
Dhisa pun kemudian tertawa lepas di depan Abi, meski tawanya tersebut tidak terlalu keras. Lagi-lagi, Abi merasa aneh dengan tingkah laku Dhisa yang tidak mudah ditebak olehnya. Dhisa pun langsung menepuk pundak Abi dengan tegas.
"Kak, sudahlah. Jangan bertingkah seperti seorang pacar sungguhan terhadapku. Sikap Kakak yang posesif terhadapku itu, bisa saja membuat aku salah pengertian nantinya. Jangan sampai aku merasa seakan Kakak pada akhirnya tidak mau melepaskan aku dan akan memintaku untuk benar-benar jadi pacar sungguhan atau mungkin jadi Istri. Aku enggak mau ada harapan di tengah kesepakatan yang sudah kita sepakati. Ingat Kak, kalau permasalahan Kakak sudah selesai maka aku dan Kakak akan kembali menjadi orang asing seperti dulu. Itu yang paling Kakak inginkan sejak pertama mengajak aku membuat kesepakatan," ujar Dhisa, kembali mengingatkan Abi.
Entah kenapa kini Abi merasa kesal setiap kali Dhisa mengingatkannya soal kesepakatan yang telah mereka buat. Pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi karena tidak ingin berdebat dengan Dhisa.
"Insya Allah aku akan jemput kamu sore nanti. Jangan pulang sebelum aku datang jemput kamu," ujar Abi.
Dhisa pun menganggukkan kepalanya untuk menyetujui keinginan pria itu.
"Assalamu'alaikum," pamit Abi.
"Wa'alaikumsalam, Kak Abi. Hati-hati saat membawa kendaraan. Jangan ngebut," pesan Dhisa.
Abi menganggukkan kepalanya, kemudian pergi menuju kantornya kembali. Dhisa kembali memperhatikannya seperti tadi pagi, meskipun Abi kini sudah tampak semakin menjauh.
"Andai saja kita tidak sedang berpura-pura, entah seberapa besar rasa bahagiaku atas kecemburuan yang kamu tunjukkan tadi. Sayangnya, kita hanya sedang berpura-pura dan akan kembali menjadi orang asing setelah semua selesai," batin Dhisa, seraya menikmati gelenyar rasa sakit di dalam dadanya seperti yang kemarin ia rasakan.
* * *
"Teh Nisa serius? Teh Nisa dengar sendiri saat Pak Yatna mengatakan kalau Abi dan Dhisa sudah berpacaran sejak kemarin?" tanya Sari.
"Iya, Teh. Apa itu benar?" Intan ikut menanyakan hal yang sama.
"Iya, itu benar. Kalau kalian masih enggak percaya, sok tanyain langsung sama Bapakku di dalam. Bapakku saja sampai merasa senang sekali saat tahu kalau Abi ternyata sudah lama move on. Cuma si Tomi saja yang memang hobi mengusik hidupnya Abi. Bayangkan ... tadi pagi bahkan si Tomi masih sempat-sempatnya mengoceh saat Abi mau ke rumah Dhisa. Bahkan Ilmi ikutan menghina Dhisa dan mengatakan kalau Dhisa mungkin saja adalah seorang pengangguran. Sekalinya muncul Suster dari klinik punya Dhisa yang ada di Malangbong, terus Dhisa juga keluar dari pagar rumahnya dalam keadaan rapi dan siap berangkat kerja, langsung mulutnya si Ilmi teh mendadak rapat kaya habis dijahit," tutur Nisa, sesuai dengan apa yang disaksikannya sendiri dari balik jendela kamar.
"Berarti selama ini memang si Ilmi sama si Tomi yang kurang ajar. Ih ... aku mendadak pengen nyuapin cabe ke mulut mereka," gemas Fini.
"Ih, meni tanggung. Sekalian atuh suapin sama cobek dan ulekannya. Biar kenyang seumur hidup mereka teh," tambah Fani--Kakak sepupu Fini.
Intan tampak melamun sambil memikirkan Dhisa. Hal itu jelas disadari oleh Nisa, Sari, Fani, dan Fini.
"Intan? Kamu teh kenapa malah jadi ngelamun, atuh?" tegur Sari.
"Enggak. Aku teh cuma lagi mikir soal Dhisa. Berarti dulu kabar soal Dhisa yang suka sama Abi itu bukan berita bohong, ya? Dhisa benar-benar suka sama Abi, tapi memilih mundur waktu Ilmi akhirnya jadi pacarnya Abi. Benar begitu enggak, sih?" tanya Intan.
"Haduh ... misteri baru lagi. Gimana cara nyari jawabannya untuk pertanyaan kamu yang itu, Intan? Masa iya kita mau tanya langsung sama Dhisa," keluh Sari, tampak sangat stress.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIRNYA
Romance[COMPLETED] Hal pertama yang diucapkan oleh Abi setelah empat belas tahun tidak bertemu dengan Disha adalah sebuah permintaan tolong untuk membantunya menghentikan banyak fitnah. Abi yang saat itu sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hatinya te...