EPILOG

173 14 0
                                    

SATU MINGGU KEMUDIAN...

"Bagaimana? Sudah siap untuk menyambut Dhisa ke dalam hidup kamu?" tanya Danar.

"Insya Allah aku siap, Kak. Aku bahkan sudah tidak sabar ingin Dhisa segera menjadi bagian hidupku," jawab Abi, dengan wajah yang penuh dengan kebahagiaan.

Danar pun memeluk Abi dengan erat sambil menepuk-nepuk punggung Adik bungsunya begitu tegas.

"Selama ini aku sudah menganggap Dhisa seperti Adikku sendiri, sehingga aku tidak pernah segan untuk menjahilinya dan membuatnya stress, sama seperti yang selalu aku lakukan padamu. Jadi aku harap, mulai sekarang kamu akan menjaga Dhisa baik-baik, Bi. Dhisa adalah sahabat terbaik yang aku punya, jadi kamu wajib menjaganya dan memberi dia bahagia yang tidak ada batasnya sampai kalian tua nanti," pinta Danar.

"Insya Allah, Kak. Insya Allah akan aku bahagiakan dia tanpa batas, seperti dia yang selalu berusaha membahagiakan aku selama ini," janji Abi.

Setelah menjalani pingitan selama tiga hari, akhirnya Dhisa dan Abi dipertemukan oleh kedua belah pihak keluarga di depan penghulu yang akan menikahkan mereka. Keduanya jelas bisa merasakan rindu yang begitu membuncah setelah tiga hari benar-benar dilarang bertemu ataupun saling berkirim pesan. Abi tersenyum dengan wajah memerah saat melihat sosok Dhisa yang sudah terlihat sangat cantik dengan balutan pakaian pengantin berwarna senada dengan pakaian pengantin yang Abi kenakan pagi itu. Marni dan Salma sama-sama menuntun mereka berdua agar bisa duduk berdampingan di hadapan penghulu. Setelah mengurus dan menandatangani beberapa berkas yang berkaitan dengan surat-surat nikah, barulah penghulu menjabat tangan Abi dengan sangat erat.


"Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan kawinkan saudara Abiyan Mahendra bin Yatna Fadilah dengan saudari Dhisa Adrishta binti Almarhum Diki Abdullah Sofyan dengan mas kawin berupa satu set perhiasan emas seberat lima belas gram beserta seperangkat alat shalat dan Al-Qur'an dibayar tunai karena Allah."

"Saya terima nikah dan kawinnya Dhisa Adrishta binti Almarhum Diki Abdullah Sofyan dengan mas kawin berupa satu set perhiasan emas seberat lima belas gram beserta seperangkat alat shalat dan Al-Qur'an dibayar tunai karena Allah."

"Bagaimana saksi? Sah?"

"SAH!!!" jawab semua saksi dan tamu yang hadir untuk menyaksikan ijab kabul yang berlangsung pagi itu.

"Alhamdulillah, pernikahan ini sah!" putus penghulu.

"Alhamdulillah!!!" sahut para tamu yang tampak sudah tidak sabar ingin menggoda kedua mempelai pengantin.

Abi dan Dhisa pun merasa sangat lega dan terus bersyukur, karena segalanya berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan sama sekali. Hal itu membuat mereka merasa semakin lengkap, terutama karena mereka mendapatkan restu dari banyak orang untuk terus melanjutkan hidup yang baru. Semua orang kini mengangkat kedua tangan untuk berdoa bersama, yang akan dipimpin langsung oleh penghulu.

"Bismillahirrahmanirrahim. Baarakallaahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakumaa fii khairin."

"Aamiin!!!"

"Allaahumma allif bainahumaa kamaa allafta baina Adam wa Hawwa, wa allif bainahumaa kamaa allafta baina sayyidinaa Ibraahiim wa Saarah, wa allif bainahumaa kamaa allafta baina sayyidinaa Yuusuf wa Zulaikha, wa allif bainahumaa kamaa allafta baina sayyidinaa Muhammadin shallallaahu 'alaihi wa sallama wa sayyidatinaa Khadiijatal kubraa, wa allif bainahumaa kamaa allafta baina sayyidinaa 'Aly wa sayyidatinaa Faathimah az-Zahraa."

"Aamiin!!!"

"Allaahummaj'al haadzal 'aqda 'aqdan mubaarakan ma'shuuman wa alqi bainahumaa ulfatan wa qaraaran daaiman wa laa taj'al bainahumaa firqatan wa firaaran wa khishaaman wakfihimaa mu'natad dunyaa wal aakhirah. Aamiin yaa rabbal 'alamiin."

"Aamiin yaa rabbal 'alamiin!!!"

Setelah menjalani doa bersama, Dhisa diminta untuk mencium tangan Abi dan Abi pun diminta untuk mencium kening Dhisa agar bisa didokumentasikan oleh fotografer. Mereka berdua saling memasangkan cincin di jari manis, lalu setelah itu diminta berfoto sambil memegang buku nikah.

"Aku boleh jujur?" bisik Abi, ketika mereka sedang berfoto berdua.

"Boleh. Ada apa, Kak?" tanya Dhisa, ikut berbisik.

"Aku merasa seperti baru saja mengalami mimpi setelah menikah denganmu. Aku tadi gugup setengah mati saat baru akan mengucap ijab kabul. Tapi setelahnya, aku merasa sangat lega dan di hatiku seakan ada kembang api yang baru saja meledak dengan meriah," ungkap Abi.

Dhisa pun tersenyum saat mendengar pengakuan itu.

"Kakak tidak sendirian. Di hatiku juga sama kok, ada kembang api yang sedang meledak dengan sangat meriah. Kembang api di hatiku ada tulisannya saat meledak. Tahu enggak, kembang apinya punya tulisan apa?" Dhisa meminta Abi menebak.

"Aku enggak tahu. Coba kasih tahu, apa tulisan yang dikeluarkan oleh kembang api di hatimu?" pinta Abi.

"Tulisan kembang api yang meledak-ledak di hatiku itu adalah ... 'Aku Cinta Kak Abi Selamanya'."

Wajah Abi sukses memerah dengan sempurna, karena lagi-lagi Dhisa berhasil membuat perasaannya benar-benar meluap tak terkendali. Rasa sayang dan cinta Dhisa terhadap Abi semakin membesar setelah mereka resmi menjadi pasangan suami-istri. Dhisa tidak pernah berani bermimpi terlalu jauh tentang Abi ketika dirinya telah lama pergi dari Cijanur. Ia bahkan sempat berpikir bahwa Abi mungkin sudah menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia dengan seseorang--yang tentunya bukan Ilmi, karena Dhisa sejak dulu tidak pernah mau mendoakan agar Abi berjodoh dengan Ilmi, tapi lebih mendoakan agar Abi berjodoh dengan wanita yang baik dan bisa membuatnya bahagia. Dhisa bahkan sudah bersiap akan kembali menghadapi Abi yang dalam bayangannya mungkin saja sudah menjadi seorang Ayah dan Dhisa ingin sekali melihatnya menggendong seorang anak. Tapi kenyataan dan takdir ternyata menggiring langkah pria itu ke arah jalan yang sama dengan yang Dhisa tempuh. Dhisa tidak pernah menyangka akan menghadapi Abi yang masih sendiri saat kembali ke Cijanur satu bulan yang lalu, hingga akhirnya mereka berdua berakhir di kursi pelaminan yang sama sebagai pasangan suami-istri.

"Ingat ya, Nak, jangan lupa beri tahu Istrimu untuk tidak menghabiskan waktunya dengan mengurus pekerjaan saja. Sekali-sekali kamu harus menyeret dia agar mau diajak pergi liburan," pesan Salma, yang tahu persis kalau Dhisa memang paling gila kerja.

Dhisa pun langsung tersenyum seperti biasanya yang sudah sangat Danar kenali selama ini. Hal itu jelas membuat Danar langsung tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah wajah Adik iparnya.

"Dhisa tidak akan mau dengar dan tidak akan mau ikut meski Abi memaksa, Bu. Lihat saja senyumnya. Senyumnya orang yang punya pendirian seperti batu memang tidak pernah berubah," Danar benar-benar membuka ciri khas Dhisa tanpa segan.

Abi hanya bisa ikut tertawa sambil merangkul Istrinya dengan hangat.

"Kami akan pergi liburan, Bu, kalau aku sudah mendapat mood untuk berlibur. Kalau mood itu belum aku dapatkan, maka jangan harap akan ada yang bisa merayuku, membujukku, ataupun memaksaku untuk turun dari singgasana," ujar Dhisa, sesantai biasanya.

"Haduh! Gagal lagi rencanaku untuk membuat Dhisa dan Abi pergi berbulan madu!" omel Salma, yang kemudian segera disabarkan oleh Marni yang tidak pernah bisa berhenti tertawa.

Abi pun segera membawa Dhisa ke dalam pelukannya yang penuh kehangatan.

"Aku mencintai kamu, Dhisa Adrishta. Setelah semua jalan yang kita lalui dengan penuh ketidakpastian serta rasa sakit, kini kita berpijak di tempat yang sama. Kita terikat dalam pernikahan yang benar-benar menyatukan perasaanku dan perasaanmu, pada akhirnya."

[TAMAT]

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang