24 | Gangguan Lain

97 10 0
                                    

Nisa berupaya untuk tidak tersenyum-senyum sendiri saat mendengar bagaimana interaksi antara Abi dan Dhisa malam itu. Ibu RT menyikut lengan Nisa beberapa kali, demi mencoba mengalihkan perhatian mereka dari memandangi Dhisa dan Abi.


"Boleh, kalau Kakak memang mau mencoba. Tapi jangan pernah Kakak merasa kecewa, kalau aku tidak termakan rayuan Kak Abi. Aku enggak gampang dirayu, bahkan oleh Ibuku sendiri sekalipun," ujar Dhisa, memberi peringatan sejak awal pada Abi.

"Wah ... lagi-lagi ada hal yang baru aku tahu tentang kamu. Kamu benar-benar sulit untuk ditebak, Dhi. Mungkin sebaiknya kamu tulis saja di atas kertas semua hal tentang diri kamu, biar aku enggak sering kaget atau merasa heran," pinta Abi.

Dhisa pun tertawa pelan setelah mendengar permintaan itu. Abi juga ikut tertawa saat dirinya berhasil membuat Dhisa tertawa. Ada rasa senang tersendiri di dalam hati Abi, ketika dirinya bisa membuat Dhisa menjadi lebih terbuka terhadapnya.

"Terus di mana seninya kalau aku harus menulis semua hal tentang diriku di atas kertas? Kak Abi nanti akan merasa cepat bosan denganku kalau caranya seperti itu. Tidak akan ada sensasi mengejutkan yang Kakak rasakan setiap kali berbicara denganku. Kakak akan berusaha menghindari hal-hal yang aku tidak suka dan hanya akan membahas atau melakukan hal-hal yang aku suka. Tidak akan ada chemistry di antara kita kalau seperti itu yang kita jalani. Terkadang, ada kalanya kita memang harus membuat kesalahan-kesalahan kecil ketika menjalani hidup sehingga kita bisa selalu melakukan instropeksi terhadap diri sendiri. Tidak masalah kalau Kakak tidak tahu banyak hal tentangku. Karena menyayangi seseorang tidak memerlukan otak yang cerdas, tapi lebih memerlukan hati yang peka," tutur Dhisa.

Abi tenggelam dalam rasa damai ketika mendengarkan Dhisa berbicara kali itu. Ia selalu merasa sangat nyaman saat mendengar Dhisa menjelaskan sesuatu atau menuntunnya untuk memahami sesuatu. Dhisa bukan sosok yang selalu ingin ucapannya wajib dipahami, tapi caranya membicarakan sesuatu selalu berhasil membuat orang lain paham dengan ucapannya tersebut.

"Kok diam?" tanya Abi, tidak lagi fokus dengan mie ayamnya. "Aku masih ingin dengar kamu bicara lebih banyak, Dhi."

"Mie ayam punya Kakak nanti dingin kalau aku bicara terus, sementara Kakak hanya memperhatikan aku. Makan dulu," pinta Dhisa.

Abi pun langsung mengangguk dan segera memakan mie ayam miliknya. Nisa benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tidak mengabarkan semua yang dilihatnya kepada Sari, Intan, Fini, dan Fina.

NISA
Demi Allah aku kaya lagi nonton sinetron lihat mereka berdua tuh 🤭 Cara mereka ngobrol pokoknya beda dari orang pacaran pada umumnya 😆

SARI
Demi apa, Teh Nisa??? Ya Allah... jadi pengen ikut lihat 😭

FANI
Jangan atuh Sari, jangan ikutan lihat! Yang ada nanti Abi sadar kalau kita lagi memata-matai hubungannya sama Dhisa.

INTAN
Atuh sambil pura-pura beli mie ayam juga, Fani. Pura-pura kita sudah janjian mau makan mie ayam bareng malam ini.

FINI
Kamu mau traktir kita, Intan? Kebetulan kita teh belum ada yang gajian tahu 😤

INTAN
Enak saja traktir 😤 Aku masih banyak kebutuhan yang harus dibeli tahu.

NISA
Sudah, enggak usah debat. Biar aku saja yang menikmati romantisnya mereka. Eh ... ada Ilmi datang ke warung aku!!!!

SARI
Astaghfirullah 😱 ngapain kuntilanak itu muncul malam-malam begini, Teh?

Ilmi benar-benar muncul di warung mie ayam milik Pak RT. Perempuan itu merasa gerah saat melihat keberadaan Abi dan Dhisa di warung tersebut. Tapi karena niatnya ke warung itu adalah untuk membeli mie ayam, maka sebisa mungkin ia mencoba mengabaikan keberadaan Dhisa ataupun Abi. Nisa menatap datar ke arah Ilmi. Sejak perempuan itu meyakiti Abi tujuh tahun lalu, Nisa sudah tidak sudi menganggapnya teman dan tidak pernah lagi berhubungan dengannya.

"Pesan mie ayam dua bungkus, Nis. Sambalnya dipisah," ujar Ilmi.

Nisa pun segera membuatkan mie ayam pesanan Ilmi dengan cepat, dengan harapan agar Ilmi bisa cepat-cepat pergi dari warungnya. Dua orang yang tadi makan mie ayam lebih dulu daripada Abi dan Dhisa kini sudah pergi. Danar muncul tak lama kemudian dan tampak tersenyum lebar saat menatap ke arah Abi dan Dhisa.

"Adik-adikku," sapanya, sangat dramatis.

Abi langsung menutup wajahnya dengan tisu, agar tidak perlu malu menghadapi kelakuan Kakaknya yang sering bertingkah konyol secara mendadak. Dhisa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat menatap ke arah Danar malam itu.

"Belum minum obat, Kak?" tanya Dhisa.

Abi pun langsung tertawa keras dan sama sekali tidak berupaya untuk menahan diri. Pertanyaan yang Dhisa berikan untuk Danar jelas sukses membungkam mulut pria itu dan membuatnya memajukan bibir sambil menggerutu. Nisa ikut tersenyum sebentar saat melihat hal itu, sementara Ilmi hanya bisa memutar kedua bola matanya sambil menunjukkan ekspresi sebal.

"Terima kasih banyak karena kamu telah mewakili aku untuk menanyakan hal yang sama, Dhi," ucap Abi, setelah tawanya mereda.

"Sama-sama, Kak. Andai aku lagi bertugas saat ini, mungkin Kak Danar akan langsung aku beri obat bius biar jauh lebih tenang," balas Dhisa, dengan sengaja.

"Wah ... sejak kapan kamu bisa sepemikiran sama Dhisa? Dhisa sudah bikin kamu terkontaminasi sama pikirannya yang kadang-kadang suka aneh, ya?" sindir Danar.

"Enggak perlu terkontaminasi deh kayanya untuk meluapkan rasa sebal akibat kekonyolan Kakak yang seperti tadi. Meskipun Dhisa enggak ada di hadapan aku saat ini, aku pasti tetap akan merasa malu gara-gara tingkah Kakak," jawab Abi, jujur.

Dhisa pun menertawai Danar yang mendapat dua serangan secara langsung malam itu. Danar berdecak sebal dan mulai memakan kerupuk yang tersedia di meja. Seseorang datang tak lama kemudian ke warung itu dan tampak mendekat ke arah Danar dan Dhisa.

"Eh ... ada Dhisa juga ternyata di sini. Apa kabar, Dhi? Sudah lama banget ya, kita enggak ketemu," tegur Hari--salah satu anggota di kelompok bermain Danar dan Dhisa.

Dhisa hanya tersenyum singkat sambil mengangguk, lalu kembali menatap mangkuk mie ayamnya setelah memberi tanda pada Danar untuk mengurus Hari. Danar pun paham bahwa Dhisa masih sama seperti dulu, yang tidak suka dengan sikap berlebihan Hari jika sudah bertemu dengannya.

"Mau beli mie ayam, Har? Ayo, kita sama-sama beli," ajak Danar.

"Eh, tunggu dulu atuh. Aku mau sapa-sapa Dhisa dulu. Sudah lama aku enggak ketemu sama dia," tolak Hari.

"Jangan gangguin orang pacaran, Har. Ayo ... beli mie ayam saja. Aku traktir," paksa Danar.

Ilmi senang sekali saat melihat Dhisa diganggu oleh laki-laki lain tepat di depan Abi. Ia yakin kalau hal itu jelas akan membuat Abi merasa marah kepada Dhisa.

"Hah? Pacaran? Maksudnya, Dhisa pacaran sama Abi? Serius?" tanya Hari, tampak terlihat kaget.

"Kalau iya, kenapa Har? Ada masalah?" tanya Dhisa yang akhirnya buka mulut karena sudah merasa gerah dengan tingkah laku hari.

Nisa bisa melihat kalau Dhisa sedikit berubah malam itu. Bahkan Abi pun bisa merasakan bahwa ada nada marah di dalam ucapan Dhisa ketika bertanya pada Hari.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang