33 | Pilihan Yang Tepat

122 13 0
                                    

"Alhamdulillah! Akhirnya lepas perban juga sohibku yang cantik ini! Sekarang kamu sudah tidak terlihat seperti mumi lagi, Dhi! Aku bahagia melihatnya!" seru Danar, sukses membuat Dhisa naik darah hanya dalam waktu sekejap.


"Kenapa sih, Kak Danar harus membandingkan aku dengan mumi? Mumi dibungkusnya bukan pakai kain kasa, Kak, tapi dibungkus pakai kain linen," gemas Dhisa.

"Kak ... sudah dong jahilnya. Kasihan Dhisa. Kepalanya pasti masih sering pusing akibat benturan yang terjadi tiga minggu lalu," bujuk Abi, agar Danar tidak lagi menggoda Dhisa terus-menerus.

Danar pun terkikik geli saat berhasil membuat Dhisa naik darah. Pria itu pun kemudian berlari meninggalkan Dhisa dan Abi di ruang tengah rumah itu untuk menyusul Yatna yang sedang mengurus undangan pernikahan yang akan disebar beberapa hari lagi.

"Jangan didengar terus ocehannya, Danar. Semakin kamu dengarkan dia, maka kamu teh akan semakin stress. Fokus saja sama proses penyembuhan kamu. Biar nanti pas hari H pernikahan kamu dan Abi, kamu sudah benar-benar sehat," saran Marni, sambil mengusap-usap rambut Dhisa dengan lembut.

Dhisa pun tersenyum seraya menatap ke arah Marni, lalu memeluk dan bersandar pada pinggang wanita paruh baya tersebut. Abi tersenyum saat melihat bagaimana interaksi antara Dhisa dan Ibunya. Mereka benar-benar sangat dekat dan saling menyayangi, sehingga Abi tidak pernah merasa ragu ketika akhirnya benar-benar melamar Dhisa dua minggu yang lalu dan meminta wanita itu untuk menjadi pendamping hidupnya. Dhisa bukan hanya bisa menyayangi serta mencintai Abi, tapi juga bisa menyayangi dan mencintai keluarga yang Abi miliki. Maka dari itulah Abi semakin tidak memiliki perasaan ragu kepada Dhisa.

"Ayo, kita jalan-jalan ke Malangbong. Biar kamu enggak bosan karena sudah hampir satu bulan mendekam terus di rumah," ajak Abi.

"Aku enggak mendekam terus di rumah deh, kayanya. Kak Abi selalu berlebihan kalau ngomong. Sejak pulang dari rumah sakit, aku hanya berdiam diri di rumah selama satu minggu. Selebihnya, kadang aku berdiam diri di sini sambil bantuin Ibu memasak atau bantuin Kak Danar bikin stress Bapak," balas Dhisa.

"Ya, maka dari itu Abi sekarang mau mengajak kamu jalan-jalan ke Malangbong. Biar Bapak enggak stress terus akibat ulah kamu sama Danar," sahut Yatna, dengan jujur.

Dhisa pun mencoba menahan tawanya, sementara Abi dan Marni sudah tertawa lepas akibat sahutan Yatna.

"Sudah, jalan-jalan saja sama Abi. Biar nanti Danar saja yang buat Bapak tambah stress," saran Marni.

Dhisa dan Abi pun segera keluar rumah setelah berpamitan dengan Yatna dan Marni. Dhisa merangkul lengan Abi seperti biasanya dan berjalan bersama dengan penuh senyuman.

"Akhirnya kita jalan-jalan lagi berdua, setelah sekian lama enggak pernah sejak kamu sakit. Aku merasa senang sekali saat ini," ungkap Abi.

"Aku juga merasa senang. Cuma mohon dimaklum kalau terkadang kita harus berhenti beberapa saat. Kepalaku terkadang masih pusing kalau terlalu lama berjalan," tanggap Dhisa.

"Iya, aku paham, kok. Kalau kamu mau berhenti segera tarik lengan aku, agar bisa ikut berhenti."

"Kalau aku mau berhenti pasti aku bilang atau kasih tanda sama Kakak. Masa aku mau narik-narik lengan Kakak, sih? Kalau Kakak jatuh akibat aku tarik lengannya, gimana coba?"

Senyum di wajah Abi pun terlihat semakin cerah. Pria itu mengusap-usap punggung tangan Dhisa yang saat ini sedang merangkul lengannya.

"Kamu yakin, tidak mau memakai mahkota imut-imut yang Ibumu pilihkan seminggu lalu, pada acara resepsi pernikahan kita nanti?" tanya Abi.

"Enggak mau, Kak. Kepalaku ini baru saja sembuh, loh. Masa sudah mau ditambahkan beban lagi di atasnya," jawab Dhisa.

"Tapi mahkotanya bagus dan cocok untuk kamu pakai. Ibumu pasti akan mencoba membujukmu sampai kamu mau memakainya," duga Abi.

"Sayangnya ... aku enggak mudah dibujuk," sahut Dhisa, lirih.

Mereka segera berhenti saat Dhisa memberi tanda pada Abi. Abi berdiri di sampingnya seraya menatap ke wajah Dhisa dengan penuh cinta. Ia menunggui dengan sabar, karena tahu kalau kepala Dhisa masih sering mengalami pusing yang begitu menusuk.

"Maaf ya, Kak, aku jadi sering menyusahkan Kakak akibat sering pusing mendadak," ujar Dhisa, terdengar tidak enak pada Abi.

"Dhi ... kamu kok ngomong begitu, sih?" tegur Abi dengan lembut. "Aku enggak merasa disusahkan sama sekali oleh kamu. Aku senang karena bisa mendampingi kamu pada saat kamu membutuhkan sandaran. Aku senang karena bisa menjadi bagian hidupmu disaat kamu sedang menghadapi sesuatu yang sulit. Aku senang karena kamu mau berbagi kesulitan itu sama aku. Kamu selalu ada buat aku, Dhi. Jadi kenapa aku harus merasa keberatan saat kamu membutuhkan aku? Jangan bicara begitu lagi, ya, Sayang. Aku sayang kamu."

Sebuah kecupan lembut dari Abi mendarat di pipi kiri Dhisa. Wajah Dhisa memerah seketika dan membuat Abi langsung mencubitnya dengan lembut karena merasa gemas. Sejak pulang dari rumah sakit tiga minggu lalu, entah sudah berapa kali Abi sering mengecup pipi Dhisa dan membuat wajah wanita itu memerah. Hal itu akhirnya menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihentikan oleh Abi. Melihat rona merah pada wajah Dhisa setelah ia mengecupnya seakan menjadi candu bagi Abi.

Mereka kembali berjalan setelah pusing di kepala Dhisa mereda. Mereka datang ke toko yang menjual berbagai macam barang unik, yang jarang dijual secara umum.

"Selamat datang di toko kami," sambut pegawai di toko tersebut.

Abi membawa Dhisa berjalan menuju ke salah satu rak yang memajang jenis-jenis jam pasir. Jam pasir milik Dhisa rusak total saat kecelakaan terjadi, sehingga kini sudah tidak bisa diperbaiki dan yang tersisa hanyalah jam pasir milik Abi. Namun karena jam pasir itu hanya tinggal satu, Danar akhirnya mengambil jam pasir milik Abi untuk dijadikan pajangan di kamarnya.

"Mau cari jam pasir yang satu pasang atau mau cari dua buah jam pasir yang jenisnya sama?" tanya Abi.

"Kalau ada yang satu pasang, maka sebaiknya ambil yang satu pasang saja, Kak," jawab Dhisa.

"Waktu itu sih aku lihat ada. Tapi ... entah masih ada atau tidak jam pasir yang satu pasang itu," ujar Abi, sambil menelusuri seluruh rak yang ada di hadapan mereka.

"Ada," sahut Dhisa.

"Mana?"

"Itu, di bagian belakang."

Abi pun mengambil jam pasir yang Dhisa tunjuk dan memperlihatkannya seraya tersenyum cerah.

"Wah ... mata kamu sangat jeli ketika memilih sesuatu. Ini jelas bukan pertama kalinya kamu memilih sesuatu bersama aku, dan aku tetap saja merasa takjub atas apa yang menjadi pilihanmu," puji Abi.

Dhisa pun tersenyum tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Abi, yang bagi Dhisa terlihat sangat bercahaya sejak ia menatapnya saat masih remaja.

"Hm ... sama persis seperti saat aku menjatuhkan pilihan atas diri Kakak saat masih remaja. Aku jelas tidak salah pilih pada waktu itu," balas Dhisa, sukses membuat wajah Abi merona merah dengan sempurna.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang