26 | Pergi Sendirian

89 8 0
                                    

Danar menatap Abi pagi itu yang sedang memakai kaus kaki dan sepatunya. Ia berharap kalau Abi akan mengatakan sesuatu sebelum Bapak dan Ibu mereka mendadak curiga serta mulai bertanya-tanya.


"Kakak ngapain lihat aku sampai begitu? Ada yang salah dengan wajahku pagi ini?" tanya Abi.

"Enggak ada yang salah dengan wajah kamu. Tapi ada yang salah sama sikap kamu. Kamu diam terus sejak tadi, Abi. Takutnya Bapak dan Ibu mulai tanya-tanya sama kita berdua," jawab Danar, berbisik.

"Aku harus gimana? Masa aku harus pura-pura ceria padahal di dalam pikiran aku ini sedang runyam," balas Abi, ikut berbisik.

"Runyam kenapa pikiranmu? Dhisa 'kan enggak marah sama kamu meski dia sudah tahu kebenarannya. Dia malah memutuskan menghapus jejak-jejak Ilmi dari diri kamu dan menggantinya dengan jejak-jejak dirinya. Huh! Alasan macam apa itu? Dhisa kalau ngomong memang selalu sukses membuat orang lain stress," omel Danar, yang masih tidak bisa terima karena harus menyaksikan secara langsung adegan ciuman antara Abi dan Dhisa.

Wajah Abi pun memerah saat teringat dengan alasan yang Dhisa pakai untuk bisa mencium bibirnya secara bebas semalam.

"Dia ternyata cukup kreatif ketika sedang terdesak dan butuh alasan," tanggap Abi.

Danar pun langsung menggeplak bahu Abi dengan jaket kulit miliknya sambil memasang wajah kesal setengah mati.

"Jangan malah jadi kebaperan kamu! Alasan saja bilang pikiran sedang runyam. Padahal dalam hati, kamu pasti merasa senang karena Dhisa semalam mencium bibirmu!" omelan Danar semakin menjadi.

Abi pun hanya mengulum senyum, lalu segera berpamitan dengan Bapak dan Ibunya. Danar pun melakukan hal yang sama, lalu mengikuti langkah Abi yang akan pergi menjemput Dhisa lebih dulu.

"Kakak enggak langsung pergi ke pasar?" tanya Abi.

"Enggak! Aku mau kasih ceramah rohani dulu sama pacarmu, biar dia enggak coba-coba lagi main sosor bibirmu seenaknya!" jawab Danar.

Danar pun melangkah menuju rumah Dhisa mendahului Abi. Abi mengekori langkah Kakaknya dan membiarkan pria itu menekan bel yang ada di depan pagar. Pagar rumah itu terbuka tak lama kemudian, namun niat Danar untuk mengomel pada Dhisa langsung urung dalam sekejap saat melihat sosok Kyara yang ada di samping Dhisa pagi itu.

"Selamat pagi Pak Abi ... Kak Danar ...." sapa Kyara.

Danar langsung tersenyum sumringah, sementara Abi tampak merasa heran dengan sapaan itu.

"Aku Adiknya Kak Danar, Suster Kyara. Kok dia dipanggil Kakak sementara aku dipanggil Bapak?" tanya Abi.

"Karena kalau yang manggil kamu 'sayang', cuma aku yang boleh," jawab Dhisa seraya merangkul tangan Abi dengan cepat.

Abi pun langsung tersenyum senang, sementara Danar dan Kyara seketika meringis dengan kompak saat mendengar jawaban yang Dhisa buat.

"Iya deh, iya. Suka-suka Dokter saja, yang penting Dokter bahagia," sahut Kyara, terdengar pasrah.

Dhisa pun tertawa saat mendengar Kyara menjadi sepasrah biasanya.

"Aku duluan ke klinik, ya, Dok. Dokter nanti kira-kira akan datang jam berapa ke klinik?" tanya Kyara.

"Insya Allah jam tiga sore aku akan sampai ke klinik, Suster Kyara. Minta saja pada Suster Maya untuk mewakili aku sementara waktu," jawab Dhisa.

"Loh? Memangnya kamu mau ke mana hari ini?" tanya Abi, agak sedikit kaget.

"Uhm ... sebenarnya semalam aku mau bilang kalau hari ini aku akan pergi ke Rumah Sakit Intan Husada, di Garut. Cuma karena semalam ada ...."

"Oke, enggak usah dibahas," potong Danar dengan cepat.

Dhisa dan Abi pun langsung terdiam dengan kompak sambil menahan tawa agar tidak meledak.

"Kalau begitu aku juga akan berangkat duluan. Suster Kyara, mau aku antar sampai ke depan klinik?" tawar Danar, seraya memasang senyumnya yang paling manis.

"Sebaiknya jangan, Kak. Aku takut merepotkan," jawab Kyara, yang benar-benar takut membuat repot orang lain.

"Tapi sayangnya aku enggak suka ditolak. Jadi ... ayo, aku akan antar kamu sampai ke depan klinik," Danar langsung menarik tangan Kyara tepat di hadapan Dhisa dan Abi.

"Hati-hati, Kak Danar. Jangan sampai tangan Suster Kyara lecet," goda Dhisa dengan sengaja.

"Astaghfirullah ... kamu kadang kok bisa jadi sebelas-dua belas sih, sama Kak Danar?" keluh Abi.

Dhisa pun tertawa pelan saat mendengar keluhan itu. Abi kini menatap ke arah mobil milik Dhisa yang tampaknya sudah disiapkan sejak tadi.

"Coba kamu bilang kalau akan pergi ke Garut, aku pasti akan minta izin ke kantor biar enggak usah masuk satu hari," ujar Abi.

"Jangan, dong. Itu namanya sama saja aku mengajarkan pada Kak Abi untuk bermalas-malasan. Aku 'kan pergi ke Garut juga untuk bekerja. Ada pasienku yang baru saja selesai menjalani operasi, jadi aku harus melihat keadaannya sekaligus membicarakan kondisinya dengan Dokter yang aku percayakan di sana," jelas Dhisa, agar Abi tidak merasa kecewa.

"Tapi nanti aku akan makan siang sendirian jadinya," Abi kembali mengeluarkan keluhan lainnya.

"Enggak usah makan di luar dulu hari ini. Aku sudah buatkan Kakak bekal makan siang. Jadi makan sianglah di kantor bersama Bapak," saran Dhisa, yang kemudian menarik lengan Abi menuju ke mobilnya.

Dhisa mengambil rantang susun dari dalam mobilnya dan langsung diserahkan pada Abi.

"Hm ... apakah ini adalah salah satu cara kamu untuk membuat aku berhenti mengeluh?" tebak Abi.

"Ya ... bisa dibilang begitu," jawab Dhisa, apa adanya.

"Tapi kamu pasti tahu 'kan, kalau aku akan tetap mengeluh? Aku jelas akan mengeluhkan soal waktu pertemuan kita yang akan sangat singkat sekali hari ini."

Dhisa pun meraih jam pasir miliknya dari dashboard mobil dan menunjukkannya pada Abi.

"Kita akan tetap bertemu, Kak Abi. Jadi sudahi keluhan Kakak, lalu segeralah berangkat ke kantor," saran Dhisa.

Senyum di wajah Abi mengembang dengan sempurna dan tampak begitu indah di mata Dhisa. Abi sendiri sedang merasa sangat bahagia, karena Dhisa selalu saja memiliki solusi untuk membuatnya bahagia dalam setiap kesempatan yang ada. Dhisa pun segera mengantar Abi sampai ke rumahnya karena ingin melihatnya berangkat menuju ke kantor sebelum dirinya sendiri juga berangkat ke Garut.

"Aku berangkat dulu, assalamu'alaikum," pamit Abi.

"Wa'alaikumsalam, Kak Abi. Hati-hati saat membawa kendaraan. Jangan ngebut," pesan Dhisa.

Abi pun langsung mengangguk, lalu melajukan motornya meninggalkan Cijanur dan juga Dhisa. Dhisa pun segera kembali ke rumahnya dan akan segera berangkat ke Rumah Sakit Intan Husada. Ia berpamitan pada Salma, lalu setelahnya segera membawa mobilnya keluar dari halaman rumah. Mobil milik Tomi dan Ilmi terlihat di belakang melalui pantulan kaca spion yang tengah ditatap oleh Dhisa. Dan ketika Dhisa berbelok menuju ke arah Garut, mobil milik kedua orang itu pun ikut berbelok ke arah yang sama.

"Hm ... mau ke mana mereka kira-kira? Apakah ... mengikuti aku?" duga Dhisa, membatin.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang