Dhisa masuk ke kamar dan langsung meraih ponsel yang tadi ia letakkan di atas meja tulisnya. Ia segera berusaha menghubungi Felicia malam itu juga karena ingin meminta bantuan.
"Halo, assalamu'alaikum Dokter Dhisa," sapa Felicia, ketika baru saja mengangkat teleponnya."Wa'alaikumsalam, Fel. Aku mau minta bantuan, boleh?" tanya Dhisa.
"Tentu saja boleh, Dokter. Dokter ingin minta bantuan apa?" tanya Felicia.
"Uhm ... bisa tolong kamu carikan data tentang terpidana kasus suap dari tahun dua ribu lima? Atas nama Mirza Alauddin," jawab Dhisa.
"Oke, Dokter. Namanya sudah aku catat. Aku akan segera meminta temanku untuk mencarikan datanya secara lengkap," sahut Felicia.
"Ya, terima kasih banyak, Felicia. Maaf sebelumnya, karena aku mengganggu kamu malam-malam begini."
"Sama-sama, Dokter. Tidak masalah sama sekali, kok. Kalau Dokter butuh bantuan lainnya, Dokter bisa beri tahu aku. Insya Allah kalau aku bisa, pasti aku akan bantu."
"Baiklah kalau begitu. Aku tutup dulu teleponnya. Assalamu'alaikum," pamit Dhisa.
"Wa'alaikumsalam, Dokter."
Setelah sambungan telepon itu terputus, Dhisa pun langsung keluar menuju balkon luar lantai dua. Wanita itu berdiri di dekat pembatas balkon sambil menatap dingin ke arah rumah milik Ilmi.
"Dia pindah ke Cijanur tahun dua ribu tujuh bersama Ibunya. Aku tidak pernah melihat Ayahnya sejak awal dia menjadi warga di sini. Kalau benar bahwa Mirza Alauddin adalah Ayahnya, maka berarti kepindahannya ke Cijanur bersama Ibunya adalah untuk mengawasi keluarga Pak Yatna dari jarak dekat. Sekarang aku harus mengumpulkan semua bukti tentang keterkaitan Ilmi dengan Mirza Alauddin, seperti yang disebutkan oleh Ilmi sendiri siang tadi. Setelah semuanya terkumpul, barulah aku bisa memberi peringatan pada keluarga Pak Yatna untuk benar-benar menjauh dari perempuan ular itu," batin Dhisa.
Abi sejak tadi menatap dari balkon rumahnya ke arah Dhisa yang mendadak muncul di balkon rumah wanita itu. Ekspresi Dhisa tampak sangat dingin malam itu, membuat Abi merasa penasaran karena tidak biasanya Dhisa berekspresi begitu. Entah apa yang sedang Dhisa perhatikan, Abi juga penasaran dengan hal lainnya tersebut. Pria itu mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu mulai mengetik pesan untuk Dhisa.
KAK ABI
Assalamu'alaikum. Kamu sedang apa? Apakah kamu baik-baik saja saat ini?Dhisa kini terlihat menatap ponsel ketika pesan dari Abi dia terima. Abi bisa melihat hal itu dari balik kegelapan balkon belakang rumahnya. Ekspresi Dhisa mendadak berubah. Ada senyuman tipis yang bisa Abi lihat di wajah itu, dan melihat senyuman itu benar-benar membuat Abi merasa senang.
DHISA
Wa'alaikumsalam, Kak. Aku sedang berdiri di balkon luar rumahku. Aku sedang memperhatikan sesuatu di bawah sana, di dekat halaman. Alhamdulillah aku baik-baik saja, meskipun ada sesuatu yang sedang kupikirkan saat ini. Kabar Kakak sendiri, bagaimana? Apakah Kakak baik-baik saja? Kakak sedang apa di rumah? Sudah makan malam?Pesan yang Dhisa kirim jelas masuk ke ponsel Abi dengan cepat. Abi membukanya dan mendadak hatinya merasa hangat saat dirinya membaca isi pesan itu. Dhisa tidak pernah lupa untuk memberinya perhatian. Hal itu membuat Abi merasa jauh lebih lengkap daripada sebelumnya.
KAK ABI
Boleh bertemu? Biar kamu bisa lihat sendiri bagaimana kondisiku saat ini.DHISA
Boleh. Mau bertemu di mana?KAK ABI
Di depan warung samping rumah Pak RT saja. Biar Ibumu tidak khawatir saat kamu akan bertemu denganku di luar. Biar kamu bisa langsung kelihatan oleh Ibumu kalau dia membuka pagar. Sekalian kita makan mie ayam. Aku belum makan malam karena sedang tidak ingin makan nasi.DHISA
Ayo. Aku sekarang menuju keluar rumah."Ibu, aku mau ke warungnya Pak RT. Mau makan mie ayam sama Kak Abi," ujar Dhisa.
"Iya. Makannya yang banyak, ya. Biar kamu gendutan sedikit. Ibu lihat kamu agak kurusan akhir-akhir ini," sahut Salma, yang masih saja berkutat dengan berkas-berkas lamanya.
Dhisa meringis beberapa saat, lalu segera keluar rumah dan berlari ke arah pagar. Saat ia membuka pagar, sosok Abi sudah ada di depannya dan sedang tersenyum. Dhisa jelas membalas senyuman itu, lalu menggandeng tangan Abi seperti biasanya.
"Ibu bilang makannya yang banyak, biar aku dan Kakak gendutan sedikit. Soalnya Ibu lihat kita berdua agak kurusan akhir-akhir ini," ujar Dhisa.
"Pasti kamu bohong. Itu pesan dari Ibu untuk kamu doang, 'kan?" tebak Abi.
Dhisa pun mencoba menahan tawanya sekuat tenaga.
"Kok Kakak bisa tahu, sih? Padahal tadi aku berencana membuat Kak Abi ikut makan banyak sama-sama aku, loh."
"Biar apa, Dhi? Biar kita jadi gendut bareng-bareng?"
Mereka berdua kini duduk di salah satu meja kosong. Hanya ada dua orang yang sedang menikmati mie ayam malam itu. Abi segera memesan mie ayam pada Bu RT yang sedang menjaga warung bersama Nisa, malam itu. Nisa memperhatikan Abi dan Dhisa, lalu mengambil foto mereka secara diam-diam untuk disebarkan melalui grup WhatsApp.
"Ibu bilang apa waktu kamu minta izin keluar?" tanya Abi.
"Ibu enggak bilang apa-apa selain meminta aku untuk makan yang banyak. Ibu lagi sibuk memeriksa berkas-berkas lamanya, sejak tadi," jawab Dhisa.
"Kamu sendiri bagaimana? Tidak ada kegiatan saat di rumah?"
"Ada. Tadi setelah pulang dari klinik aku langsung memasak, mencuci piring, shalat, terus mengobrol sama Ibu sebentar, setelah itu aku menelepon Felicia untuk meminta tolong sesuatu, dan terakhir aku berbalas pesan dengan Kakak sebelum kita keluar untuk bertemu."
Abi pun tersenyum senang saat mendengar betapa jujurnya jawaban yang Dhisa berikan. Ponsel milik Dhisa berbunyi dan wanita itu segera membukanya tepat di depan Abi.
"Kak Danar chat aku. Katanya kasih tahu sama pacarmu untuk membungkuskan mie ayam satu porsi kalau akan pulang. Jangan lupa campurkan sambal ke dalam mie ayamnya secara langsung sebanyak lima sendok," ujar Dhisa, mendikte isi pesan dari Danar.
"Balaslah. Bilang sama Kak Danar, iya nanti dibungkuskan," pinta Abi.
Dhisa pun segera membalas pesan itu lalu kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku. Mie ayam yang mereka pesan sudah disajikan oleh Bu RT, sehingga kini mereka bisa menyantapnya selagi masih panas.
"Makannya yang banyak, Dhi. Kalau masih kurang pesan saja lagi," saran Abi.
Dhisa pun langsung menyipitkan kedua matanya saat menatap ke arah Abi.
"Biar apa, Kak? Biar aku jadi gendut dalam waktu singkat seperti yang Ibu mau?" tanya Dhisa.
Abi berusaha menahan tawanya sekarang.
"Kak Abi enggak usah coba-coba bersekutu sama Ibu, deh. Kak Danar saja enggak pernah berhasil saat akan bersekutu dengan Ibu untuk membuatku makan dalam porsi banyak. Aku memang sudah dari sananya enggak bisa makan banyak, Kak," jelas Dhisa.
"Iya ... iya ... aku enggak akan bersekutu sama Ibu untuk membuat kamu makan banyak. Biar aku rayu saja kamu dengan caraku. Gimana? Mau 'kan, kalau aku rayu?" tawar Abi.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIRNYA
Romance[COMPLETED] Hal pertama yang diucapkan oleh Abi setelah empat belas tahun tidak bertemu dengan Disha adalah sebuah permintaan tolong untuk membantunya menghentikan banyak fitnah. Abi yang saat itu sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hatinya te...