18 | Perhatian Kecil

101 11 0
                                    

Dhisa menyerahkan jam pasir ke tangan Abi setelah pria itu mengantarnya sampai ke depan klinik. Abi terperangah saat melihat jam pasir itu, karena sudah sejak kecil dirinya ingin sekali memiliki jam pasir. Hanya saja ia tak pernah kesampaian untuk memilikinya, akibat dilarang membeli benda itu oleh Yatna dengan alasan harganya mahal.


"Eh, ini 'kan ...."

"Jam pasir yang selalu Kak Abi inginkan sejak masih kecil. Jam itu sengaja aku beli waktu terima gaji pertama dari rumah sakit beberapa tahun lalu. Aku memang berniat memberikan jam itu pada Kak Abi kalau kita bertemu lagi. Sekarang adalah kesempatan yang aku harap-harapkan. Kak Abi ada di hadapanku dan juga di sisiku. Jadi aku bisa bebas memberikan jam pasir itu tanpa perlu mencari-cari alasan agar pemberianku bisa Kak Abi terima," ujar Dhisa.

"Kamu kok tahu, kalau aku ingin sekali punya jam pasir?" lagi-lagi Abi merasa heran. "Tunggu dulu ... pasti Kak Danar 'kan yang membocorkan hal itu sama kamu?"

Dhisa pun tersenyum seraya mengangguk.

"Sejak dulu Kak Danar 'kan memang tempatku bertanya-tanya semua hal tentang Kak Abi. Jadi Kak Abi seharusnya enggak perlu kaget, dong."

"Tapi jam pasir ini harganya mahal, 'kan? Kenapa kamu malah gunakan gaji pertamamu untuk beli jam pasir ini, Dhi? Kamu 'kan juga pasti punya kebutuhan yang harus kamu utamakan daripada membeli jam pasir," Abi benar-benar bingung dengan jalan pikiran Dhisa yang masih saja sulit ia tebak.

"Enggak mahal, kok. Itu jam pasir harganya cuma seratus ribu dan dia ada sepasang. Pasangannya aku simpan di ruanganku. Kakak pernah lihat pasangan jam pasir ini waktu masuk ke ruang kerja aku, 'kan?" Dhisa mengingatkan Abi.

"Oh ... ini pasangannya jam pasir yang ada di meja kerja kamu waktu itu? Wah ... ternyata jam pasir ada juga yang modelnya satu pasang, ya? Demi Allah aku baru tahu loh, Dhi."

Abi tampak begitu senang saat memperhatikan jam pasir yang ada di tangannya tersebut. Dhisa pun memperlihatkan ponselnya pada Abi, yang mana layar ponsel itu tampak sedang memperlihatkan wajahnya.

"Ada kamera pada jam pasir itu dan aku bisa lihat Kakak dari ponselku meskipun jam kerja sedang berlangsung. Jadi, sebaiknya Kakak menyimpan jam pasir itu di meja kerja yang ada di kantor," saran Dhisa.

"Terus jam pasir yang ada di kantormu punya kamera juga?"

"Iya, ada kok. 'Kan jamnya satu pasang."

Abi segera mengeluarkan ponselnya dan memberikan ponsel itu pada Dhisa.

"Sambungkan ponselku pada kamera yang ada di jam pasirmu juga. Aku juga mau lihat kamu saat jam kerja sedang berlangsung. Biar aku bisa menahan kangen sama kamu selama berada di kantor," pinta Abi.

"Hah? Untuk menahan kangen?" Dhisa pun tertawa sambil menghubungkan ponsel Abi pada kamera jam pasir miliknya. "Kak Abi ada-ada saja. Mana mungkin Kakak bisa kangen kalau setiap hari kita ketemu terus?"

"Kita ketemu terus tapi enggak sama-sama terus, Dhisa Sayang. Kamu ada di klinik sampai sore, sementara aku ada di Kantor Kecamatan sampai sore. Waktu kita untuk bertemu itu singkat, Dhi, cuma beberapa jam saja," protes Abi.

"Saat jam makan siang 'kan kita ketemu lagi, Kak. Lumayanlah, enggak terlalu sedikit banget kok waktu ketemuannya kita," ralat Dhisa.

Abi pun memajukan bibirnya saat Dhisa meralat aksi protesnya. Hal itu membuat Dhisa tersenyum sambil menyerahkan ponsel milik pria itu kembali.

"Ya sudah, aku ke kantor dulu. Nanti saat jam makan siang akan aku jemput kamu seperti kemarin. Insya Allah," janji Abi.

"Iya. Aku juga akan menunggu Kakak menjemput seperti kemarin."

"Assalamu'alaikum," pamit Abi.

"Wa'alaikumsalam, Kak Abi. Hati-hati saat membawa kendaraan. Jangan ngebut," pesan Dhisa.

Abi pun mengangguk, lalu segera melajukan motornya menuju ke arah Kantor Kecamatan. Dhisa masih memperhatikannya meski Abi sudah mulai menjauh. Kini perasaan Dhisa jauh lebih tenang saat menatap punggung pria itu, setelah ada sebuah kepastian di antara dirinya dan Abi. Abi sendiri kini tersenyum di atas motornya saat melihat ke belakang melalui pantulan kaca spion. Sejak kemarin ia memperhatikan bahwa Dhisa tidak pernah masuk ke dalam klinik sebelum Abi benar-benar menghilang dari pandangannya. Entah kenapa ia merasa senang akan hal sederhana seperti itu. Belum lagi pesan yang selalu Dhisa ucapkan sebelum Abi pergi dari hadapannya. Pesan itu selalu terlontar dengan nada yang sama, seakan saat berpisah dengan Abi maka Dhisa merasa wajib untuk memberikan pesan itu agar Abi bisa menjaga dirinya.

"Kamu memang sulit aku pahami dan sulit untuk aku tebak, Dhisa. Namun perhatian-perhatian kecilmu terhadap diriku membuat aku tidak peduli akan kedua hal tersebut. Yang aku tahu, aku ingin terus menerima perhatian-perhatian kecil darimu setiap saat. Hanya itu," batin Abi, penuh harapan.

Setibanya Abi di kantor, pria itu langsung meletakkan jam pasir pemberian Dhisa di atas meja kerjanya. Ia tersenyum senang saat jam pasir itu ada di meja kerjanya, sama seperti bagaimana isi meja kerja Dhisa yang pernah dilihatnya di klinik. Yatna melihat jam pasir itu saat melintas di depan meja kerja putranya. Ia pun berhenti dan menatap ke arah Abi.

"Kamu beli jam pasir?" tanya Yatna.

"Enggak, Pak. Itu hadiah dari Dhisa. Jam pasirnya ada sepasang. Jadi yang satunya dikasih untuk aku. Satunya lagi ada di meja kerja Dhisa, di klinik," jawab Abi.

"Oh ... hadiah dari ayang kamu ternyata. Kirain Bapak teh, kamu sendiri yang beli jam pasir itu. Padahal Bapak barusan baru saja mau ngomel sama kamu," ungkap Yatna, jujur.

Abi pun langsung mengulum senyumnya dengan wajah memerah. Bapaknya kadang-kadang memang sebelas-dua belas dengan Kakaknya jika sudah menyangkut soal menggoda dan menjahili orang lain. Abi sudah tidak kaget dengan hal itu, lalu memilih segera berkonsentrasi dengan pekerjaannya yang sudah menunggu.

Tomi sudah benar-benar tidak berada di ruangan yang sama dengan Abi. Pak Camat telah memindahkannya ke bagian lain, setelah insiden dengan Salma kemarin. Yang tersisa di ruangan itu hanyalah Ilmi, dan pada saat itu Ilmi tampak sedang menatap penuh kebencian ke arah Abi secara diam-diam. Wanita itu jelas tidak terima karena Abi akan segera menikah dengan Dhisa. Dulu dia sudah bersusah payah untuk menjauhkan Abi dari Dhisa, saat ia tahu kalau Dhisa menyukai Abi. Ilmi tidak suka kalau Abi benar-benar berbahagia dengan seseorang, maka dari itu ia berpura-pura jatuh cinta padanya dan membuat pria itu menjadi miliknya. Saat bertemu dengan Tomi, akhirnya Ilmi menemukan seseorang yang bisa diajak bekerja sama untuk membuat Abi sengsara. Ilmi jadi tidak segan-segan untuk membuat perasaan Abi hancur total, terlebih saat itu Dhisa sudah tidak lagi berada di Cijanur.

"Kenapa Dhisa harus kembali ke Cijanur? Kenapa dia harus kembali dan langsung membuat Abi menjadi miliknya? Kapan hal itu terjadi? Kenapa semuanya mendadak berubah dari yang selalu aku impikan bersama Tomi?" geram Ilmi, sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat di bawah meja.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang