8 | Cara Memberi Peringatan

96 11 0
                                    

Karyawan Klinik Prima Medika yang mendampingi Salma pagi itu langsung menyerahkan sebuah map berwarna merah muda ke hadapan Tomi. Tomi menerima map tersebut dan mencoba mencari tahu apa tujuan kedatangan Salma yang belum mengatakan satu patah kata pun.

"Itu adalah surat izin yang harus diberi tanda tangan oleh Pak Camat. Dua hari yang lalu Pak Camat sedang keluar kota, jadi surat izin tersebut dijanjikan akan diberi tanda tangan hari ini setelah Pak Camat kembali dari luar kota," jelas Felicia--Apoteker yang diminta oleh Salma untuk menemaninya pergi.

"Oh, tentu bisa. Bahkan tidak perlu waktu lama untuk mengurus hal seperti ini," ujar Tomi.

Salma dan Felicia pun diam saja setelah mendengar apa yang Tomi katakan. Laki-laki itu jadi terlihat mati gaya setelah ucapannya tidak ditanggapi sama sekali oleh Salma maupun Felicia. Abi dan Yatna sengaja tidak melihat ke arah mereka, namun keduanya tetap mencoba mendengarkan secara diam-diam.

"Kenapa malah diam, Pak? Kalau memang tidak butuh waktu lama, kenapa Bapak tidak segera membawa map itu ke hadapan Pak Camat agar bisa diberi tanda tangan?" tanya Felicia, sambil memasang wajah sinis ke arah Tomi.

"Uhm ... itu ... karena biasanya hal seperti ini prosesnya tidak cepat. Tapi kalau saya yang mengurusnya, maka prosesnya bisa jadi lebih cepat," jawab Tomi.

Pria itu jelas sedang mencoba memberikan kesan bahwa dirinya adalah orang yang cukup berpengaruh di kantor tersebut. Tomi jelas ingin Salma merasa beruntung karena bisa mengenal dirinya, sehingga tidak akan ada hal tertunda yang menyangkut perizinan.

"Maksudnya ... Bapak butuh uang pelicin dari kami untuk memperlancar kerja Bapak, agar surat izin itu bisa segera diberi tanda tangan oleh Pak Camat?" duga Felicia.

"Oh, tidak perlu sampai seperti itu. Saya bertetangga dengan Bu Salma, jadi jelas tidak perlu ada hal-hal seperti itu untuk mempermudah mendapatkan tanda tangan dari Pak Camat," elak Tomi, sambil berusaha tertawa meskipun terdengar sumbang.

"Jadi kalau Bu Salma bukan tetangga Bapak, maka Bapak akan meminta uang pelicin pada orang yang butuh surat izinnya diberi tanda tangan oleh Pak Camat? Begitu 'kan, maksudnya?" ejek Felicia, tidak segan-segan.

Tomi benar-benar mati gaya saat mendengar ejekan yang dilayangkan oleh Felicia. Pak Camat keluar dari ruangannya tak lama kemudian setelah menerima pesan dari Salma.

"Ibu Salma ... apa kabar, Bu?" sambut Pak Camat, seraya menjabat tangan Salma.

Salma pun tersenyum ramah saat Pak Camat menyambutnya. Yatna, Abi, maupun Ilmi masih mengawasi keadaan saat itu. Tomi tampak sedikit kaget karena ternyata Pak Camat mengenal Salma dan tampak begitu akrab.

"Alhamdulillah kabar saya baik, Pak Herman. Saya datang ke sini untuk meminta tanda tangan Pak Herman, agar surat izin klinik milik Putri saya bisa cepat selesai diurus. Tapi sayang sekali, keinginan saya malah dihalang-halangi oleh salah satu pegawai anda yang kalau saya tidak salah baca, namanya adalah Tomi ... Hasfindra," ujar Salma, seraya memicingkan kedua matanya ke arah tag name di baju seragam yang Tomi pakai.

Tatapan Pak Camat pun langsung tertuju tajam ke arah Tomi, dan Tomi pun langsung memutar otak dengan cepat agar Pak Camat tidak perlu salah paham terhadapnya.

"Oh ... bu--bukan begitu maksud saya tadi, Bu Salma. Saya hanya berusaha ...."

Felicia langsung memutarkan rekaman suara yang diambilnya diam-diam sejak tadi, sehingga Tomi pun bungkam di tempatnya. Rekaman suara itu sengaja diputar oleh Felicia setelah wanita itu meminta izin pada Yatna untuk menggunakan kabel speaker yang ada di kantor tersebut. Pak Camat dan semua orang yang ada di kantor itu bisa mendengar dengan jelas apa yang Tomi bicarakan tadi dengan Felicia. Ilmi bahkan sampai gemetar di mejanya ketika ucapan Tomi diperdengarkan dengan sangat jelas kepada semua rekan satu kantor mereka. Yatna dan Abi kini saling menatap dengan wajah yang cukup kaget, saat melihat Felicia yang tampak begitu tenang saat melakukan aksinya.

"Saya heran, kenapa pegawai yang hobi meminta dan menerima uang suap seperti dia harus dipertahankan di kantor ini. Pak Camat sudah tidak punya kandidat lain yang bisa bekerja di sini? Apakah saya harus mendiskusikannya dengan Pak Wa--"

"Ah, ti--tidak perlu, Bu Salma. Saya benar-benar menyesali perilaku tidak baik salah satu pegawai saya terhadap Ibu pagi ini. Tapi saya mohon, agar hal ini tidak perlu didiskusikan dengan Bapak Walikota. Saya ... saya akan menegurnya dengan keras dan bahkan akan memindahkannya ke bagian lain yang tidak akan berhubungan dengan pelayanan terhadap masyarakat," janji Pak Camat.

"Mm ... mungkin itu adalah ide yang bagus, Pak Herman. Kalau bisa pindahkan hari ini juga, ya. Karena kalau dia masih bekerja untuk melayani masyarakat, maka masyarakat akan banyak sekali dirugikan oleh dia akibat sering meminta suap. Tapi kalau pemindahannya ditunda-tunda, maka saya jelas akan langsung mendiskusikan hal ini kepada Pak Walikota."

Salma tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya, karena nomor telepon Walikota sudah terpampang nyata pada layar ponsel wanita itu dan Pak Camat bisa melihatnya dengan jelas.

"Akan saya pindahkan hari ini juga, Bu Salma," ujar Pak Camat, yang kemudian mengalihkan tatapannya ke arah Tomi. "Kamu! Segera ke ruangan saya!"

Pak Camat pun segera berjalan menuju ruangannya kembali dengan wajah memerah akibat menahan emosi, setelah memberi tanda tangan pada berkas yang Salma inginkan. Tatapan Salma kini jatuh pada Tomi dan wanita paruh baya itu tampak tersenyum sinis.

"Bagaimana rasanya dipermalukan secara langsung di depan atasanmu? Tidak enak, bukan?" tanya Salma.

Tomi memilih tidak menjawab dan hanya mencoba menahan emosinya agar tidak meledak.

"Anggap saja itu adalah bayaran atas ucapan kasar Istri kamu terhadap Putri saya, tadi pagi. Putri saya mungkin tidak mendengar hinaan itu dan bahkan kalau dia mendengarnya sekalipun, maka dia akan memaafkan Istri kamu. Itu sudah sifat alami Putri saya, yaitu mudah memaafkan seseorang. Tapi saya jelas berbeda dengan Putri saya. Saya tidak akan bisa terima jika ada yang berusaha menghinanya, terutama menghina hasil kerja keras yang Putri saya lakukan. Jadi beri tahu pada Istri kamu, jaga mulutnya baik-baik atau hidupnya dan hidupmu akan saya buat sengsara. Saya tidak pernah mengganggu kehidupan seseorang, jadi jangan coba-coba mengganggu kehidupan keluarga saya!" tegas Salma.

Salma pun kemudian berbalik dan hendak pergi dari kantor tersebut. Namun wanita paruh baya itu kembali mengurungkan niatnya saat melihat keberadaan Yatna di tempat yang sama.

"Assalamu'alaikum, Pak Yatna," sapa Salma, seramah biasanya--seperti dulu.

"Wa'alaikumsalam, Bu Salma," balas Yatna, seraya menjabat tangan Salma yang terulur.

"Bagaimana kabarnya, Pak? Maaf kalau saya baru bisa menyapa hari ini, karena kemarin saya masih sibuk mengurus rumah yang baru kami tempati. Ibu sehat-sehat di rumah, Pak? Saya berniat ingin mampir nanti siang untuk silaturahmi."

"Alhamdulillah kabar saya maupun Istri di rumah sehat, Bu Salma. Jika Bu Salma ingin mampir, silakan saja. Tapi mungkin di rumah hanya akan ada Istri saya yang menyambut."

"Tidak apa-apa, Pak Yatna. Saya paham jika memang hanya Ibu Marni yang akan menyambut. Kalau begitu saya permisi dulu, Pak Yatna, karena saya harus membawakan Dhisa surat izin ini ke kliniknya. Assalamu'alaikum," pamit Salma.

"Iya, Bu Salma. Silakan. Wa'alaikumsalam," jawab Yatna.

Ketika Salma pergi usai berbincang sebentar dengan Yatna, Tomi pun segera beranjak dari mejanya menuju ke ruang kerja Pak Camat. Laki-laki itu melewati Ilmi yang wajahnya sudah memucat.

"Tunggu bagianmu di rumah!" desis Tomi, benar-benar sedang menahan amarahnya.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang