4 | Tentang Rasa Yang Masih Ada

88 11 0
                                    

Mendengar pertanyaan itu terlontar dengan nada yang tegas, jelas membuat Abi maupun Dhisa saling menatap satu sama lain. Namun ekspresi mereka tampak benar-benar tenang dan tidak menandakan sedang menyimpan sesuatu.

"Dhisa ini pacar Abi, Pak," jawab Abi.

"Pacar? Kapan pendekatannya? Kok bisa tiba-tiba kalian pacaran padahal Dhisa baru pindah hari ini ke Cijanur?" Yatna masih tidak mau mempercayai apa yang ia dengar saat itu.

"Maaf, Pak, mungkin sebaiknya Bapak tanyakan hal itu padaku," sela Dhisa.

Tatapan Yatna kini benar-benar beralih ke arah Dhisa. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut pria paruh baya tersebut, namun Dhisa sadar bahwa dirinya harus mulai memberi penjelasan. Danar berharap kalau Dhisa tidak akan gugup atau Yatna tidak akan percaya dengan penjelasannya.

"Soal pendekatan yang seharusnya terjadi di antara kami ... sejujurnya hal itu sudah terjadi sejak lama. Sejak remaja, aku berusaha untuk mendekati Kak Abi karena aku memang menyukainya. Sayangnya pada saat kami masih remaja, Ilmi yang menjadi pemenang atas hati Kak Abi dan aku memutuskan mundur karena tidak ingin memaksakan kehendak. Jadi ketika tadi siang kami bertemu lagi setelah sekian lama, aku langsung meminta pada Kak Abi agar diberi kesempatan untuk bisa benar-benar melakukan pendekatan. Dan saat kami pergi berdua tadi, akhirnya kami memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar berteman," jelas Dhisa, benar-benar tidak ragu.

Abi tidak kaget dengan penjelasan yang Dhisa utarakan. Ia jelas sudah lama tahu bahwa Dhisa memang pernah menyukainya saat masih remaja, namun memilih mundur karena dirinya telah memilih Ilmi. Hanya saja, Abi tidak menyangka bahwa Dhisa akan mengatakan kejujuran mengenai perasaannya yang dulu terhadap Abi, sebagai bagian dari kesepakatan mereka.

"Wah ... jadi gosip yang dulu itu memang benar adanya, ya?" tanya Danar, tampak berusaha menahan senyum karena baru saja mendapatkan jalan untuk membongkar semua rahasia perasaan Dhisa kepada Abi yang ia ketahui sejak remaja.

Dhisa pun tersenyum dengan santai seperti dulu.

"Itu bukan gosip, Kak Danar. Itu memang fakta dan itu adalah fakta yang sangat berusaha aku sembunyikan. Aku rasa Kak Danar sudah tahu bahwa hal itu memang fakta. Tapi itu dulu, sekarang aku jelas tidak perlu menyembunyikan hal itu lagi," jawab Dhisa.

Yatna dan Marni pun kini menatap ke arah Danar.

"Itu benar?" tanya Marni.

"Iya, Bu. Dulu banyak yang bilang kalau Dhisa memang suka sama Abi, tapi kalah sama Ilmi. Aku pikir itu cuma gosip, eh, ternyata fakta," jawab Danar, mulai berniat menggoda sahabatnya. "Kenapa sih, kamu harus mengalah sama Ilmi? Kenapa enggak berusaha lebih keras untuk mendapatkan Abi?"

"Uhm ... kenapa, ya? Mungkin karena aku menyukai Kak Abi dengan niat ingin memiliki hatinya, bukan hanya raganya. Selalu beda 'kan, hasilnya, jika kita menyukai seseorang karena menginginkan raganya saja dengan alasan orang itu menarik, tampan, pintar, populer dan lain sebagainya. Menyukai seseorang dengan niat menginginkan hatinya akan jauh lebih sering membuat kita menahan diri untuk tidak bertingkah agresif, Kak Danar. Kita akan lebih sering merasa malu dan tidak percaya diri untuk melakukan hal-hal seperti memaksakan kehendak atau merebut orang yang kita suka setelah menjadi milik orang lain. Ya ... mungkin itu yang jadi pertimbanganku sehingga memilih untuk mundur," tutur Dhisa.

Danar, Yatna, Marni, maupun Abi terdiam dan tak bisa mengatakan apa-apa setelah mendengarkan Dhisa bicara. Dhisa benar-benar tenang dan sama sekali tidak menunjukkan keragu-raguan ketika menjawab setiap pertanyaan yang terlontar dari mulut Yatna ataupun Danar.

"Uhm ... sebentar lagi maghrib, jadi aku mau antar Dhisa pulang ke rumahnya," ujar Abi, mencari alasan agar Dhisa tidak perlu lama-lama tertahan di rumah keluarganya.

"Oh, iya atuh, sok antar Dhisa pulang. Jangan sampai Bapak dan Ibunya mencari," ujar Marni.

"Hanya Ibunya yang ada di rumah, Bu. Bapaknya Dhisa sudah lama meninggal dunia," Abi memberi tahu agar tidak perlu ada yang bertanya-tanya lagi.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Yatna, Danar, dan Marni dengan kompak.

"Kapan meninggalnya, Dhi?" tanya Danar.

"Sudah lama, Kak Danar. Sudah sepuluh tahun yang lalu," jawab Dhisa, apa adanya.

"Aduh, maaf ya kalau Ibu menyebut Bapak kamu seenaknya tanpa tanya-tanya dulu, barusan," ucap Marni, merasa tidak enak.

"Enggak apa-apa, Bu. Aku sudah biasa menghadapi hal-hal seperti itu. Ibu jangan merasa bersalah atau merasa tidak enak. Ibu bahkan jelas berhak bertanya tentang kedua orangtuaku yang sudah lama tidak bertemu dengan keluarga ini. Meskipun dulu keluarga kita saling mengenal cukup dekat, tapi setelah empat belas tahun tidak bertemu jelas banyak hal yang perlu dipertanyakan. Entah itu kabar atau tentang siapa pun yang ada di dalam keluarga kami saat ini," ujar Dhisa, mencoba menenangkan Marni.

Setelah berpamitan, Abi pun akhirnya benar-benar mengantar Dhisa menuju rumahnya. Mereka kembali berjalan bersama seperti tadi, di mana Dhisa harus kembali merangkul lengan Abi.

"Aku enggak kepikiran kalau kamu akan mengatakan dengan jujur soal perasaanmu yang dulu kepadaku. Aku tadi hampir kehabisan alasan untuk menjawab pertanyaan dari Bapakku," ujar Abi, jujur.

"Enggak apa-apa, Kak. Memang itu yang sebenarnya terjadi. Aku yakin Kak Abi pun tahu tentang perasaanku yang dulu terhadap Kakak," balas Dhisa.

"Apakah perasaanmu masih begitu sampai sekarang terhadapku?" tanya Abi.

"Apakah boleh? Apakah Kakak tidak akan merasa jengah dan risih jika perasaanku yang dulu masih tetap ada?" Dhisa balas bertanya.

Abi pun terdiam saat menatap wajah wanita itu. Dhisa kemudian tersenyum dan tetap setenang tadi.

"Jangan terlalu dipikirkan. Kalaupun saat ini perasaanku terhadap Kakak masih ada, maka aku bisa menjamin bahwa hal itu tidak akan mengganggu hidup yang Kakak jalani. Itu hanya perasaan pribadiku saja, jadi Kakak tidak perlu merasa terbebani sedikit pun," Dhisa berusaha meyakinkan Abi.

Mereka akhirnya tiba di depan pagar rumah Dhisa. Dhisa pun melepaskan rangkulannya pada lengan Abi, agar pria itu bisa pulang setelah mengantarnya sampai ke rumah.

"Kamu bilang begitu karena takut aku marah atau karena takut aku menjauh?"

"Tidak kedua-duanya. Kak Abi boleh marah padaku dan Kak Abi boleh menjauh dariku jika kesepakatan kita sudah selesai. Lagi pula sejak dulu kita memang tidak pernah dekat dan tidak saling mengenal baik. Saat ini aku hanya ingin Kak Abi terlepas dari masalah dan aku ingin Kak Abi bisa hidup dengan tenang tanpa dibayang-bayangi oleh fitnah dari siapa pun."

"Kamu mau tahu hal yang menurutku lucu hari ini?" tawar Abi.

Dhisa pun mengangguk dengan cepat.

"Dari banyaknya hal yang kita jalani tadi, aku sama sekali tidak menemukan adanya kebohongan dari setiap ucapan kamu. Dan itu artinya, perasaanmu yang dulu terhadapku memang masih ada. Benar begitu, 'kan?"

Lagi-lagi Dhisa tersenyum saat menatap Abi.

"Jangan khawatir, Kak. Pulanglah. Soal perasaanku untuk Kakak jelas akan menjadi tanggung jawabku sendiri."

Dhisa pun masuk ke dalam pagar rumahnya yang begitu rapat, lalu menutupnya agar Abi benar-benar bisa segera pulang. Dari balik pagar itulah, Dhisa segera menyandarkan diri agar tidak limbung dan terjatuh. Gelenyar rasa sakit mendadak menjalar di dalam dada Dhisa. Pada saat itulah ia tahu dengan pasti, bahwa perasaannya tidak akan pernah berbalas.

"Kenapa aku hanya bisa membuka hati untuk satu orang, sementara pada saat yang sama orang itu tidak mau menempati hati yang kubuka untuknya?" tanya Dhisa, membatin.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang