13 | Sama-Sama Merasakan Sakit

96 13 0
                                    

"Kamu mau jemput Dhisa dulu?" tanya Yatna, saat keluar dari kantor sore itu.

"Iya, Pak. Aku mau jemput Dhisa dulu, baru setelah itu pulang ke rumah," jawab Abi.

"Ya sudah, Hati-hati bawa motornya. Jangan ngebut. Ingat, kamu teh mau bawa Dhisa pulang, jadi jangan ngebut di jalan," pesan Yatna.

"Iya, Pak. Insya Allah aku enggak akan ngebut saat bawa motor."

Yatna pun segera membawa motornya sendiri dan pulang lebih dulu. Abi keluar dari area kantor tak lama kemudian, mengarahkan laju motornya menuju ke Klinik Prima Medika. Ia tidak ingin membuat Dhisa menunggu terlalu lama, maka dari itu tadi ia sengaja mempercepat pekerjaannya agar selesai tepat waktu. Ini pertama kalinya bagi Abi bisa kembali menjemput seseorang, setelah tujuh tahun berlalu sejak dirinya dan Ilmi tidak lagi punya hubungan apa-apa. Entah kenapa ia merasa begitu senang karena memiliki tujuan baru saat pulang dari kantor. Padahal ia sangat sadar bahwa hubungan dengan Dhisa hanyalah hubungan pura-pura. Ia sudah mengatakan pada Dhisa bahwa pada akhirnya nanti mereka akan kembali menjadi orang asing, tapi dirinya sendiri seakan tidak menginginkan hal itu. Ia ingin Dhisa tetap di sisinya dan menyandera wanita itu untuk dirinya sendiri, meski mungkin tidak akan ada perasaan apa pun yang bisa Abi berikan untuk Dhisa pada akhirnya.

"Apakah itu bisa disebut egois?" tanya Abi di dalam hati.

Dhisa tampak sudah menunggu kedatangan Abi di depan kliniknya. Abi akhirnya tiba di hadapannya dan langsung menyodorkan helm. Dhisa tersenyum saat dirinya berada di hadapan Abi, membuat Abi mengalihkan tatapannya ke arah lain dengan segera.

"Kamu kenapa senyum terus begitu, sih?" tanya Abi.

"Biar enggak ada orang yang berpikir kalau kita lagi marahan. Kalau aku cemberut atau memasang wajah datar, nanti orang lain akan berpikir kalau kita lagi berantem. Kenapa? Enggak suka kalau aku senyum untuk Kakak?" Dhisa balas bertanya seraya tertawa santai.

Abi tidak menjawab dan lebih memilih diam saja.

"Kalau Kakak enggak suka atau Kakak merasa enggak nyaman saat aku senyum di depan Kakak, aku akan berhenti senyum mulai sekarang," tawar Dhisa.

"Terus kamu mau senyum di depan siapa kalau bukan senyum di depan aku? Kamu mau senyum di depan laki-laki lain? Iya? Gitu?" sebal Abi.

Dhisa pun memukul pelan bahu Abi hingga membuat pria itu terlonjak di atas motornya.

"Ih ... Kak Abi kok cemburuan begini, sih? Sejak kapan coba Kak Abi sifatnya jadi pencemburu begini? Seingatku, dulu Kak Abi enggak pernah cemburuan," protes Dhisa.

"Tapi memang betul, 'kan? Kalau kamu enggak senyum di depanku, terus kamu mau senyum di depan siapa? Aku enggak mau kamu senyum-senyum di depan laki-laki lain. Di depanku saja kalau mau senyum. Titik," tegas Abi.

"Hm ... iya deh, iya. Aku pasrah saja. Aku akan ikuti semua maunya Kakak, biar Kak Abi enggak perlu uring-uringan terus. Ayo, sebaiknya kita pulang sebelum dicari-cari sama orangtua kita masing-masing," ajak Dhisa.

"Aku mau ajak kamu jalan-jalan dulu, Dhi. Kita memang enggak akan langsung pulang," ujar Abi.

"Ya sudah, kalau begitu aku bilang dulu sama Ibuku," balas Dhisa, sambil mengetik pesan dengan cepat pada ponselnya.

Abi benar-benar membawanya jalan-jalan, sore itu. Mereka berdua tidak mendatangi tempat manapun, tidak ada tujuan sama sekali. Mereka hanya berputar-putar saja di jalanan sambil naik motor berdua.

"Pegangan yang erat. Jangan jaga jarak terus, Dhi. Nanti kamu jatuh," ujar Abi, mencari-cari alasan agar Dhisa segera melingkarkan lengannya pada pinggang pria itu.

"Enggak mau. Nanti takut kebiasaan," tolak Dhisa.

"Takut kebiasaan? Memangnya kenapa kalau akhirnya jadi kebiasaan? Bukannya malah bagus, ya, kalau kamu kebiasaan melingkarkan lengan erat-erat di pinggangku?" tanya Abi.

Dhisa terdiam selama beberapa saat.

"Enggak bagus, Kak Abi. Kita saat ini hanya sedang pura-pura pacaran saja. Kalau suatu hari akhirnya kesepakatan kita selesai dan kita kembali menjadi orang asing, apa yang aku lakukan saat bersama Kakak sekarang akan terus membayangi hidupku selanjutnya. Kak Abi mungkin bisa dengan mudah melupakan aku nantinya, tapi tidak begitu denganku. Kakak tahu sendiri kalau aku memang memiliki perasaan untuk Kakak sejak lama. Jadi kalau aku menambahnya dengan kenangan manis di antara kita berdua, maka mungkin nanti aku tidak akan bisa melanjutkan hidup bersama orang lain," jelas Dhisa, memutuskan untuk bicara secara terbuka.

Abi terdiam lagi dan memikirkan penjelasan yang Dhisa berikan padanya. Hatinya mendadak sakit saat membayangkan saat dirinya harus melupakan Dhisa setelah semuanya berakhir. Hatinya semakin sakit saat membayangkan Dhisa melanjutkan hidup dengan orang lain yang bukan dirinya. Rasa sakit itu membuat Abi benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi. Rasa sakit itu seakan sedang mencoba menghancurkan pintu hatinya yang selama tujuh tahun terakhir telah ia kunci dengan rapat, agar hati itu bisa menerima kehadiran seseorang yang saat ini benar-benar ada di sisinya.

"Kita pulang," putus Abi.

"Iya, Kak," balas Dhisa, menurut saja dengan keinginan Abi.

Abi memutar balik arah tujuannya dan kini motor itu pun kembali melaju ke arah Malangbong. Mereka benar-benar terus terdiam dan tak lagi saling bicara. Entah itu Abi maupun Dhisa, kini sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing dan berusaha menekan kesakitan tidak tentu arah yang sedang mereka rasakan di dalam hati. Semuanya tampak buram dan gelap. Semuanya tampak menyesatkan. Namun mereka sadar akan satu hal. Bahwa ketika mereka sedang bersama, tidak ada yang bisa membuat mereka tersesat ataupun buta.

Abi mengantar Dhisa sampai di rumahnya. Pria itu pulang setelah Dhisa benar-benar masuk ke dalam pagar yang begitu rapat. Abi benar-benar tidak banyak bicara sore itu. Ia hanya mengucapkan salam saat tiba di rumah, lalu segera masuk ke dalam kamarnya dan tidak keluar lagi. Marni dan Yatna merasa sedikit kebingungan dengan tingkah Abi saat itu. Danar paham dengan kekhawatiran yang orangtuanya rasakan. Hal itu pernah terjadi, saat Abi baru saja mendapati kalau Ilmi berselingkuh dengan Tomi dan akhirnya meninggalkan dirinya setelah membuat perasaannya hancur berantakan.

"Bapak sama Ibu tenang saja. Biar aku yang mengurus Abi," ujar Danar.

Danar pun segera masuk ke kamar Abi dan menutup pintunya dari dalam. Marni memegangi dadanya dan berusaha tetap berpikiran positif.

"Apakah Dhisa sekarang sudah mulai percaya dengan fitnah-fitnah yang didengarnya dari Tomi?" tanya Yatna, yang tampak mulai tidak ingin lagi banyak berharap terhadap siapa pun.

"Enggak tahu, Pak. Ibu enggak bisa menerka-nerka. Meskipun tadi siang Bu Salma banyak mengobrol dengan Ibu di sini, Ibu tetap tidak bisa menebak isi hati Putrinya terhadap Putra kita," jawab Marni, apa adanya.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang