Bu RT sedang menatap Dhisa yang masih terbaring dan belum sadarkan diri bersama Marni dan Salma. Abi masih berada di posisinya tadi dan sama sekali belum beranjak meski hanya sebentar. Yatna kini duduk bersama Pak RT dan Danar di ruang tunggu sambil membicarakan soal Ilmi dan Tomi.
"Insya Allah Dhisa akan bangun secepatnya. Kita tidak boleh pesimis. Kalau kata Dokter kondisinya sudah stabil, berarti akan ada titik terang baginya untuk bisa sembuh lagi," ujar Bu RT, memberi semangat untuk Salma dan Marni."Aamiin yaa rabbal 'alamiin. Semoga saja demikian, Bu RT. Kami jelas mengharapkan hal yang sama saat ini. Meski kami sedang cemas, tapi kami tidak akan berhenti untuk optimis," tanggap Salma.
"Insya Allah pasti cepat bangun. Dhisa itu tangguh dan saya sudah sering dengar hal itu dari Danar sejak mereka mulai bersahabat. Dia pasti bisa melalui saat-saat ini," yakin Marni, sambil mengusap airmatanya berulang-ulang kali.
Mereka kembali meninggalkan Abi sendiri di sisi Dhisa setelah menemani selama beberapa saat. Abi mengangkat pelan tangan Dhisa yang tengah ia genggam saat itu, lalu mengecupnya dengan lembut.
"Bangun, Dhi. Aku ada di sini. Maaf, tadi seharusnya aku enggak menunda-nunda membalas pesanmu. Aku juga sayang sama kamu, Dhi. Maaf karena rasa sayangku terhadap kamu terlambat dan tertunda sangat lama. Maaf karena aku enggak pernah memilih untuk percaya dengan rasa sayangmu kepadaku. Maafkan aku," ungkap Abi.
Satu tetes airmata akhirnya lolos dan mulai membasahi wajah Abi. Ia telah berusaha sangat kuat untuk menahan airmatanya, namun rasa sesak dalam dadanya terus menggerogoti hingga dirinya tidak lagi mampu untuk tetap tenang.
"Aku ... aku masih mau bicara banyak hal sama kamu. Aku ingin mendengarmu mengutarakan banyak hal yang ada di dalam pikiranmu. Aku masih ingin menatap kamu saat kita makan siang bersama. Aku ingin kamu melingkarkan lenganmu di pinggangku saat naik motor agar kita punya kenangan manis. Aku menginginkan semua itu, Dhi. Aku menginginkan kamu di dalam harapanku."
Danar hendak masuk ke dalam ruang perawatan itu dan kembali menemani Abi menunggu Dhisa sadar. Namun pria itu akhirnya mengurungkan niat, saat mendengar apa yang sedang Abi ungkapkan pada Dhisa. Ia akhirnya memutuskan hanya berdiri di ambang pintu ruangan tersebut, sekaligus ingin menjadi saksi bahwa perasaan Dhisa terhadap Abi akhirnya benar-benar berbalas.
"Kamu sudah berjanji enggak akan pernah pergi dari sisiku, Dhi. Semuanya sudah selesai, Dhi, seperti yang kamu janjikan padaku saat kita bertemu lagi empat hari lalu. Kamu sudah perjuangkan segalanya agar semua kesakitan di hatiku berakhir. Tapi aku enggak mau ada yang berakhir di antara kita, Dhi. Aku enggak mau kamu menjadi jadi orang asing lagi di dalam hidupku. Bangun, Dhi. Tolong bangun dan berikan aku kepastian bahwa kita benar-benar enggak akan pernah menjadi orang asing lagi. Bangun. Aku mohon, bangun dan buat aku yakin," pinta Abi, tanpa bisa menghentikan kesedihannya.
Sebuah gerakan pada jemari Dhisa menyentakkan Abi dan membuat ia tersadar dari rasa sedihnya. Abi menatap ke arah wajah Dhisa dan kembali menatap jemari wanita itu lagi ketika gerakan yang ia rasakan mulai semakin kuat. Kedua mata Dhisa mengerejap pelan ketika kesadarannya benar-benar kembali. Danar ikut merasa senang saat hal itu terjadi, lalu membuat dirinya segera berlari untuk mengabarkan pada Salma, Yatna, dan Marni yang saat itu tengah mengantar Pak RT dan Bu RT yang akan pulang.
"Dhi ... kamu bisa dengar aku? Sayang?" tanya Abi, berusaha meyakinkan diri bahwa Dhisa telah sadar.
"Hai," sapa Dhisa, lirih.
Abi pun tersenyum lega ketika akhirnya mendengar suara Dhisa lagi.
"Ini ... di mana, Kak?"
Dhisa tampak berusaha mengenali tempatnya berada saat itu.
"Rumah sakit, Sayang. Kamu mengalami kecelakaan. Tomi dan Ilmi sengaja menabrak mobilmu dari belakang. Kepalamu sempat mengalami pendarahan, tadi. Kamu ditangani dengan cepat oleh Dokter Calista," jelas Abi.
"Dan lalu Kakak langsung menyusul ke sini? Kakak nangis? Kenapa? Ada yang membuat Kakak merasakan sakit lagi?" tanya Dhisa, sambil berusaha menggapai wajah Abi untuk menyeka airmata pria itu.
Abi sedikit tergugu sambil menciumi punggung tangan Dhisa berulang-ulang kali.
"Enggak ada lagi yang bisa menyakiti aku, selama kamu ada di sisiku, Dhi. Kamu sudah melakukan segalanya untuk aku tanpa aku tahu, dan sekarang semua usahamu benar-benar mendapatkan hasil. Mereka sudah ditangkap oleh Polisi atas tuduhan sengaja mengikuti kamu dan berusaha membunuh kamu. Apa yang mereka lakukan padaku juga sudah terungkap berkat kamu yang mengirim semua bukti itu pada teman-temanmu. Kamu berusaha mencari bukti dan mencari dukungan agar aku didukung. Entah bagaimana harus aku katakan padamu sekarang, bahwa aku benar-benar lega karena semuanya sudah selesai," tutur Abi.
Dhisa pun berupaya tersenyum.
"Kalau begitu Kak Abi enggak perlu lagi merasa sedih. Aku sudah berupaya sekuat tenaga untuk membuat Kak Abi berhenti merasakan kesedihan. Aku ingin melihat sosok Kak Abi yang dulu, yang selalu ceria setiap kali keluar dari rumah, yang selalu tidak lupa untuk tersenyum cerah hingga sukses membuat aku rindu. Janji, Kakak harus bisa melupakan semua rasa sakit yang sudah berlalu," pinta Dhisa.
Abi pun mengangguk dengan cepat dan ikut berupaya untuk tersenyum.
"Iya, Insya Allah aku akan melupakan semua rasa sakit yang sudah berlalu. Kamu mau bantu aku untuk melupakannya, 'kan? Iya, 'kan?" tanya Abi, memohon sebuah kepastian.
"Iya. Insya Allah akan aku bantu Kakak hingga benar-benar lupa dengan semua rasa sakit itu."
Calista tiba di ruangan itu tak lama kemudian, lalu segera memeriksa kondisi Dhisa. Setelah keadaan Dhisa dinyatakan benar-benar stabil, semua orang pun akhirnya merasa lega luar biasa. Abi menghabiskan waktunya bersama Dhisa yang masih belum bisa melakukan apa-apa, sementara Danar sibuk menjahili Dhisa seperti biasanya.
"Coba tebak, Dhi, kira-kira aku lagi mikirin apa saat ini?" tantang Danar.
"Astaghfirullah, Kak Danar ... aku ini Dokter, bukan cenayang. Mana bisa aku tahu apa isi pikiran Kakak saat ini," lirih Dhisa, sambil menahan rasa sebalnya pada Danar.
"Biar aku saja yang tebak, Dhi," ujar Abi, menawarkan diri.
"Jangan, Kak Abi. Jangan habiskan waktu dan pikiran Kakak yang berharga untuk meladeni Kak Danar. Nanti yang ada Kakak malah jadi stress sendiri," bujuk Dhisa, agar Abi segera mundur.
"Ck! Ah ... kamu enggak seru, Dhi! Aku padahal baru mau memberi tahu sesuatu yang amat sangat penting loh, kalau kamu atau Abi bisa menebak isi pikiranku," gerutu Danar.
Abi pun langsung mencoba menahan tawa usai mendengar Danar menggerutu, sementara Dhisa kini hanya mampu memajukan bibirnya akibat perasaan sebal kepada Danar yang sudah overload.
"Berita penting apa sih, Kak? Paling juga Kak Danar mau mengumumkan soal hubungan baru Kakak dengan Suster Kyara, 'kan?" tebak Dhisa pada akhirnya.
Abi maupun Danar mendadak ternganga di tempat masing-masing ketika mendengar tebakan yang Dhisa utarakan.
"Kok kamu bisa tahu, sih? Sejak dulu kamu kok bisa menebak setiap kali aku menyuruhmu menebak isi pikiranku?" Danar terlihat frustrasi sendiri.
"Coba sekarang kamu tebak pikiranku, Dhi," pinta Abi.
"Aarrrgghhhh! Aku ini Dokter, bukan cenayang!" omel Dhisa, akibat stress menghadapi dua pria yang ada di sisinya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIRNYA
Romance[COMPLETED] Hal pertama yang diucapkan oleh Abi setelah empat belas tahun tidak bertemu dengan Disha adalah sebuah permintaan tolong untuk membantunya menghentikan banyak fitnah. Abi yang saat itu sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hatinya te...