22 | Bertanya Secara Detail

97 10 0
                                    

Dhisa membuka kulkas di dapur dan mengambil air minum yang sengaja didinginkan. Salma tampak sedang membaca-baca berkas lama di ruang tengah. Dhisa tertarik dengan apa yang Ibunya lakukan saat itu, sehingga membuatnya segera beranjak ke ruang tengah setelah selesai minum.


"Ibu lagi sibuk?" tanya Dhisa.

Salma menatap ke arah putrinya lalu tersenyum ceria seperti biasa.

"Enggak, kok. Ibu cuma lagi memeriksa berkas lama saja. Ibu 'kan sudah lama tidak berurusan dengan pekerjaan kantor, jadi Ibu saat ini sedang bernostalgia," jawab Salma.

Dhisa pun akhirnya ikut tersenyum usai mendengar jawaban Salma. Wanita itu kemudian terdiam selama beberapa saat lalu mendadak teringat sesuatu.

"Oh ya, Bu, aku boleh tanya-tanya sedikit?"

Sekali lagi Salma menatap ke arah putrinya, namun kali ini tatapannya jauh lebih dalam dan tampak berusaha menerka-nerka.

"Boleh. Kalau bisa Ibu jawab, akan Ibu jawab. Tapi kalau tidak bisa Ibu jawab, maka kamu tidak boleh merajuk, ya."

Dhisa pun mengulum senyumnya. Salma jelas sangat hafal dengan sifat Dhisa, sehingga langsung membuat perjanjian seperti itu sebelum Dhisa mengajukan pertanyaan. Salma tidak mau melihat Dhisa merajuk berjam-jam hanya karena dirinya tidak bisa memberi jawaban atas pertanyaan dari putrinya tersebut.

"Insya Allah aku enggak akan merajuk, Bu. Kalau memang Ibu enggak bisa menjawab, maka aku akan mencari jawabannya di tempat lain atau pada orang lain," janji Dhisa.

Salma pun melepas kacamatanya dan menutup map berisi berkas yang tadi sedang ia periksa.

"Oke, Ibu akan mendengarkan kamu. Ayo, kamu mau tanya apa?"

Dhisa membetulkan posisi duduknya dan kini benar-benar menatap ke arah Salma dengan serius.

"Uhm ... dulu waktu kita sekeluarga belum pindah dari sini, Ayah atau Ibu pernah menjadi atasan di Kantor Kecamatan?" tanya Dhisa.

"Maksud kamu, apakah Ayah atau Ibu pernah menjadi Pak Camat atau Bu Camat?" Salma meralat.

Dhisa pun tersenyum malu karena mengajukan pertanyaan yang tidak pada intinya.

"Iya, itu maksud aku, Bu."

"Hm ... kamu itu kebiasaan keluar jalur kalau bertanya," goda Salma. "Ayah dan Ibu memang dulu menjabat sebagai Camat, Sayang. Hanya saja Ayahmu menjabat sebagai Camat di Kecamatan Leuwigoong, sementara Ibu menjabat sebagai Camat di Kecamatan Malangbong."

"Berarti dulu Bapaknya Kak Abi adalah bawahan Ibu di kantor?"

"Iya, itu benar. Memangnya kenapa? Tumben kamu menanyakan hal seperti itu. Biasanya kamu enggak mau tahu," selidik Salma.

Dhisa tampak berpikir keras sekarang, sehingga enggan menjawab pertanyaan Ibunya.

"Berapa lama Ibu menjadi Camat waktu itu?" Dhisa kembali bertanya.

"Lumayan lama. Sekitar empat tahunan Ibu menjabat sebagai Camat di Kecamatan Malangbong."

"Selama Ibu menjabat sebagai Camat, apakah ada kasus-kasus yang terjadi pada bawahan Ibu? Uhm ... maksudku, apakah ada bawahan Ibu yang saling bertengkar karena beda pendapat? Atau ... apakah ada bawahan Ibu yang saling melaporkan akibat adanya kesalahan yang tidak bisa diberi toleransi?"

Salma kini benar-benar mengerenyitkan keningnya, karena berusaha menerka-nerka apa maksud dan tujuan dari semua pertanyaan yang Dhisa ajukan saat itu.

"Beberapa kali jelas pernah. Selama menjadi Camat, ada saja bawahan Ibu yang sering cekcok di kantor. Biasanya mereka akan saling adu mulut, marah-marah karena pendapatnya ditolak oleh teman sendiri, dan bahkan ada juga yang saling merobek surat izin atau surat-surat lain padahal suratnya sudah Ibu beri tanda tangan. Ibu bahkan pernah turun tangan secara langsung untuk melerai yang bertengkar seperti itu. Tapi yang terparah bukan itu. Bagi Ibu yang terparah adalah saat ada bawahan yang melaporkan temannya karena perkara temannya tersebut menerima uang suap dari orang yang ingin diperlancar saat membuat surat izin usaha."

Dhisa tampak kaget saat mendengar jawaban Salma yang terakhir. Salma bisa melihat ekspresinya yang cukup berbeda dari ekspresinya yang biasa.

"Kenapa, Sayang? Kamu kok sepertinya kaget sekali saat Ibu menyebut soal adanya orang yang menerima suap?" heran Salma.

"Ya ... aku jelas kaget, Bu. Kenapa hanya karena mau membuat surat izin usaha sampai bisa terjadi kasus suap? Bukankah membuat surat izin usaha itu sangat mudah dan bisa cepat selesai? Untuk apa orang itu menyuap salah satu pegawai di Kantor Kecamatan?" Dhisa mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya saat itu.

Salma pun tersenyum seraya membelai rambut panjang putrinya dengan lembut.

"Jadi ceritanya begini, waktu itu ada seseorang bernama Bapak Firdaus yang ingin membuka minimarket. Dia membutuhkan surat izin usaha, agar minimarketnya tersebut bisa segera berjalan. Tapi yang namanya penerbitan surat izin usaha hanya bisa dilakukan setelah adanya peninjauan atas usaha orang yang meminta surat izin tersebut. Ibu akhirnya meninjau minimarket yang akan dibuka oleh Pak Firdaus itu pada suatu hari, dan menemukan banyaknya minuman keras yang akan dia jual secara umum. Yang mana artinya, anak-anak pun bisa mengakses dengan mudah minuman keras tersebut jika mereka datang ke minimarket. Dengan adanya temuan itu, Ibu akhirnya tidak menyetujui penerbitan surat izin usaha untuk Pak Firdaus. Tapi selang dua minggu kemudian, minimarket itu akhirnya resmi dibuka. Ibu jelas merasa heran dengan hal itu, karena Ibu tidak memberi tanda tangan pada surat izin usaha yang Pak Firdaus ajukan. Karena keheranan Ibu didengar langsung oleh Pak Yatna, Pak Yatna pun akhirnya mencoba menelusuri mengenai bagaimana bisa minimarket itu tetap buka padahal Ibu tidak memberi izin."

"Lalu? Bapaknya Kak Abi menemukan sesuatu dari hasil penelusurannya?" tebak Dhisa.

"Iya, kamu benar. Pak Yatna menemukan sesuatu dari hasil penelusurannya dan hasil penelusuran itu segera dilaporkan pada Ibu. Ternyata, salah satu bawahan Ibu yang jabatannya lebih tinggi dari Pak Yatna menerima uang suap dari Pak Firdaus. Hal itu membuat dia memalsukan tanda tangan Ibu pada surat izin usaha yang diterima oleh Pak Firdaus. Orang itu langsung meminta maaf habis-habisan saat ketahuan oleh Pak Yatna, bahkan dia juga langsung mengembalikan uang suap yang diterimanya. Tapi Pak Yatna tetap melaporkannya pada Ibu, karena Pak Yatna takut akan terjadi lagi hal serupa dikemudian hari. Menurut Pak Yatna, jika dia sudah sampai berani memalsukan tanda tangan Ibu, maka Ibu nantinya akan bisa terkena masalah yang sangat besar. Maka dari itulah Ibu segera menindaklanjuti laporan Pak Yatna dan melaporkan orang itu ke KPK. Orang itu akhirnya dipecat, status pegawai negerinya dicabut, dan dia menjalani hukuman penjara selama sepuluh tahun."

"Tahun berapa kejadiannya itu, Bu?" Dhisa ingin tahu lebih jauh.

"Sekitar tahun dua ribu lima kejadiannya," jawab Salma.

"Berarti saat usiaku masih sembilan tahun, ya?"

Dhisa kini tampak memikirkan cerita Salma lebih jauh. Hal itu jelas membuat Salma semakin heran dengan tingkah putrinya malam itu.

"Oh ya, siapa nama bawahan Ibu yang menerima suap itu?"

"Mirza. Pak Mirza Alauddin namanya."

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang