14 | Meluapkan Gejolak

92 12 0
                                    

Abi tampak sedang berdiam diri di sudut kamar dekat jendela ketika Danar masuk ke kamarnya. Pria itu hanya menoleh sebentar, lalu segera kembali menatap keluar jendela dan memperhatikan jalanan di luar yang sudah mulai disinari oleh lampu-lampu jalan.


"Sudah shalat maghrib?" tanya Danar.

"Sudah, Kak. Baru saja selesai," jawab Abi, tampak tidak bersemangat.

Danar kini duduk di pinggir tempat tidur milik Abi. Ia mencoba memperhatikan raut wajah Adiknya seperti yang sering ia lakukan selama tujuh tahun ke belakang, sejak Abi dihancurkan oleh Ilmi dan Tomi secara bersamaan.

"Ada apa? Kenapa kamu terlihat kembali murung seperti ini? Apakah kamu sedang ada masalah dengan Dhisa?" Danar mencoba mencari tahu.

Abi menggelengkan kepalanya.

"Aku enggak ada masalah sama Dhisa, Kak. Dhisa itu baik, sangat baik. Dia sangat mengerti bagaimana diriku, meski aku tidak banyak mengerti tentang dirinya. Dia peka, perhatian, dan punya banyak hal yang bisa membuatku ingin menggila jika memikirkannya. Saat ini, masalahnya ada di diriku sendiri, Kak. Aku yang punya masalah dengan hatiku," jawab Abi, jujur.

"Coba jelaskan lebih detail. Bicarakan secara terbuka, biar aku bisa kasih kamu solusi atas masalahmu itu," bujuk Danar.

Abi pun kembali terdiam meski saat ini tatapannya bukan lagi terarah keluar jendela, melainkan pada Danar. Hal itu membuat Danar mencoba menerka-nerka, mengenai masalah apa yang Abi maksud.

"Janji, Kakak jangan marah kalau aku bicara jujur tentang semuanya," pinta Abi, agak sedikit ragu.

"Insya Allah aku enggak akan marah. Aku akan mencoba untuk tetap berpikiran terbuka, agar aku bisa memberikan solusi untuk kamu dan masalahmu itu. Ayo, cerita saja. Aku akan dengarkan dan benar-benar tidak akan marah meskipun mungkin ceritamu membuatku kesal setengah mati."

"Tapi kalau Kakak punya komentar, meskipun itu adalah komentar yang buruk, tolong keluarkan. Aku ingin dengar."

"Oke. Itu juga akan kulakukan jika kamu meminta," Danar menyetujui hal itu.

Abi kembali terdiam selama beberapa saat, sebelum dirinya mulai mengatakan yang sejujurnya pada Danar. Danar menantikan dengan sabar karena ingin Abi tidak merasa didesak olehnya.

"Sebenarnya ... aku dan Dhisa enggak benar-benar pacaran, Kak," ungkap Abi. "Aku meminta Dhisa untuk berpura-pura jadi pacarku, agar bisa membuat Tomi dan Ilmi benar-benar berhenti menyebarkan fitnah tentang aku yang tidak pernah bisa move on setelah dikhianati oleh Ilmi."

Danar tampak terkejut selama beberapa saat usai mendengar apa yang baru saja Abi akui di hadapannya. Pria itu tampak ingin sekali marah, namun sekuat tenaga ia berusaha untuk menepati janjinya untuk tidak marah pada Abi.

"Oke ... itu jelas hal yang sangat membuat aku shock saat ini. Aku sudah merasa sangat lega sejak kemarin karena begitu berharap bahwa akhirnya aku akan memiliki seorang Adik ipar yang baik, pengertian, lemah lembut, serta mencintai kamu dengan sangat dalam. Tapi ternyata hubungan kalian hanya hubungan pura-pura. Baiklah, aku akan tetap mendengarkan. Tolong lanjutkan," pinta Danar, usai mengungkapkan hal yang menjadi pusat kekesalannya tanpa terlihat kesal di hadapan Abi.

Abi terlihat sangat menyesali hal yang dicetuskannya pada Dhisa, namun Danar tidak mau berspekulasi terlalu cepat.

"Aku meminta dia menerima permintaan tolong yang aku ajukan, Kak. Aku bilang padanya untuk pura-pura menjadi pacarku, termasuk di depan Bapak dan Ibu agar terlihat semakin meyakinkan. Aku memaksanya untuk setuju, Kak. Aku bilang padanya, kalau akhirnya Ilmi dan Tomi berhenti menyebar fitnah tentang aku, maka aku dan dia akan kembali menjadi orang asing. Dan hari ini dia terus mengingatkan aku tentang hal itu, Kak. Saat aku merasa cemburu, dia mengingatkan aku bahwa kami hanya pura-pura pacaran dan aku sebaiknya tidak mencemburui apa pun tentangnya. Saat aku bertindak posesif padanya, dia mengingatkan aku lagi dan mengatakan bahwa aku tidak perlu bersikap posesif, karena itu akan membuatnya menaruh harapan terhadapku. Dan tadi ... saat aku memintanya berpegangan dengan benar di atas motor, yang mana maksudku adalah peluk saja pinggangku ... dia akhirnya menjelaskan alasan kenapa dia tidak mau melakukan hal yang benar-benar tampak seperti pasangan kekasih sungguhan. Dia bilang padaku, kalau suatu hari akhirnya kesepakatan kami selesai dan kami kembali menjadi orang asing, apa yang dia lakukan saat bersama denganku sekarang akan terus membayangi hidup dia selanjutnya. Dhisa bilang bahwa aku mungkin bisa dengan mudah melupakan dirinya, nanti, tapi tidak begitu dengan dia. Dia bilang bahwa aku tahu dengan pasti kalau dia memiliki perasaan untukku sejak lama. Jadi kalau dia menambahnya dengan kenangan manis di antara kami berdua, maka mungkin nanti dia tidak akan bisa melanjutkan hidup bersama orang lain. Tepat pada saat itu aku merasa dadaku dipenuhi dengan rasa sakit, Kak. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika aku harus melupakan dia setelah hubungan pura-pura kami berakhir. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana kalau aku akhirnya melihat dia melanjutkan hidup dengan seorang pria yang bukan aku. Aku ...."

"Enggak akan bisa," potong Danar, tiba-tiba.

Abi menatap Danar begitu lama.

"Dhisa enggak akan bisa melanjutkan hidupnya dengan orang lain, selain kamu. Aku tahu pasti bagaimana gigihnya Dhisa ketika mencari tahu tentang kamu saat masih remaja. Aku tahu pasti bagaimana dia berusaha menahan rasa malunya, demi mendapatkan jawaban dariku agar bisa tahu banyak hal tentang kamu. Jadi enggak akan bisa dia melanjutkan hidupnya jika bukan sama kamu. Kamu adalah satu-satunya yang dia inginkan, Abi. Kamu adalah satu-satunya yang paling dia harapkan. Kamu pikir ... kenapa dia tidak menolak permintaan kamu yang konyol itu, hah? Dia setuju berpura-pura pacaran sama kamu bukan karena ingin memanfaatkan kesempatan untuk bisa dekat dengan kamu. Dia setuju karena dia sayang sama kamu dan enggak mau kamu terus hidup dalam kubangan rasa sakit. Dia rela merasakan sakit akibat menahan perasaannya untuk kamu, demi melihat kamu bahagia. Itulah alasan sebenarnya kenapa dia mundur waktu kamu dan Ilmi akhirnya memutuskan pacaran saat masih remaja. Dia cuma enggak bisa mengungkapkan itu di depan kamu, Abi. Dia enggak mau kalau kamu sampai tahu tentang perasaan dia yang sebenarnya, karena itu akan membuat kamu terpaksa membalas perasaannya. Dia sayang kamu, tapi dia enggak mau memaksa agar kamu membalas perasaan sayangnya," jelas Danar, agar Abi benar-benar paham.

Abi pun memikirkan semua kenyataan tentang perasaan Dhisa, jauh lebih dalam daripada saat dirinya memikirkan hal itu sendirian. Apa yang Danar ketahui tentang Dhisa, ternyata bukanlah sekedar tahu soal seperti sifat, kebiasaan, dan lain sebagainya. Hal yang Danar ketahui lebih dalam tentang Dhisa adalah soal perasaan wanita itu untuk Abi.

"Aku ... aku mau ke rumah Dhisa," ujar Abi, mendadak membuat keputusan.

"Mau apa kamu ke rumahnya? Kalau tujuanmu ke sana hanya untuk mengakhiri ...."

"Aku mau dia menetap," potong Abi dengan cepat.

Danar kembali mencoba memikirkan maksud ucapan Abi.

"Aku mau memintanya untuk menetap, Kak. Baik itu di sisiku ataupun di hatiku," tegas Abi, jauh lebih jelas.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang