7 | Kedatangan

103 11 0
                                    

Abi memarkirkan motornya tepat di depan Klinik Prima Medika. Ia benar-benar mengantar Dhisa lebih dulu sebelum pergi ke Kantor Kecamatan tempatnya bekerja. Dhisa menyerahkan helm ke tangan Abi dengan sangat tenang. Wanita itu sama sekali tidak terlihat canggung terhadap dirinya sejak kemarin. Padahal seharusnya Dhisa bisa saja memperlihatkan sedikit kecanggungan di hadapan Abi, mengingat bahwa wanita itu masih memiliki perasaan untuk Abi.

"Tadi aku enggak terlihat mencurigakan di depan Ibumu, 'kan?" tanya Abi.

Dhisa pun tersenyum.

"Sama sekali enggak kok, Kak. Kakak tidak usah terlalu berusaha ingin terlihat natural jika berada di hadapan Ibuku. Ibuku tahu soal kesepakatan kita, karena ternyata kemarin sore dia tidak sengaja mendengar pembicaraan kita dari balik pagar ketika Kakak mengantarku pulang," jawab Dhisa, apa adanya.

Wajah Abi pun langsung terlihat sedikit memucat. Apa yang Dhisa beri tahukan kepadanya membuat dirinya sangat kaget dan bingung untuk mengatakan apa.

"I--Ibumu tahu?"

"Mm ... Ibuku tahu. Tapi tenang saja, dia tidak akan membocorkan apa pun mengenai kesepakatan kita. Dia juga tidak melarangku yang memang ingin membantu Kakak agar terlepas dari fitnah orang kurang kerjaan seperti Suaminya Ilmi. Ibuku tahu bahwa hal seperti itu tidak bisa dibiarkan, maka dari itulah dia tidak melarangku untuk membantu Kakak," jelas Dhisa.

"Kok kamu tenang sekali sih, Dhi? Kamu sama sekali enggak resah atau kamu sedang berusaha pura-pura bisa bertahan di sisiku agar aku tidak merisaukan perasaanmu yang masih ada, itu?" desak Abi, yang merasa heran karena Dhisa tetap terlihat biasa saja.

Dhisa--sekali lagi--kembali tersenyum seperti tadi. Hal itu semakin membuat Abi merasa bingung dengan posisinya sendiri.

"Kak ... aku 'kan sudah bilang agar tidak perlu merisaukan soal perasaanku terhadap Kakak. Itu adalah perasaanku, dan perasaanku bukan tanggung jawab Kakak. Sekarang sebaiknya kita fokus saja pada tujuan dari kesepakatan yang kita buat. Tidak perlu memikirkan hal yang tidak perlu dipikirkan, Kak Abi," jelas Dhisa, tidak bosan sama sekali meski harus mengulangi ucapan yang sama.

"Tapi masalahnya, Dhi ...."

"Sudah, Kak," potong Dhisa dengan cepat. "Ayo, sebaiknya Kakak segera pergi ke kantor. Jangan sampai Kakak terlambat. Kakak tidak ingin lagi jadi bulan-bulanan laki-laki itu, 'kan?"

Abi pun segera menyalakan motornya kembali. Pria itu sekali lagi menatap ke arah Dhisa sebelum benar-benar pergi.

"Mau tahu hal lucu lainnya yang aku pikirkan?" tawar Abi.

Dhisa pun mengangguk dengan cepat.

"Kamu tahu kalau nama dia adalah Tomi. Tapi sejak kemarin kamu tidak pernah menyebut namanya dan lebih memilih menyebutnya 'Suaminya Ilmi' atau 'laki-laki itu'. Bagiku itu lucu, karena aku enggak tahu apa alasanmu sampai tidak pernah menyebut namanya," ujar Abi.

"Uhm ... singkatnya, aku tidak kenal dia dan tidak ingin mengenal dia. Jadi aku tidak merasa wajib untuk menyebut namanya setiap kali kita berdua membicarakan dia. Lagi pula, entah kenapa aku merasa enggan untuk menyebut namanya padahal tahu siapa namanya. Mungkin karena dia adalah orang yang sangat keji dan tega memfitnah Kakak padahal Kakak sama sekali tidak pernah melakukan hal yang dia fitnahkan. Mungkin dengan tidak menyebut namanya adalah caraku merefleksikan amarah terhadap dia," jelas Dhisa, dengan pemikirannya sendiri seperti yang Abi dengarkan sejak kemarin.

Abi pun mendadak tersenyum tipis, meski tak terlalu kentara.

"Aku pergi dulu. Nanti siang aku akan jemput kamu agar kita bisa makan siang bersama. Assalamu'alaikum," pamit Abi.

"Wa'alaikumsalam, Kak Abi. Hati-hati saat membawa kendaraan. Jangan ngebut," pesan Dhisa.

Abi hanya menjawab dengan anggukkan lalu segera melesat meninggalkan Dhisa menuju ke Kantor Kecamatan. Dhisa masih menatap punggung pria itu meski kini telah menjauh. Perasaannya memang masih ada dan masih sama. Hanya saja, ia tak ingin berharap atau memikirkannya terlalu jauh.

Tomi benar-benar kesal pagi itu. Ia menyetir mobilnya sambil memukul kemudi beberapa kali.

"Kamu kenapa harus menghina profesinya Dhisa, sih? Kamu bahkan belum tahu apa profesinya, tapi kamu sudah menghina-hina dia di depan Abi! Akhirnya apa? Lihat sendiri 'kan kalau ternyata profesi dia jauh lebih bagus daripada profesi kita berdua! Tolol, kamu!" umpat Tomi, benar-benar murka terhadap Ilmi.

"Ya, mana aku tahu kalau sekarang dia ternyata adalah seorang Dokter. Dulu dia itu cupu dan sama sekali tidak terlihat pintar. Makanya aku pikir dia bisa membeli rumah mewah karena memang dapat warisan saja dari Bapaknya yang sudah kaya raya sejak dulu. Kamu kenapa harus emosi sekali sih, hanya karena aku menghina Dhisa? Jangan-jangan, kamu naksir betulan ya, sama perempuan itu?" Ilmi kini merasa curiga dengan Tomi.

"Kalau iya, memangnya kenapa? Kamu mau apa kalau aku memang naksir betulan sama Dhisa? Sudah aku bilang 'kan sejak kemarin, kalau dia jelas lebih cantik dari kamu dan lebih menarik. Masih kurang paham kamu, hah?" balas Tomi, sambil mendorong Ilmi agar menjauh dari kursinya.

Tubuh Ilmi terhempas ke arah pintu mobil tersebut setelah Tomi mendorongnya. Ia meringis karena kesakitan, namun tampaknya Tomi tidak peduli dan terus saja mengemudi dalam keadaan marah. Mereka berdua akhirnya tiba di Kantor Kecamatan, yang menjadi tempat kerja mereka bersama Abi dan Yatna. Yatna melihat kedatangan mereka berdua dan merasa bersyukur karena Abi sudah sampai di kantor lebih dulu. Abi jelas akan kembali menjadi bulan-bulanan oleh Tomi jika sampai dirinya terlambat datang ke kantor. Tomi memang tidak pernah sama sekali membiarkan Abi menjalani hidup tenang. Entah apa penyebabnya sehingga Tomi bisa begitu membenci Abi dan ingin sekali hidup Abi rusak. Yatna pun masih tidak tahu jawabannya.

Tomi tiba di ruangan itu dan Ilmi juga segera mendatangi meja kerjanya sendiri. Abi tampak sedang berbicara dengan Pak Camat dan Tomi kini berusaha mengawasinya. Yatna juga tampak mengawasi Tomi dan tahu bahwa laki-laki itu sedang mengawasi putranya. Pintu depan kantor tersebut selalu terbuka lebar, sehingga siapa pun bisa masuk ke sana dengan mudah. Salma baru saja tiba di kantor itu ketika Abi baru saja akan duduk di kursinya. Yatna juga ikut menatap ke arah tatapan Abi tertuju, sehingga bisa melihat sosok Salma dengan sangat jelas. Salma--yang saat itu tampak didampingi oleh salah satu karyawan yang bekerja di klinik milik Dhisa--berjalan lurus dan langsung mengarah ke meja milik Tomi. Tomi sebenarnya terkejut dengan kemunculan Salma, namun laki-laki itu tampaknya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk berkenalan dan berniat ingin membuat Salma terkesan terhadap dirinya.

"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" tanya Tomi, berupaya bicara dengan ramah kepada Salma.

Abi dan Yatna hanya bisa menduga-duga tentang tujuan kedatangan Salma saat itu. Intinya mereka sama-sama berharap kalau Salma tidak akan terhasut oleh ucapan Tomi.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang