Dhisa terpaku selama beberapa saat ketika mendengar apa yang diminta oleh Abi malam itu. Salma tadinya baru saja akan keluar untuk melihat siapa yang bertamu, langsung mengurungkan niatnya dan memilih duduk saja di sofa ruang tamu.
"Uhm ... bukannya tadi sore Kakak bilang ....""Lupakan soal omongan kita yang tadi sore, Dhi," pinta Abi. "Aku menyesal karena sudah membicarakan hal seperti itu sama kamu. Aku memintamu untuk tidak sering tersenyum di depanku, padahal aku sadar bahwa senyuman kamu yang aku lihat selalu membuat perasaanku jauh lebih tenang. Aku ... terlalu bodoh karena terus berusaha mengelak dari apa yang aku rasakan."
Dhisa masih berusaha mencerna apa yang Abi katakan saat itu. Ia masih mendengarkan meski pikirannya sedang tak bisa berkonsentrasi.
"Tunggu dulu, Kak. Maksud Kakak apa? Kakak sedang membicarakan apa saat ini? Maaf aku kurang paham dengan alur pembicaraan kita sekarang, karena biasanya Kak Abi dan aku tidak pernah membicarakan soal perasaan kita masing-masing," Dhisa berupaya untuk jujur, agar Abi paham bahwa dirinya merasa bingung.
"Aku sedang membicarakan perasaanku, Dhi. Lebih tepatnya ... aku sedang membicarakan perasaanku terhadap kamu," jelas Abi.
"Hah? Perasaan Kakak ... terhadapku? Sejak kapan Kak Abi punya perasaan terhadapku? Kakak tidak usah mengada-ada. Aku tahu betul kalau Kak Abi selama ini tidak pernah punya perasaan apa pun terhadapku. Aku yang punya perasaan terhadap Kakak, dan aku rasa perasaanku itu tidak perlu kita bahas sama sekali," ujar Dhisa.
"Iya, kamu benar," sahut Abi. "Dulu aku memang tidak pernah punya perasaan apa pun terhadap kamu, Dhi. Tapi setelah menjalani dua hari terakhir bersama dengan kamu, aku sadar bahwa hatiku juga mulai merasakan sesuatu terhadap kamu. Hatiku sakit saat mengingat alasan mengapa kamu tidak pernah mau memberikan kenangan manis di tengah kesepakatan kita berdua, Dhi. Aku terus memikirkannya di sepanjang jalan tadi sore sampai aku pulang ke rumah. Dan karena sudah terlalu sakit, aku sampai harus meluapkannya pada Kak Danar dengan jujur. Aku bilang pada Kak Danar bahwa kita hanya berpura-pura selama dua hari terakhir, dan saat aku menceritakan semua itu padanya ... aku sadar kalau rasa sakit yang aku rasakan adalah akibat dari hatiku yang terus berusaha meragukan adanya perasaan untuk kamu."
Dhisa hanya diam karena merasa bingung. Ia tak tahu harus mengatakan apa atau harus merespon seperti apa terhadap Abi saat itu. Ia tidak pernah mempersiapkan diri untuk mendengar ungkapan perasaan dari pria itu, karena ia tidak pernah berpikir kalau Abi akan memiliki perasaan untuknya.
"Saat kamu terus mengungkit bahwa kita akan kembali menjadi orang asing setelah kesepakatan kita selesai dan juga saat kamu mengatakan tentang melanjutkan hidup dengan seseorang yang bukan aku ... rasa sakitnya semakin menjadi, Dhi. Aku serius merasa cemburu sejak siang tadi mengenai persoalan nomor teleponmu yang sudah didapat lebih dulu oleh Kak Danar. Aku juga serius saat bersikap posesif terhadap kamu. Semua itu benar-benar terjadi karena aku enggak mau kamu mengalihkan perhatianmu dariku. Aku ingin semua perhatianmu hanya tertuju kepadaku, Dhi, dan aku enggak bisa menjelaskan kenapa aku bisa mengharapkan perhatianmu padahal aku selalu saja mengelak bahwa aku sayang sama kamu."
Dhisa pun menarik nafas dalam-dalam dan berusaha untuk tenang ketika menghadapi Abi yang sedang tidak stabil secara emosional. Ia mengusap pundak Abi dengan lembut untuk membuat pria itu menjadi lebih tenang.
"Mungkin itu hanya refleksi hati Kakak yang sedang merasa lelah karena terus merasakan sakit hati terhadap Ilmi," ujar Dhisa. "Aku percaya semua yang Kakak katakan, tapi aku enggak bisa percaya kalau Kakak punya perasaan terhadapku. Aku tahu dengan pasti bahwa perasaan Kakak selama ini hanya tertuju untuk Ilmi. Jadi ... tidak mungkin kebersamaan yang baru kita jalani selama dua hari bisa mengubah perasaan Kakak terhadapku. Aku yakin seratus persen, bahwa dengan sadar aku tidak pernah berusaha sedikit pun untuk menarik perhatian Kakak. Berarti ...."
"Kamu enggak perlu berusaha menarik perhatianku, Dhi," potong Abi. "Aku sendiri yang tertarik kepadamu dan tidak mau kamu menjauh lagi dari hidupku. Aku datang ke sini bukan hanya untuk mengungkapkan perasaanku padamu, Dhi, tapi juga untuk meminta agar hubungan pura-pura yang kita jalani berubah menjadi hubungan sungguhan yang mengarah pada satu tujuan. Aku enggak mau kehilangan kamu. Aku enggak mau kita akhirnya harus menjadi orang asing lagi jika hubungan pura-pura itu harus berakhir. Maka dari itu aku datang malam ini untuk meminta kamu agar tidak pergi dari sisiku ... selamanya."
Salma pun bangkit dari sofa dan memutuskan keluar untuk menengahi antara Abi dan Dhisa. Abi dan Dhisa menatap ke arah Salma yang tersenyum ke arah mereka seraya berjalan mendekat.
"Ibu," lirih Dhisa.
Salma membelai rambut Dhisa dengan lembut ketika berdiri di hadapannya.
"Kalian sudah sama-sama dewasa. Kalian tahu tentang bagaimana bentuk sebuah konsekuensi dari setiap hal yang kalian jalani. Jadi untuk menghindari konsekuensi buruk atas hubungan pura-pura yang kalian jalani, mungkin sebaiknya kalian memang menjalani hubungan sungguhan yang benar-benar serius," saran Salma.
Dhisa terdiam saat mendengar saran dari Ibunya, sementara Abi masih menatap ke arah Dhisa dan berharap wanita itu mau memberikan kesempatan untuk dirinya agar bisa menunjukkan perasaan yang ia miliki.
"Kamu punya perasaan untuk Abi dan Abi pun sekarang punya perasaan untuk kamu. Jadi Ibu rasa, tidak ada salahnya kalian memutuskan hal yang lebih baik dari keputusan yang sebelumnya. Pikirkan baik-baik, Sayang. Abi sudah memintamu dengan sangat berani malam ini, sampai dia memutuskan untuk mengalahkan egonya sendiri demi mendapatkan jawaban bahwa kamu setuju untuk menjalani hubungan yang sesungguhnya. Itu bukan hal yang mudah untuk Abi, Sayang, terutama setelah dia pernah mengalami sakit hati akibat dikhianati. Dia memaksa hati dan pikirannya untuk mengakui bahwa dia memiliki perasaan untuk kamu. Jadi, jangan salah langkah. Pikirkanlah secara matang," saran Salma, yang kemudian beranjak menuju gazebo.
Setelah Salma pergi dari hadapan mereka. Dhisa dan Abi pun kembali saling menatap seperti tadi.
"Aku tahu kalau kamu mungkin tidak akan semudah itu bisa percaya padaku. Aku ...."
"Aku percaya," potong Dhisa.
Membuat Abi kembali terdiam, begitu pula dirinya.
"Mari berhenti membicarakan soal percaya atau tidak, Kak Abi. Aku jelas percaya sepenuhnya pada Kakak mengenai banyak hal yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu. Mungkin sebaiknya kita bicarakan saja intinya. Katakan, intinya Kakak mau kita jadi seperti apa sekarang?"
Abi memantapkan hatinya seraya meraih tangan Dhisa untuk digenggam dengan erat malam itu.
"Aku ingin kita benar-benar menjalani hubungan yang tidak lagi berdasarkan kepalsuan. Aku ingin kita benar-benar saling mencintai dan menyayangi seperti yang seharusnya terjadi. Aku ingin kamu melengkapi hidupku dan tidak pernah menjauh lagi dariku. Bersediakah kamu untuk memberiku kesempatan agar semua harapanku itu terwujud?" tanya Abi, penuh dengan harapan.
Dhisa tidak menemukan kebohongan saat menyelami sorot mata Abi malam itu. Senyum di wajahnya pun kembali terbit seperti biasanya, hingga Abi mendadak merasa sangat lega kala menatapnya.
"Ya, tentu saja aku akan memberikan semua kesempatan untuk Kakak agar harapan itu bisa terwujud. Aku setuju," jawab Dhisa, benar-benar tulus.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIRNYA
Romance[COMPLETED] Hal pertama yang diucapkan oleh Abi setelah empat belas tahun tidak bertemu dengan Disha adalah sebuah permintaan tolong untuk membantunya menghentikan banyak fitnah. Abi yang saat itu sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hatinya te...