2 | Membicarakan Dhisa

113 8 0
                                    

Sebuah motor memasuki halaman rumah. Marni mendengar suara motor itu dengan sangat jelas dan langsung keluar dari dalam rumah untuk menyambut putra sulungnya yang baru pulang dari Pasar Malangbong.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapa Danar, seraya mencium tangan Marni.

"Wa'alaikumsalam," jawab Marni.

"Bu, tadi aku enggak sengaja lihat Abi lagi jalan menuju ke Malangbong. Dia jalan sama Dhisa. Ibu masih ingat Dhisa, 'kan? Itu ... sahabatku saat remaja yang anaknya ...."

"Anaknya Pak Diki dan Bu Salma," potong Marni dengan cepat. "Iya, kamu benar. Mereka memang lagi jalan-jalan ke Malangbong."

"Warga baru pindahan ke rumah yang dulunya punya Pak Haji Salim itu, keluarganya Dhisa, Bu?" tanya Danar.

"Iya. Barusan Bapak kamu teh ketemu sama Pak RT. Kata Pak RT, yang membeli rumahnya Pak Haji Salim itu Dhisa sendiri. Soalnya Dhisa butuh tempat tinggal permanen yang dekat dengan tempat kerjanya," jawab Marni, seraya memarut kelapa.

"Oh, begitu ternyata. Terus ... kok mendadak Dhisa langsung jalan-jalan sama Abi, Bu? Abi bilang sesuatu sama Ibu atau Bapak sebelum pergi dengan Dhisa?"

"Enggak, tuh. Abi diam-diam saja seperti biasanya. Bapak dan Ibu tahu soal mereka akan jalan-jalan ke Malangbong pun karena tadi kami mendengar Tomi kembali mencoba memfitnah Abi, gara-gara Abi mendekat hampir ke rumah Tomi dan Ilmi. Padahal ternyata, Abi berhenti tepat di depan gerbang rumahnya Dhisa dan menunggu Dhisa keluar untuk jalan-jalan. Bapak dan Ibu juga sempat kaget saat melihat mereka berdua, tadi."

Danar masih merasa heran dengan apa yang dilihatnya barusan. Pasalnya selama ini Abi tidak pernah sama sekali mengindikasikan bisa dekat dengan Dhisa, meskipun tahu kalau Dhisa memiliki perasaan untuknya sejak lama. Jadi jelas Danar--yang notabene adalah sahabat baik Dhisa--merasa bingung dengan keadaan yang baru saja ia saksikan. Tapi ia segera memutuskan untuk masuk ke kamarnya karena harus mandi sore dan berhenti sejenak memikirkan Abi maupun Dhisa. Yatna tampak masuk ke rumah melalui pintu belakang. Marni baru saja selesai memarut kelapa saat Yatna melihat helm milik Danar tersimpan pada tempatnya.

"Danar sudah pulang, Bu?" tanya Yatna.

"Iya, sudah. Baru saja masuk kamar. Mungkin dia mau mandi sore," jawab Marni.

Yatna duduk di kursi ruang tengah rumah itu, lalu kembali membuka beberapa berkas dari kantor yang harus segera diselesaikan.

"Danar tadi lihat Abi dan Dhisa di jalan," ujar Marni.

"Tanggapan Danar, bagaimana? Mereka tampak benar-benar sedekat yang kita lihat atau sudah berjarak saat Danar melihatnya?" tanya Yatna, tanpa mengalihkan tatapannya dari berkas yang sedang diperiksa.

Marni langsung keluar kembali dari dapur setelah mendengar pertanyaan itu.

"Kenapa Bapak tanya seperti itu?"

"Karena mungkin saja Abi dan Dhisa hanya sedang berpura-pura dekat. Kita 'kan enggak pernah tahu isi hati orang lain, bahkan termasuk anak sendiri," jawab Yatna.

Danar juga bisa mendengar jawaban itu, ketika dirinya keluar dari kamar setelah mandi. Marni tampak bingung ingin bicara apa kepada Yatna, dan Danar menyadari hal itu dengan sangat mudah.

"Mereka tetap dekat kok, Pak, saat aku enggak sengaja lihat mereka tadi. Dhisa merangkul lengan Abi dan Abi tampaknya begitu senang saat mendengar Dhisa bicara di sampingnya. Abi tersenyum dan bahkan tertawa lepas setelah sekian lama tidak pernah terlihat begitu," ujar Danar, tentang apa yang dilihatnya tadi.

Yatna kini menatap ke arah Danar setelah mendengar keterangan tentang Abi dan Dhisa. Marni sendiri tampak jauh lebih lega setelah mendengar cerita Danar, karena merasa tidak perlu khawatir terlalu jauh atau terlalu berlebihan.

"Intinya, mari kita lihat saja nanti. Entah sampai kapan Dhisa bisa dekat dengan Abi. Tapi Bapak merasa yakin, setelah Dhisa sering mendengar tentang fitnah yang Tomi katakan, maka dia juga akan menjauh dari Abi seperti yang dilakukan oleh semua orang. Meskipun dia sahabat kamu saat remaja, tetap saja Bapak enggak bisa percaya dia seratus persen," tanggap Yatna, yang sudah bosan berpikiran positif terhadap orang lain.

Tomi tampak gusar saat memikirkan apa yang dilihatnya tadi. Sejak dulu ia pikir Abi akan benar-benar bisa dikalahkan setelah dirinya berhasil merebut Ilmi dan menikahinya. Ia pikir Abi tidak akan pernah berbahagia lagi setelah kehilangan Ilmi. Tapi apa yang dilihatnya tadi jelas membuatnya merasa sangat marah dan tidak habis pikir. Hal itu benar-benar membuat Tomi ingin sekali meledakkan amarah, jika saja tidak ingat bahwa nama baiknya harus selalu dijaga jika tidak ingin Abi memenangkan sesuatu.

"Kamu kenal sama wanita tadi? Dia sangat cantik dan tampaknya sudah sangat dekat dengan Abi. Siapa dia?" tanya Tomi, agak sedikit kasar daripada biasanya.

Ilmi menatap ke arah Tomi sambil memutar kedua bola matanya.

"Apa kamu bilang? Cantik? Perempuan yang enggak bisa merias diri seperti Dhisa kamu bilang cantik? Terus menurutmu, aku enggak cantik?" sinisnya.

"Kenapa kamu malah jadi membanding-bandingkan diri dengan wanita itu? Jelaslah kamu kalah cantik kalau dibandingkan dengan dia. Siapa namanya tadi? Dhisa?" sahut Tomi.

"Apa kamu bilang??? Aku kalah cantik kalau dibandingkan dengan Dhisa??? Buta kamu, hah??? Bisa-bisanya kamu bilang begitu tentang wanita lain di depan Istri kamu sendiri!!!" amuk Ilmi.

"Itu memang kenyataannya!" balas Tomi. "Hapus semua make-up di wajah kamu itu, dan silakan bercermin! Wanita bernama Dhisa itu jelas memiliki kecantikan yang lebih natural daripada kamu! Sadar! Kamu enggak sebanding sama dia dan maka dari itulah aku merasa marah sekarang! Bisa-bisanya wanita secantik itu hanya menatap ke arah Abi dan sama sekali tidak menoleh ke arahku! Sial!"

Tomi benar-benar mengumpat hebat karena merasa tidak terima dirinya tak dilirik oleh Dhisa sama sekali. Ilmi sendiri kini merasa sangat sakit hati setelah mendengar dirinya dibanding-bandingkan oleh suaminya.

"Sekarang jawab pertanyaanku! Siapa Dhisa sebenarnya dan kenapa dia bisa sedekat itu dengan Abi?" tuntut Tomi, sambil menatap tajam ke arah Ilmi.

"Dia orang yang suka sama Abi sejak masih remaja. Aku berhasil membuat dia gagal mendapatkan Abi dengan menjadikan Abi sebagai pacarku saat itu. Dia pindah dari sini empat belas tahun lalu, dan entah kenapa dia mendadak kembali lagi ke sini sekarang," jawab Ilmi, sambil menahan rasa kesalnya.

"Sialan! Kenapa kamu enggak bilang sejak dulu tentang Dhisa? Kalau saja kamu bilang sesuatu tentangnya, maka aku mungkin tidak perlu melihat hal seperti tadi! Aku bisa mencari keberadaan Dhisa dan mencoba mempengaruhi dia untuk ikut membenci Abi!" Tomi benar-benar marah sekarang.

"Untuk apa aku memberi tahu kamu soal Dhisa? Bagaimana kalau kamu malah jatuh cinta sama Dhisa saat kamu sedang mencoba mempengaruhinya? Bagaimana, hah?" balas Ilmi, tidak mau kalah.

"Bukankah itu bagus? Kalau aku jatuh cinta sama Dhisa dan bisa menikahinya, maka Abi tidak akan pernah bisa berbahagia seumur hidupnya!"

"Aku enggak mau kamu punya Istri kedua! Aku enggak mau terima kalau kamu memutuskan begitu!"

"Kenapa? Karena kamu sadar bahwa cintaku hanya akan tertuju pada Dhisa seorang, bukan padamu? Kamu sadar sekarang kalau kamu memang tidak sebanding dengan dia?" ejek Tomi, tidak segan-segan.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang