Setelah selesai urusan di Kantor Kecamatan, Felicia kembali diantar sampai di depan klinik oleh Salma agar bisa segera memberikan surat izin kepada Dhisa.
"Terima kasih banyak, ya, Nak Feli. Bantuan yang kamu berikan hari ini sangat berarti untuk saya," ucap Salma, sebelum Felicia turun dari mobilnya.
"Sama-sama, Bu. Lagi pula memang kebetulan saya sudah gemas sekali sejak pertama kali mendengar soal laki-laki bernama Tomi itu dari Dokter Dhisa. Saat tadi akhirnya saya tahu kalau Ibu memang mau kasih pelajaran untuk dia, maka saya juga tidak mau sia-siakan kesempatan untuk membantu Ibu semaksimal mungkin," ujar Felicia.
Salma pun akhirnya tertawa bersama Felicia, karena ternyata mereka memiliki tujuan yang sama terhadap Tomi. Felicia pun turun dari mobil itu tak lama kemudian. Setelahnya, Salma segera mengarahkan mobilnya ke Pasar Malangbong untuk mencari beberapa hal yang bisa dibawakan untuk Marni karena dirinya akan datang berkunjung. Memasuki Pasar Malangbong, Salma berjalan dengan santai sambil mengamati beberapa hal yang mungkin bisa ia beli untuk dijadikan hadiah. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Marni sejak dirinya pindah dari Cijanur. Jadi tidak mungkin bagi Salma untuk datang dengan tangan kosong.
Setelah berkeliling cukup lama, akhirnya Salma melihat Danar yang tampak sedang merapikan jualannya karena baru saja ada pembeli yang datang. Salma mendekat pada Danar sambil melihat-lihat apa saja yang dia jual di tokonya tersebut.
"Assalamu'alaikum," sapa Salma.
"Wa'alaikumsalam. Ibuku!" seru Danar, dengan kebiasaan lamanya.
Salma pun tertawa saat tahu kalau Danar masih ingat dengan cara untuk membuat Dhisa kesal selama berjam-jam, seperti dulu. Danar benar-benar tidak banyak berubah di mata Salma, sehingga Salma sama sekali tidak merasa canggung ketika mereka akhirnya bertemu lagi setelah empat belas tahun berlalu.
"Harusnya kamu teh bilang begitu saat ada Dhisa atuh. Dia masih bisa kesal kalau kamu bertingkah begitu," saran Salma.
"Siap, Bu. Aku juga masih kepengen kok bikin Dhisa kesal setengah mati seperti dulu," ungkap Danar dengan jujur.
Salma pun kemudian duduk pada sebuah kursi yang diambilkan oleh Danar.
"Rencananya hari ini Ibu teh mau ke rumah kamu. Mau ketemu sama Ibu kamu. Sudah lama Ibu enggak ketemu. Tapi enggak enak kalau Ibu datang tanpa bawa apa-apa. Kamu punya rekomendasi yang bisa Ibu belikan untuk Ibumu?" tanya Salma.
"Untuk Ibuku, ya? Kira-kira Ibu mau enggak membelikan Ibuku mukena? Ibuku sebenarnya sudah sering minta dibelikan mukena. Tapi Bapak, aku, atau Abi belum sempat mengajaknya ke mana-mana karena masih sibuk. Dan kalau kami belikan tanpa membuat Ibuku memilih, takutnya Ibuku enggak suka dengan model mukenanya. Kalau memang Ibu mau memilihkan model mukena untuk Ibuku, mukena itu jelas akan jadi hadiah yang tepat," jawab Danar.
"Boleh juga. Mukena jelas akan jadi barang yang bisa dipakai oleh Ibumu jika Ibu menghadiahkannya. Terus, kamu jual mukena atau enggak di tokomu ini?"
"Enggak, Bu. 'Kan aku jualnya perlengkapan khusus pria. Mana bisa ada mukena atuh di sini kalau cuma pria saja yang belanja."
"Terus sebaiknya Ibu beli mukenanya di mana? Kamu mau antar Ibu untuk beli mukena itu, 'kan?"
"Mau atuh, Bu. Masa iya aku tega mau biarin Ibu keliling sendirian di pasar cuma untuk cari mukena. Tapi dengan syarat," Danar kembali menunjukkan wajah jahilnya yang biasa.
"Hm ... biarkan Ibu menduga-duga. Kamu mau minta nomor teleponnya Dhisa 'kan, biar kamu bisa mengganggu dia saat kerja?" tebak Salma.
Danar pun langsung tertawa sambil mengangguk penuh semangat. Salma hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, karena mendadak teringat bahwa satu-satunya pria yang bisa berteman dekat dengan Dhisa hanyalah Danar seorang yang jahilnya minta ampun.
Setelah berbelanja, Salma benar-benar mampir ke rumah Marni dan menerima sambutan baik yang penuh rasa kaget. Marni menyuguhkan minuman dan cemilan untuk Salma, lalu Salma pun menyerahkan mukena yang dibelinya tadi atas rekomendasi dari Danar.
"Masya Allah, Bu Salma kenapa harus repot-repot atuh? Ini teh pasti mahal harganya. Saya jadi enggak enak mau terima kalau barang mahal begini, Bu Salma," ujar Marni, masih saja sesederhana dulu dan sering tidak enak hati.
"Demi Allah enggak mahal sama sekali, Bu Marni. Danar yang sarankan sama saya tempat beli mukena itu. Dia tahu barang yang berkualitas dengan harga terjangkau, jadinya saya nurut saja waktu ditunjukkan yang mana toko penjual mukena itu. Pokoknya saya enggak mau tahu, Bu Marni enggak boleh menolak menerima mukena itu," harap Salma, setelah memberi penjelasan.
"Karena kalau saya menolak, Bu Salma pasti akan tetap memaksa sampai saya mau menerima. Iya, 'kan?" tebak Marni, sambil menahan tawanya.
Mereka pun akhirnya benar-benar tertawa setelah tak bisa lagi menahan diri. Marni jelas tahu betul kalau Salma masih sama seperti dulu. Sama sekali tidak berubah meski sudah empat belas tahun tidak bertemu.
"Saya dengar Dhisa sekarang membuka klinik sendiri, Bu Salma. Dia tidak bekerja di rumah sakit?" tanya Marni.
"Dulu dia bekerja di rumah sakit, Bu Marni. Tapi katanya jam kerja di rumah sakit membuat dia susah untuk mendapat waktu dengan keluarga atau temannya. Jadi akhirnya dia memutuskan untuk membuka klinik sendiri, sekaligus memang ingin kembali ke Malangbong dan tinggal permanen di sini," jawab Salma.
Marni menatap Salma dengan serius.
"Karena Abi?" tebaknya, agak ragu-ragu.
Salma pun tersenyum.
"Sangat terbaca, ya? Mudah sekali memang membaca pikiran Dhisa. Dia bukan orang yang sering berusaha menyangkal sesuatu di dalam hidupnya, jadi jelas akan mudah sekali tertebak oleh siapa pun. Itu benar, Bu Marni. Abi adalah alasan utama bagi Dhisa sehingga ingin kembali ke sini dan menetap. Dia tahu risikonya. Dia tahu kalau ada kemungkinan yang sangat besar bahwa dirinya tidak akan bersama dengan Abi, karena Abi belum tentu memiliki perasaan yang sama dengannya. Tapi dia tetap ingin kembali ke sini. Katanya ... setidaknya dia bisa melihat Abi dari jauh kalau memang tidak bisa melihatnya dari dekat."
"Tapi sekarang mereka justru benar-benar sangat dekat. Malah tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk memutuskan menjalin sebuah hubungan. Apakah Bu Salma tidak keberatan soal itu?" tanya Marni.
Salma--yang tahu bahwa hubungan Abi dan Dhisa saat ini hanyalah hubungan pura-pura--hanya bisa tersenyum lebih ceria dari senyumnya yang tadi.
"Mari kita doakan saja yang terbaik untuk anak-anak, Bu Marni. Jodoh itu ada di tangan Allah dan kita harus percaya bahwa keputusan Allah jauh lebih baik dari keputusan manusia. Semoga saja mereka benar-benar bisa menjalani semuanya dengan baik, agar tidak perlu ada luka di hati siapa pun. Kita sebagai orangtua sebaiknya mendukung saja, jika memang anak-anak telah memilih jalan hidup mereka sendiri," jawab Salma, seraya mengusap pundak Marni agar menjadi lebih tegar daripada sebelumnya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIRNYA
Romance[COMPLETED] Hal pertama yang diucapkan oleh Abi setelah empat belas tahun tidak bertemu dengan Disha adalah sebuah permintaan tolong untuk membantunya menghentikan banyak fitnah. Abi yang saat itu sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hatinya te...