10 | Kesal Sendiri

92 12 0
                                    

Abi menemui Yatna di samping gedung Kantor Kecamatan setelah menerima pesan pada ponselnya. Yatna sudah menunggu Abi ketika dirinya tiba di tempat yang disepakati.

"Ada apa, Pak?" tanya Abi.

"Kamu tahu kalau Bu Salma akan datang ke kantor ini?" tanya Yatna.

Abi menggelengkan kepalanya.

"Dhisa tidak membahas apa pun sama kamu soal penghinaan yang Ilmi ucapkan tadi?"

Abi mengerenyitkan keningnya selama beberapa saat.

"Bapak dengar penghinaan yang Ilmi katakan soal profesi Dhisa?" tanya Abi, merasa heran dengan pertanyaan Yatna.

"Iya, Bapak dengar. Bahkan Pak RT pun juga mendengar penghinaan itu, karena tadi kami sedang mengobrol saat kamu datang ke rumah Bu Salma untuk menjemput Dhisa. Sekarang jawab pertanyaan Bapak, Dhisa tidak membahas apa pun soal penghinaan yang Ilmi ucapkan?" Yatna sedikit memaksa.

"Enggak. Dhisa dan aku tadi hanya membicarakan soal rencana kami yang akan makan siang bersama. Aku membicarakan soal keinginanku menjemput dia saat jam makan siang tiba," jawab Abi apa adanya--karena Dhisa memang tidak membicarakan apa-apa soal penghinaan dari Ilmi.

"Berarti Dhisa sama sekali tidak mendengar penghinaan itu. Berarti hanya Bu Salma yang mendengar Ilmi menghina Dhisa dari balik pagar rumahnya, sehingga kemudian dia menyusun rencananya sendiri untuk memberi pelajaran pada Ilmi melalui Tomi. Wah ... Bu Salma ternyata masih sekejam dulu rupanya," gumam Yatna.

"Hah? Bu Salma kejam? Perasaan sejak dulu Bu Salma itu orang yang baik dan ramah pada siapa saja, Pak. Kok bisa Bapak tiba-tiba bilang begitu tentang Bu Salma?" Abi jadi ingin tahu lebih banyak.

"Kamu benar, Bu Salma memang orang baik dan ramah. Tapi jika sudah menghadapi persoalan dengan orang yang dianggapnya kurang ajar, maka dia akan berubah menjadi kejam. Dulu Bu Salma teh atasan Bapak sebelum dia pindah tugas bersama Almarhum Suaminya. Dia dan Suaminya itu orang yang punya pengaruh besar di tengah orang-orang yang punya jabatan tinggi. Jadi meskipun sekarang dia sudah pensiun, tetap saja dia masih dikenal oleh beberapa orang penting, yang salah satunya adalah Pak Camat dan Pak Walikota," jelas Yatna.

Abi jelas baru tahu mengenai hal itu setelah Yatna menceritakannya. Keluarga Dhisa sejak dulu tidak pernah terlihat mencolok di mata siapa pun yang tinggal di Cijanur. Sehingga tidak ada yang tahu kalau sejak dulu mereka adalah orang yang cukup berpengaruh di tengah beberapa orang penting.

"Bapak enggak usah curigaan terus atuh sama Dhisa. Bapak dengar sendiri tadi kata-kata Bu Salma. Kalau pun Dhisa dengar soal penghinaan itu, maka Dhisa akan memilih tidak membahasnya sama sekali dan memilih untuk memaafkan Ilmi. Jadi enggak mungkin atuh kalau Dhisa yang meminta pada Bu Salma untuk memberi pelajaran pada Ilmi melalui Tomi," ujar Abi.

"Hm ... iya. Mungkin sebaiknya Bapak berhenti mencurigai Dhisa terus-menerus. Dia jelas tidak mungkin bisa berpikiran untuk meminta Ibunya melakukan hal seperti tadi. Danar bilang pada Bapak tadi malam, kalau Dhisa itu orang yang lebih suka diam daripada harus terlibat masalah. Sebaiknya Bapak percaya mengenai hal itu, karena Danar sendiri yang bisa menjaminnya," pikir Yatna.

Abi kembali mengernyitkan keningnya setelah mendengar apa yang Yatna katakan barusan.

"Kok Kak Danar bisa banyak tahu tentang Dhisa? Dia tahu dari mana, Pak?" tanya Abi.

* * *

Abi berdiri di depan toko milik Danar siang itu. Jam makan siang baru akan tiba lima belas menit lagi, jadi Abi akan datang ke Klinik Prima Medika saat waktunya sudah tiba untuk menjemput Dhisa. Sebelumnya, Abi pun memutuskan untuk menemui Danar karena merasa penasaran tentang banyaknya hal yang pria itu tahu tentang Dhisa.

"Hah? Kenapa Kakak bisa tahu banyak hal tentang Dhisa?" Danar mengulang pertanyaan yang Abi ajukan.

"Iya. Aku mau tahu kenapa Kakak bisa banyak tahu tentang Dhisa," jawab Abi.

Danar pun tertawa selama beberapa saat.

"Kamu teh amnesia atau gimana? Kamu lupa, kalau dulu di Cijanur itu anak-anak selalu berkumpul dan terbagi menjadi dua kelompok? Kamu selalu ada di kelompoknya Nisa, sementara Dhisa dulu ada di kelompok Kakak. Dulu kami sering main sama-sama, berbagi cerita tanpa canggung, dan bahkan beberapa kali dia sering curhat juga meski curhatnya hanya sekilas. Dari situlah Kakak banyak tahu tentang Dhisa. Kenapa memangnya? Kamu mau tahu banyak hal tentang Dhisa juga, seperti yang Kakak tahu?" goda Danar, setelah memberi jawaban atas pertanyaan yang Abi ajukan.

"Enggak, aku cuma mau tahu saja. Ngapain juga aku cari tahu tentang Dhisa dari Kakak, sementara orangnya saat ini adalah pacarku sendiri. Aku bisa tanya sama dia secara langsung kalau memang mau tahu banyak tentang dirinya," ujar Abi, seraya menatap ke arah lain dan tidak mau menatap kedua mata Danar.

Danar mengulum senyum saat mengetahui sesuatu dari cara Abi berkelit.

"Kamu teh cemburu karena Kakak lebih tahu banyak hal soal Dhisa daripada kamu? Iya? Benar begitu?" tebak Danar.

"Enggak, Kak. Ngapain sih aku harus merasa cemburu segala?" bantah Abi, yang kemudian langsung memutuskan pergi dari toko milik Danar.

Danar pun mengejarnya dan melihat Abi yang sudah berjalan menjauh.

"Kalau kamu merasa cemburu, itu artinya kamu benar-benar cinta sama dia!" seru Danar, ingin memastikan bahwa Abi mendengar perkataannya.

Abi tiba di parkiran Pasar Malangbong tak lama kemudian dan langsung naik ke motornya. Ia berhenti sejenak ketika akan memakai helm. Apa yang Danar katakan soal rasa cemburu, membuat ia mulai memikirkan perasaannya sendiri terhadap Dhisa. Entah kenapa Abi mulai bertanya-tanya pada hatinya, apakah ia memiliki perasaan untuk Dhisa atau tidak. Padahal seharusnya Abi tidak perlu menanyakan itu jika dirinya benar-benar yakin bahwa di hatinya memang tidak pernah ada rasa untuk Dhisa.

"Ah! Itu mungkin cuma sekedar rasa kesalku saja, karena Kak Danar lebih banyak tahu soal Dhisa daripada aku. Tidak mungkin aku punya perasaan untuk Dhisa, sementara selama ini kami tidak pernah dekat sama sekali," batin Abi, menolak untuk memikirkan soal perasaan terhadap Dhisa.

Pria itu kemudian menstarter motornya, lalu meninggalkan Pasar Malangbong menuju ke Klinik Prima Medika untuk menjemput Dhisa. Klinik itu letaknya tidak terlalu jauh dari Pasar Malangbong dan ketika dirinya tiba di depan klinik tersebut, Dhisa tampak masih ada di dalam klinik dan sedang bicara pada semua Suster yang ada di hadapannya. Tak lama kemudian, Dhisa pun keluar dari klinik setelah salah satu Suster memberi tahu mengenai kedatangan Abi. Abi menyodorkan helm pada Dhisa dengan wajah yang datar.

"Ada apa, Kak? Apakah Kakak baik-baik saja?" tanya Dhisa, tampak mengkhawatirkan kondisi Abi.

Abi menatapnya selama beberapa saat dan bisa melihat kekhawatiran yang begitu jelas di wajah Dhisa.

"Aku sedang merasa kesal," jawab Abi, apa adanya.

"Kesal karena apa, Kak? Kakak mau cerita?" tawar Dhisa.

"Hm ... aku akan cerita saat kita sudah sampai ke tempat yang akan kita tuju," balas Abi, tetap sedingin tadi.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang