Abi keluar dari kamarnya dan diikuti oleh Danar. Yatna dan Marni menatap ke arah kedua putra mereka, seakan menginginkan sebuah penjelasan.
"Mau ditemani?" tawar Danar."Iya, boleh," jawab Abi, yang baru selesai memakai jaketnya.
"Kalian teh mau ke mana?" tanya Marni.
"Abi mau ke rumah Dhisa, Bu. Mau minta maaf, katanya. Dia tadi mendiamkan Dhisa tanpa alasan, gara-gara kesal karena aku punya nomor teleponnya Dhisa duluan daripada dia," jawab Danar, sengaja tidak memberi tahu soal hubungan pura-pura yang Abi jalani.
Abi sempat heran selama beberapa saat ketika mendengar jawaban Danar untuk orangtua mereka. Ia merasa heran, karena Danar mendadak tahu kalau dirinya tadi sempat kesal soal Danar yang sudah punya nomor telepon Dhisa lebih dulu daripada dirinya. Sekarang ia jadi ingin tahu, dari mana Danar bisa mengetahui hal itu.
"Abi ... kenapa sih kamu teh kebiasaan sering bertingkah begitu?" tegur Yatna. "Kalau kesalnya sama Kakak kamu, ya lampiaskan sama Kakak kamu saja. Jangan malah melampiaskan kekesalan kamu sama Dhisa. Kamu teh kebiasaan sering begitu. Cepat sana ke rumah Dhisa dan beri dia penjelasan. Jangan ulangi lagi hal seperti itu, Bapak enggak mau tahu. Jaga perasaannya, seperti dia menjaga perasaan kamu."
"Iya, Pak. Insya Allah enggak akan aku ulangi. Aku sama Kak Danar pergi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Abi, mewakili Danar.
"Wa'alaikumsalam," jawab Yatna dan Marni.
Abi dan Danar pun segera keluar dari rumah. Mereka berjalan bersisian dengan santai, karena Abi meminta begitu.
"Dari mana Kakak tahu kalau aku tadi sempat kesal soal perkara nomor telepon Dhisa?" tanya Abi.
"Dari Dhisa. Dia bahkan bilang sama aku kalau kamu menyuruh dia untuk tidak terlalu sering berbalas pesan sama aku dan juga kamu memintanya untuk membuat alasan agar aku tidak perlu sering-sering mengirim pesan padanya. Dia melakukan yang kamu mau, tapi bukan membuat-buat alasan. Dia lebih memilih bicara jujur tentang yang kamu minta kepadanya, agar aku paham bahwa kamu memang selabil itu," jawab Danar, sambil menahan tawa.
Abi pun kini jadi ikut menahan tawa seperti yang Danar lakukan. Ia sadar bahwa dirinya memang terkadang sering merasa tidak suka jika perhatian seseorang yang ada di sisinya mendadak terbagi pada yang lain. Dan kali ini, Dhisa--yang tengah dekat dengannya--pun harus mengalami hal yang sama. Abi tidak mau perhatian Dhisa terbagi pada yang lain. Ia ingin seluruh perhatian Dhisa tertuju pada dirinya saja, sehingga ia meminta wanita itu untuk membatasi komunikasi dengan Danar.
Abi menekan bel yang terdapat di luar pagar tinggi rumah Dhisa. Ia dan Danar kini menunggu selama beberapa saat setelah menekan bel tersebut. Nisa, Sari, dan Intan tampak memperhatikan kedua pria itu ketika mereka baru saja keluar dari masjid bersama beberapa orang lainnya.
"Abi kayanya benar-benar serius pacaran sama Dhisa. Enggak mungkin dia sampai mau datang ke rumah Dhisa malam-malam begini kalau enggak pacaran betulan," bisik Sari.
"Kalau memang betulan, itu tandanya kita harus bersyukur. Karena dengan begitu, si Tomi enggak bakalan banyak bacot lagi soal Abi yang belum move on dari kuntilanak gatel bernama Ilmi. Demi Allah, aku rasanya menyesal sedalam-dalamnya karena pernah berada satu kelompok bermain sama si Ilmi. Ujung-ujungnya dia gabung sama kelompok kita cuma untuk menyakiti Abi," tanggap Nisa, mengungkapkan kekesalannya soal kelakuan Ilmi bertahun-tahun lalu.
"Iya, Teh Nisa benar. Andai saja kita tahu kalau Ilmi sifatnya kaya begitu, maka dulu kita enggak akan menolak Dhisa yang ingin bergabung dengan kelompok bermain kita. Tapi karena Ilmi kita pilih, akhirnya Dhisa bergabung dengan kelompoknya Kak Danar dan sekarang Dhisa malah enggak pernah menyapa kita. Padahal Dhisa kalau sama Kak Danar masih seakrab dulu. Mereka benar-benar masih kaya teman masa remaja kalau sudah ketemu," ujar Intan, yang tadi pagi sempat melihat bagaimana interaksi antara Dhisa dan Danar yang konyol.
Pagar rumah Dhisa pun terbuka dan Dhisa sendiri yang membuka pagar tersebut.
"Assalamu'alaikum, Dhi. Jantung Kakak mendadak keseleo, bisa diperbaikin atau enggak?" Danar mendadak bertanya dengan konyol seperti biasanya.
"Wa'alaikumsalam. Silakan masuk, Kak Danar. Di dalam kebetulan ada Suster yang bekerja di klinik punyaku, dan dia sedang mencoba membandingkan beberapa peralatan medis. Kalau jantung Kakak keseleo, mungkin dia bisa bantu perbaiki," saran Dhisa.
Danar pun langsung bergidik ngeri dan bersembunyi di balik punggung Abi.
"Kamu kalau diajak bercanda malah suka bikin orang overthinking. Peralatan medis apa yang lagi dicoba sama Suster yang bekerja di klinikmu itu? Pisau bedah? Jarum suntik?" tebak Danar.
"Selang infus, Kak Danar. Ya Allah, overthinking kok enggak pada tempatnya. Kalian berdua mau masuk atau enggak?" tanya Dhisa, sambil menatap ke arah Abi.
Abi tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam pagar rumah tersebut. Danar mengikuti langkah Adiknya, lalu sempat beradu kepalan tinju beberapa kali dengan Dhisa seperti petinju sungguhan. Abi memperhatikan hal tersebut dan seketika ingat kalau Danar memang sedekat itu dengan Dhisa sejak masih remaja. Dhisa terlihat kembali menutup pagar rumahnya, sehingga Nisa, Sari, dan Intan tidak bisa lagi melihat ke dalam halaman rumah itu.
"Kak Danar teh dari dulu selalu bertingkah seperti anak kecil kalau sudah bertemu sama Dhisa. Aku enggak sangka kalau mereka akan seakrab itu sampai dewasa," ujar Sari, yang tampak sama menyesalnya dengan Intan karena pernah menolak Dhisa masuk ke dalam kelompok bermain mereka.
"Dhisa juga 'kan enggak pernah bersikap sombong meski sudah lama enggak ketemu sama Kak Danar. Dia tetap seperti dulu, saat mereka masih berada dalam satu kelompok bermain," sahut Nisa.
Danar langsung duduk di gazebo dan mendekat pada Kyara yang sedang mencoba beberapa selang infus baru. Abi kini duduk di teras seorang diri. Dhisa sedang masuk ke dalam rumah untuk membuat minuman. Tak lama kemudian, Dhisa pun keluar kembali sambil membawa dua gelas jus mangga dan cemilan. Satu gelas ia letakkan di meja teras, dan satu lagi ia antarkan ke gazebo untuk Danar. Setelah selesai menyajikan makanan dan minuman, Dhisa pun ikut bergabung di teras bersama Abi.
"Silakan diminum, Kak Abi," ujar Dhisa.
"Iya, terima kasih," tanggap Abi, lalu segera meminum jus mangga yang tersaji.
Dhisa memperhatikan Abi malam itu, namun sama sekali tidak tersenyum. Wajah wanita itu terlihat tenang dan tetap menatap Abi dengan ekspresi khawatir.
"Kakak baik-baik saja?" tanya Dhisa.
"Enggak. Aku sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja saat ini, Dhi," jawab Abi, apa adanya.
"Mau cerita? Aku akan mendengarkan kalau Kakak mau cerita," tawar Dhisa.
"Mm ... aku akan cerita sama kamu. Tapi aku lebih butuh melihat kamu senyum malam ini," balas Abi, tanpa mengalihkan tatapannya dari kedua mata Dhisa yang jernih.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIRNYA
Romance[COMPLETED] Hal pertama yang diucapkan oleh Abi setelah empat belas tahun tidak bertemu dengan Disha adalah sebuah permintaan tolong untuk membantunya menghentikan banyak fitnah. Abi yang saat itu sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hatinya te...