20 | Mencoba Menghasut

97 11 0
                                    

Abi kembali membawa Dhisa ke rumah makan yang kemarin mereka datangi. Kali itu mereka menempati meja yang berbeda, namun dengan keadaan yang sama seperti kemarin. Orang-orang yang kemarin dilihat oleh Dhisa tampak kembali memperhatikan dirinya saat duduk bersama Abi. Pelayan mengantarkan buku menu seperti kemarin, lalu menunggu untuk mencatat pesanan makanan.


"Saya pesan soto banjarnya satu porsi dengan tambahan nasi. Minumnya jus jeruk," ujar Dhisa, dengan cepat.

Abi kembali tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku masih mikir mau pesan apa, tapi kamu malah sudah selesai memesan duluan. Kamu benar-benar jarang memikirkan sesuatu terlalu lama, ya?" tanya Abi.

"Sering, kok, aku memikirkan sesuatu sangat lama."

Abi menunjuk nama makanan dan minuman yang akan di pesannya dan membiarkan pelayan mencatatnya.

"Oh, ya? Hal apa yang kamu pikirkan sangat lama itu?" Abi ingin tahu.

"Kak Abi," jawab Dhisa, to the point.

Wajah Abi jelas langsung memerah setelah mendengar jawaban yang Dhisa berikan. Dhisa sendiri tampak sangat tenang dan tidak gugup sama sekali ketika menatap tepat pada mata Abi.

"Kamu enggak pernah ragu saat memberiku jawaban. Seakan ... semua hal yang aku tanyakan sama kamu memang sudah ada jawabannya dan kamu tinggal mengucap. Aku benar-benar belum pernah berhadapan dengan sosok yang seperti kamu. Kamu berbeda dan aku tidak menyadari itu saat masih remaja," ujar Abi, mengakui apa yang telah ia lewatkan sejak lama.

Ekor mata Dhisa bisa melihat dengan jelas sosok Ilmi dan Tomi yang baru tiba di rumah makan itu. Meski tahu tentang kedatangan mereka, Dhisa sama sekali tidak memberi tahu Abi karena tidak ingin Abi merasa tidak nyaman.

"Kakak enggak perlu lagi memikirkan hal yang sudah berlalu. Sekarang yang lebih penting untuk Kakak pikirkan adalah tentang masa depan. Kita jelas tidak akan pernah bisa kembali ke masa lalu, tapi kita jelas akan selalu menyambut masa depan. Jadi ... berhenti memikirkan tentang apa yang jadi penyesalan Kakak, berhenti memikirkan apa yang menjadi pusat rasa sakit yang pernah Kakak rasakan, dan juga berhenti untuk berandai-andai tentang masa lalu. Kalau Kakak tidak berhenti melakukan ketiga hal yang aku sebutkan barusan, maka Kakak tidak akan pernah bisa menyambut masa depan dengan bahagia," tutur Dhisa, mencoba meyakinkan Abi untuk benar-benar meninggalkan masa lalu.

Abi pun menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia paham dengan apa yang Dhisa coba tuntunkan kepadanya. Makanan yang mereka pesan sudah datang. Hal itu membuat obrolan mereka berakhir karena harus menyantap yang mereka pesan. Tomi dan Ilmi tampak memperhatikan mereka dari jauh, lalu mulai menjalankan aksi mereka dengan menyebar fitnah baru atas diri Abi kepada teman-teman satu kantor yang sedang makan siang kali itu.

"Kak, aku ke toilet dulu, ya. Kakak tunggu di sini sebentar sebelum kita bayar makanannya," pinta Dhisa, setelah dirinya dan Abi selesai makan siang.

"Iya, aku tunggu kamu di sini. Setelah itu baru kita ke kasir dan keluar sama-sama," balas Abi.

Dhisa pun segera bangkit dari kursinya dan pergi ke toilet yang tersedia di rumah makan tersebut. Ilmi melihat kepergian Dhisa dan segera menyusul langkahnya menuju toilet. Dhisa tampak sedang mencuci tangannya ketika Ilmi tiba di toilet yang sama. Wanita itu dengan sengaja mengambil tempat pada wastafel yang berada tepat di samping Dhisa.

"Kamu pacaran sama Abi? Kok kamu mau sih, memacari bekasku?" ejek Ilmi.

Dhisa tidak menanggapi sama sekali dan hanya terus menggosok bagian tangannya yang masih terasa berminyak. Ilmi sendiri kini tampak membetulkan riasannya dan memakai liptint tambahan pada bibirnya.

"Kamu mungkin bertanya-tanya, kenapa aku bisa meninggalkan Abi dan justru menikahi pria yang jauh melampaui segalanya dari Abi. Jujur saja, Dhi, dulu aku hanya mempermainkan Abi dan hanya berpura-pura mencintai dia. Aku sebenarnya benci sama dia, karena dia adalah anak seseorang yang sudah menyingkirkan Ayahku dari jabatannya di kantor. Dengan santainya dan tidak merasa bersalah, Bapaknya si Abi itu membongkar satu kesalahan Ayahku. Ingat itu, Dhi, salahnya Ayahku cuma satu dan Bapaknya si Abi itu tidak mau memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Ya ... menerima uang suap memang salah, tapi 'kan Ayahku sudah mengembalikan uang itu dan meminta maaf. Tapi Bapaknya si Abi itu tetap tidak mau memaafkan dan malah melaporkan Ayahku pada atasan, sehingga Ayahku harus menerima pemecatan dan juga berakhir di penjara. Sejak itu, aku mendendam pada keluarganya dan memutuskan ingin membalas dendam dengan cara menghancurkan kehidupan Abi. Jadi saat aku bertemu dengan Suamiku yang juga ternyata membenci Abi sejak masih SMA karena Abi selalu mengalahkannya dalam berbagai bidang di sekolah mereka, jadilah aku punya jalan yang lebih besar untuk membuat hidup Abi menderita," ungkap Ilmi, tanpa ragu.

Dhisa pun mematikan air keran dan mengeringkan kedua tangannya di bawah hand dryer.

"Jadi kamu mungkin harus berhati-hati, Dhi. Kalau kamu tetap melanjutkan hubunganmu dengan Abi, maka kamu dan karirmu sebagai Dokter mungkin akan terkena imbasnya. Aku cuma enggak mau kamu ikutan jadi korban, Dhi. Aku mengatakan ini sebagai peringatan buat kamu, karena aku tulus terhadapmu dan tidak ingin kamu hancur seperti Abi," bujuk Ilmi dengan sangat manis.

Dhisa pun kini menoleh ke arah Ilmi dan tersenyum di hadapan wanita itu.

"Terima kasih banyak atas peringatan yang kamu berikan untukku. Aku juga bisa merasakan ketulusan di dalam ucapan kamu barusan. Tapi maaf, cintaku untuk Kak Abi tidak bisa kugadaikan dengan apa pun. Sekalipun aku harus mengorbankan nama baik dan karirku sebagai seorang Dokter, aku tetap tidak akan pernah mau meninggalkan Kak Abi sendirian. Lagi pula, di dunia ini tidak pernah ada kejahatan yang akan menang melawan kebaikan. Allah pun tahu mana hamba-Nya yang akan mendapat pertolongan dan mana hamba-Nya yang harus didorong ke dalam lumpur paling busuk. Aku harap kamu paham dan berhenti mencoba menghasutku untuk menjauh dari Kak Abi," balas Dhisa, yang kemudian langsung pergi meninggalkan Ilmi yang masih mematung di posisinya.

Ilmi berbalik sambil menatap marah ke arah Dhisa. Dhisa mendadak berhenti ketika teringat sesuatu.

"Oh, ya ... satu lagi," ujar Dhisa, seraya menatap ke arah Ilmi. "Sekali koruptor, ya, tetap koruptor. Mau uang suapnya dikembalikan, kek. Mau pelakunya minta maaf, kek. Kalau berbuat salah, ya, berarti harus siap menerima hukuman. Apa yang dilakukan oleh calon Bapak mertuaku jelas adalah hal yang benar. Toh dia melakukan hal itu bukan untuk mengincar jabatan Ayahmu, tapi untuk menghentikan kejahatannya agar tidak menjadi lebih parah. Seharusnya kamu berterima kasih loh, bukan malah membalas dendam."

Dhisa pun kembali berbalik dan benar-benar keluar dari toilet tersebut. Ilmi yang kekesalannya sudah sampai di ubun-ubun pun langsung melempar botol liptint miliknya ke lantai toilet hingga pecah.

"Berengsek kamu Dhisa!" umpatnya, dengan suara tertahan.

* * *

AKHIRNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang