Salma menatap ke arah Dhisa yang malam itu tampak berusaha terlihat tenang. Padahal kenyataannya, Dhisa sama sekali tidak terlihat setenang biasanya.
"Ibu tadi dengar pembicaraanmu dengan Abi, sebelum kamu masuk ke dalam pagar rumah," ujar Salma.
Dhisa pun segera mengalihkan tatapannya dari makanan yang tengah mereka santap malam itu ke arah Salma yang sedang menatapnya. Salma menggenggam salah satu tangan Dhisa dengan penuh kehangatan. Wanita paruh baya itu tersenyum, seakan tahu bahwa saat ini putrinya sedang butuh tempat bersandar yang sangat kuat.
"Ibu tidak akan melarang kamu jika memang ingin membantu Abi terlepas dari fitnah. Ibu juga tidak akan melarang kamu jika memang ada kesepakatan antara kamu dan Abi terkait untuk menghentikan fitnah itu. Ibu yakin, kamu sudah mempertimbangkannya sejak awal sebelum menyetujui kesepakatan itu. Ibu hanya mau menyarankan sama kamu, bahwa kamu tidak perlu mengejar hal yang tidak bisa kamu kejar. Ibu tidak akan menuntutmu untuk segera membangun keluarga jika kamu memang masih belum bisa melupakan perasaanmu terhadap Abi. Jalani saja pelan-pelan. Suatu saat kamu pasti akan menemukan titik akhirnya, meskipun mungkin titik akhir itu tidak sesuai dengan yang kamu harapkan selama ini," dukung Salma, sepenuh hatinya.
Dhisa pun ikut tersenyum, meskipun senyumnya kali itu tidak secerah biasanya.
"Terima kasih ya, Bu. Terima kasih banyak atas dukungan yang Ibu berikan untukku. Aku selalu saja selemah ini jika sudah berurusan dengan perasaan. Aku enggak pernah sanggup ingin memaksakan keadaan agar perasaanku diterima oleh orang yang aku impikan. Ujung-ujungnya, beginilah yang terjadi. Entah itu dulu ataupun sekarang, ternyata aku masih sosok yang sama, Bu," ungkap Dhisa, apa adanya.
"Mungkin itu karena kita adalah wanita, jadi kita selalu punya alarm untuk tidak memaksakan kehendak terhadap orang lain, terutama soal perasaan. Kodratnya wanita itu untuk dipilih, 'kan, bukan memilih? Mungkin itu alasan utamanya."
"Hm ... Ibu mungkin benar soal itu. Ya, kodrat seorang wanita adalah dipilih bukan memilih. Seharusnya mungkin aku memikirkan hal itu sebelum menaruh rasa kepada seseorang. Seharusnya aku memikirkan tentang bagaimana jika pada akhirnya dia tidak memilih aku. Jika saja aku pikirkan hal itu sejak awal, mungkin aku tidak perlu susah payah menahan diri dan perasaan terhadap dia."
Dhisa terdiam selama beberapa saat.
"Tadi aku merangkul lengannya selama kami pergi berdua, untuk meyakinkan banyak orang bahwa kami memang punya hubungan sedekat itu. Untuk pertama kalinya aku tahu bagaimana rasanya ketika berada di sampingnya dan merangkul lengannya. Aku senang karena bisa merasakan hal itu. Tapi di sisi lain aku berusaha mati-matian untuk menahan diri agar perasaanku tidak meledak. Rasanya begitu menyiksa, Bu. Tapi sekali lagi aku menyadari bahwa itulah konsekuensi yang harus aku hadapi setelah setuju dengan kesepakatan yang dia tawarkan. Jadi ... entah bagaimana aku mendadak tahu bagaimana akhirnya yang akan aku dapatkan nanti."
Salma pun segera memeluk Dhisa dengan erat seraya mengusap-usap lembut rambut panjangnya. Dhisa membalas pelukan itu seraya memejamkan kedua mata demi mencari rasa tenang dan nyaman.
"Kalau begitu jangan pernah berekspektasi lebih padanya. Jalani saja sesuai kesepakatan. Ibu akan membantumu kalau perlu, agar dia benar-benar terhindar dari fitnah siapa pun. Kalau orang yang memfitnah dia akhirnya menyerah, maka kamu akan bisa lebih cepat mengakhiri kesepakatan dengannya. Bagaimana? Apakah kamu setuju, jika Ibu juga membantumu diam-diam?" tawar Salma.
Dhisa pun akhirnya kembali tersenyum. Ia menatap ke arah Ibunya lalu kemudian mengangguk pelan.
"Tapi janji, Ibu jangan membantu terlalu berlebihan," pinta Dhisa.
"Siap. Insya Allah Ibu tidak akan berlebihan ketika membantu kamu," janji Salma.
Usai makan malam, mereka berdua pun segera naik ke balkon lantai dua yang mengarah ke halaman depan. Mereka berdua duduk dengan santai di meja yang ada di balkon tersebut sambil meminum teh pandan.
"Jadi, laki-laki yang dinikahi oleh Ilmi itu adalah orang yang membenci Abi tanpa alasan? Saking bencinya dia sama Abi, semua yang membuat Abi bahagia akhirnya dia hancurkan?" tanya Salma, yang kini tampak sangat jengkel usai mendengar cerita dari Dhisa.
"Iya, Bu. Begitulah yang sebenarnya. Sayangnya, Kak Abi sekarang sudah tidak punya apa pun yang dia sayang sehingga membuat laki-laki itu beralih menjadi sering memfitnah Kak Abi di mana pun dia berada. Intinya, dia tidak mau berhenti sebelum hidup Kak Abi benar-benar hancur," jawab Dhisa.
"Wah ... ternyata ada ya, manusia yang sifatnya seburuk itu. Ibu pikir sifat yang seburuk itu hanya akan terlihat di film-film saja. Ternyata di dunia nyata pun juga ada," gumam Salma.
Pagar rumah Ilmi terbuka tak lama kemudian. Ilmi dan Tomi tampak keluar dari balik pagar rumah mereka, bertepatan dengan munculnya teman-teman masa kecil Dhisa dari gang kecil yang mengarah ke rumah Pak RT. Dua kubu itu bisa melihat ke arah balkon lantai dua rumah Dhisa. Dhisa dan Salma sendiri memilih untuk berpura-pura tidak melihat ke arah kubu manapun dan memperlihatkan bahwa mereka sedang asik mengobrol berdua malam itu.
"Mereka pasti sedang berpikir bahwa kamu sedang menceritakan bagaimana rasanya jalan berdua bersama Abi," ujar Salma, membuat dugaan.
Apa yang Salma katakan sukses membuat Dhisa tertawa saat tengah menyeruput teh dari cangkirnya.
"Astaghfirullah Ibu, bisa-bisanya Ibu berpikir sampai ke situ," keluh Dhisa.
"Tapi dengan begitu kamu jadi tertawa, 'kan? Kalau kamu tertawa, maka Ilmi akan berpikir bahwa kamu dan Abi saat ini sedang bahagia-bahagianya. Nah ... untuk kubu lain, mereka pasti akan mulai meragukan fitnah yang laki-laki itu katakan tentang Abi, jika melihat kamu sebahagia itu," jelas Salma.
Dhisa kini benar-benar tertawa hebat saat Salma mengompori pikirannya dengan karangan bebas seperti jalan cerita sinetron. Di balkon belakang rumah lain, diam-diam Abi sedang menatap ke arah balkon rumah Dhisa dari tempat yang cukup gelap. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana interaksi antara Dhisa dengan Ibunya yang sangat dekat dan tak berjarak. Dhisa tampak sangat nyaman ketika mengobrol dengan Ibunya, sampai wanita itu bisa tertawa begitu lepas.
"Sudah, jangan dilihat terus. Nanti kamu ketagihan dan enggak mau berhenti memperhatikan Dhisa," goda Danar, dari ambang pintu balkon tersebut.
Abi tersadar dan kini menatap ke arah Kakaknya yang sedang mencoba menahan-nahan senyum.
"Aku 'kan pacarnya. Wajarlah kalau sekarang aku memperhatikan dia," ujar Abi, berusaha terlihat tetap natural.
"Iya, tahu. Tapi enggak usah segitunya juga atuh, sampai harus kamu perhatikan Dhisa dari sini secara diam-diam. Dia 'kan pacar kamu, enggak mungkin dia akan hilang dari sisi kamu secara mendadak dong," balas Danar dengan sengaja.
Abi pun diam saja dan tak mengatakan apa pun lagi untuk membalas.
"Jika kesepakatan antara aku dan dia selesai, maka mungkin bisa saja dia akan menghilang secara mendadak dari hidupku. Entah kapan itu akan terjadi. Yang kupikirkan saat ini adalah, apakah aku akan siap dengan hal itu suatu saat nanti?" batin Abi, mulai bertanya-tanya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIRNYA
Romance[COMPLETED] Hal pertama yang diucapkan oleh Abi setelah empat belas tahun tidak bertemu dengan Disha adalah sebuah permintaan tolong untuk membantunya menghentikan banyak fitnah. Abi yang saat itu sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hatinya te...