Pagi-pagi sekali, Ravania diganggu dengan kehebohan Silvia yang sudah bangun sejak pukul 5.
Katanya, hari ini Silvia akan pergi berkencan dengan laki-laki yang sudah menjadi incaran perempuan itu sejak lama. Maka tak heran jika Silvia sudah heboh sejak pagi buta.
“Ini cocok gak aku pakai buat first date?”
Dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, Ravania mencoba meneliti penampilan Silvia dari atas hingga bawah. Kepalanya menggeleng sebagai tanda tak setuju akan dress pilihan Silvia yang menurutnya terlalu heboh.
“Ganti yang lebih kalem warnanya.”
Padahal, Silvia akan bertemu pukul 08.00, namun sudah bersiap-siap sejak pagi buta seperti ini. Jika bukan sahabatnya, pasti Ravania akan mencak-mencak.
“Kalau yang ini gimana?”
“Bagus. Itu aja.”
“Tapi terlalu polos gak sih?”
“Terserah kamu. Aku ngantuk banget.”
Ravania memejamkan matanya perlahan. Namun belum sempat sepenuhnya terpejam, ia kembali diganggu dengan suara dering ponsel yang memekakkan telinga. Siapa lagi yang memasang nada dering kencang selain Silvia.
“Halo, iya kenapa? Kencannya dimajuin?”
“...”
“Hah? Loh? Gak jadi? Kenapa?”
“...”
“Oh mau nganterin Mama kamu check up ya. Ya udah deh gak papa.”
“...”
“Oke gak papa. Next time aja. Nanti kabari lagi.”
Samar-samar, Ravania bisa mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Meskipun demikian, ia tetap memejamkan matanya.
Mata Ravania langsung terbuka lebar saat mendengar suara isakan yang berada di dekatnya. Ia menoleh dan langsung bisa melihat Silvia yang sesenggukan.
“Loh? Kamu kenapa nangis?”
“Sebel banget hiks, gak jadi kencan.”
“Hah? Maksudnya gimana?”
Sepertinya otak Ravania sedikit lebih lambat mencerna situasi saat ini.
“Dia mau nganter Mamanya check up, jadi kencannya batal. Padahal aku udah excited dari semalam. Tapi ternyata malah batal. Sedih banget.”
Silvia masih terus meratapi nasibnya yang tak jadi kencan. Sedangkan Ravania justru terdiam bingung ingin menanggapi seperti apa. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal.
“Ya udah sih, kan lain kali bisa kencan. Waktu masih banyak kok, gak usah nangis gitu. Aku bingung jadinya.”
Bukannya tenang, Silvia justru semakin mengencangkan tangisnya.
“Cowok tuh apa gak bisa lihat effort cewek sih? Seenaknya aja batalin janji. Gak tau apa perjuangan aku bangun pagi-pagi biar tampil perfect buat kencan pertama.”
Tak ada yang bisa Ravania lakukan selain mengusap punggung Silvia berusaha menenangkan. Bibirnya terkatup rapat kala tak tau harus bereaksi seperti apa. Rasa kantuk yang tadi menyerangnya pun mendadak hilang dalam sekejap.
“Dasar cowok! Sama aja!”
Tapi mas Caka beda!
Kalimat itu hanya bisa Ravania ucapkan dalam hati. Bisa panjang urusannya jika ia mengucapkan secara langsung di depan Silvia yang sedang galau karena tak jadi kencan pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Couple
RomanceDi umur ke 26 tahun ini, Cakara Dewandaru atau yang kerap disapa Caka belum juga menemukan tambatan hatinya. Desakan perihal pernikahan selalu membuatnya lelah dan muak. Hingga suatu saat, ia berhasil menemukan seorang perempuan yang mampu menggeta...