“Mas aku udah di depan ya.”
“Tunggu sebentar, aku masih di pom ngisi bensin.”
“Oke siap.”
Ravania mengakhiri panggilannya dengan Caka. Lalu, ia memasukkan ponsel ke dalam tas dan lanjut menunggu Caka di depan rumah sakit. Duduk di kursi tunggu yang memang sengaja disediakan oleh pihak rumah sakit.
Kedua mata Ravania menatap sekitar. Melihat banyaknya pengemudi roda dua maupun roda empat yang memenuhi jalan raya di depannya kini.
Kedua mata Ravania terpaku melihat seorang remaja perempuan yang berlarian ke arahnya dengan tertatih-tatih. Sejenak Ravania mengamati remaja itu yang sepertinya sedang dikejar sesuatu.
Ravania sontak berdiri begitu remaja itu lebih dekat dengannya dan ia bisa melihat kondisi remaja tersebut yang jauh dari kata baik.
“Tolong! Tolong saya!” pinta remaja itu dengan lirih. Saat posisinya sudah berada di depan Ravania. Dengan tatapan sayu dan kosong yang berhasil membuat Ravania iba.
“Kamu kenapa?”
“Bawa saya pergi dari sini.”
Ravania tersentak saat remaja di depannya kini menggenggam tangannya dengan erat. Tak lama isakan keluar dari mulut remaja tersebut dan langsung membuat Ravania kebingungan.
Tanpa membuang waktu lama lagi, ia membawa remaja itu ke dalam rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Sebab ternyata di tubuh remaja tersebut terdapat banyak luka lebam dan darah yang sudah mengering.
Saat remaja itu diperiksa oleh dokter, Ravania diam di depan pintu rawat. Menerka-nerka kejadian naas apa yang sedang menimpa hingga remaja yang entah darimana asal usulnya itu bisa memiliki luka lebam seperti bekas kekerasan.
Lamunan Ravania buyar saat merasakan ponselnya bergetar. Ia mengambil ponselnya dari dalam tas dan melihat siapa yang menghubunginya. Ternyata suaminya, Caka.
“Kamu dimana, ay?”
Ravania menepuk dahinya dengan kencang karena lupa jika akan dijemput Caka.
“Mas bisa masuk ke rumah sakit aja? Nanti aku ceritain semuanya.”
“Loh? Katanya kamu udah di luar.”
“Nanti aku ceritain, please mas ke sini dulu.”
“Oke-oke, tapi kamu gak papa kan?”
Ravania bisa mendengar suara Caka yang terdengar khawatir. “Aku baik-baik aja.”
“Oke aku udah jalan ke sana, jangan tutup telponnya. Kamu di sebelah mana?”
“Di ruang Anggrek nomor 16.”
“Oke sebentar.”
Beberapa menit kemudian, Ravania bisa melihat Caka yang berjalan ke arahnya. Ia melambai hingga disadari Caka. Ravania langsung memutus telpon begitu saja.
“Mas!” panggil Ravania.
Caka menghembuskan nafas lega melihat istrinya baik-baik saja.
“Ada apa? Kenapa kamu di sini?”
Baru ingin membuka mulut, dokter yang memeriksa remaja tadi keluar dari ruangan. Alhasil Ravania mengurungkan niatnya untuk bercerita pada Caka dan memilih untuk mendengarkan penjelasan dokter.
“Saya menduga pasien mengalami kekerasan, setelah diperiksa ternyata ada banyak luka lebam di punggung dan anggota tubuh lain. Saya rasa psikis pasien juga sedikit terganggu. Saran saya coba kamu ajak dia berbicara lebih lanjut untuk mengetahui apa yang terjadi hingga pasien memiliki luka sebanyak itu. Karena saat saya tanya tadi, pasien hanya diam dengan tatapan kosong.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Couple
RomanceDi umur ke 26 tahun ini, Cakara Dewandaru atau yang kerap disapa Caka belum juga menemukan tambatan hatinya. Desakan perihal pernikahan selalu membuatnya lelah dan muak. Hingga suatu saat, ia berhasil menemukan seorang perempuan yang mampu menggeta...