Bab 10

460 5 0
                                    

Hai, Teman-teman. Part 10 sudah tayang.
Happy reading.🥰

Wulan merebahkan tubuhnya di ranjang. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang peristiwa sore tadi ketika tak sengaja bertemu dengan Gavin. Ucapan lelaki itu yang menerima perjodohan ini.

Wulan tidak menemukan senyum Gavin sore tadi sepanjang lelaki itu berbicara. Hanya ada wajah dingin seperti pertemuan pertama ketika bertandang ke rumah Wulan.

Apa dia terpaksa menerima perjodohan ini?

Wulan merasa jika dia bukan kriteria pendamping hidup Gavin. Jika bukan kriterianya, kenapa Gavin mau menerima dia? Lelaki itu mempunyai wajah tampan dan tentu saja mapan. Bukannya lebih mudah mencari perempuan yang cantik? Berbagai pertanyaan memenuhi kepala Wulan.

Wulan ingin segera istirahat, tapi kantuk belum juga datang. Akhirnya dia bangkit. Berjalan keluar kamar. Langkahnya menuju dapur. Perempuan yang  mengenakan piyama lengan panjang itu ingin membuat cokelat hangat. Salah satu minuman favoritnya.

Lampu ruang tengah sudah gelap. Biasanya, setiap malam pakde dan budenya akan menikmati acara televisi sebagai hiburan. Oh, Wulan baru sadar. Sekarang sudah menunjukkan pukul 22.00. Pantas saja Rahman dan Ida sudah ruang tengah sudah sepi. Pakde dan budenya pasti sudah istirahat.

Setelah selesai membuat minuman kesukaanya, Wulan kembali ke kamar. Perempuan itu membuka jendela kamar. Matanya langsung disuguhi langit gelap yang dihiasi bintang-bintang. Indah.

Wulan menyesap cokelat yang berada di genggaman tangan kanannya. Matanya tak lepas menatap ke depan. Sesekali mendongak ke atas. Bintang-bintang yang berjejer tak beraturan itu tampak indah. Seolah sedang tersenyum kepadanya. Menghibur hati perempuan itu yang sedang dilanda gelisah.

"Apa aku harus menerima perjodohan ini?" gumanya pelan. Tatapannya masih tertuju ke langit. Perempuan itu menyesap lagi minuman yang kini tak lagi mengepulkan asap.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Wulan masih termangu di depan jendela. Bintang-bintang di atas sana tak membuat mata perempuan itu jemu memandang. Wulan ingin istirahat karena besok harus mengajar.

Tangan Wulan bergerak cepat menutup jendela, lalu menguncinya. Dia ingin segera memejamkan mata meski kantuk belum datang. Dia berharap, besok pagi dia sudah menemukan jawaban dari segala resah yang melanda hatinya.

***
"Lan, nih, buat kamu!" Naila menyodorkan kotak yang di atasnya terdapat pita berwana merah jambu. "Dari Mas Furqon," bisiknya, dia mendekatkan bibirnya di telinga Wulan sebelah kanan.

Mata Wulan melebar.

"Tadi pagi, waktu kamu belum datang, Mas Furqon ke sini. Dia tanya kamu, sudah datang atau belum. Aku jawab aja belum. Terus, dia nitip ini ke aku."

Mata Wulan mengerjap mendengar kalimat yang diucapkan sahabatnya. Masih pagi, tapi lelaki itu sudah berada di depan sekolah tempat dia mengajar.

"Btw, aku pengen tahu isinya, Lan. Penasaran, deh." Naila mengulum senyum. Dia hanya ingin menggoda sahabatnya.

"Nanti aja, deh. Sudah mau masuk kelas," tolaknya sembari meletakkan kotak itu di laci.

"Masih lima belas menit lagi, Lan!" sambar Naila cepat. "Bilang aja aku nggak boleh lihat." Naila pura-pura merajuk. Biasanya, sahabatnya itu tak akan tega melihat raut wajahnya yang cemberut. Semoga saja Wulan mau menuruti permintaanya.

Wulan mendengkus kecil. Kemudian tangannya mengeluarkan kotak yang tadi sempat dimasukkan ke laci. Sementara Naila tersenyum senang.

Tangan Wulan bergerak pelan membuka kotak itu. Perempuan itu sedikit terpana ketika kotak sudah terbuka.

JODOH UNTUK PAK DOSEN  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang