Bab 4

384 5 0
                                    

"Vin, ayo siap-siap. Kita ke rumah sahabat Papah. Biar kamu tahu dan kenal sama anaknya."

Gavin yang sedang melihat-lihat ikan peliharaannya di akuarium sontak tertegun. Kemudian lelaki itu menoleh ke arah Dimas. "Sahabat Papah siapa?" tanyanya penasaran.

"Sahabat Papah yang punya anak gadis. Dia yang mau Papah kenalkan ke kamu, Vin. Ayo, siap-siap. Keburu siang ini." Dimas melirik ke arloji yang terletak di pergelangan tangan kanannya.

Gavin menarik napas panjang. Selama ini, Dimas jarang mengajak Gavin berkunjung ke rumah sahabat-sahaatnya. Bahkan, sejak kecil Gavin memang tak pernah diajak.

Gavin lebih kerap diajak ke toko mainan dan mempersilakan Gavin memilih sendiri mainan kesukaannya. Akan tetapi, lelaki itu hanya menggeleng-tanda penolakan. Jika Gavin menolak, maka Dimas yang akan memilih sendiri untuk sang putra. Sehingga banyak mainan yang terbengkalai tak disentuh Gavin. Dia lebih memilih permainan yang dibuat sendiri sang kakek.

Gavin kecil, kerap menginap di rumah sang kakek. Di sana, dia akan mendapatkan curahan kasih sayang dari kakek dan neneknya. Ketika di rumah, Gavin akan diabaikan kehadirannya karena kedua orangtuanya sibuk dengan pekerjaanya. Hanya asisten rumah tangganya yang terkadang menemani Gavin ketika di rumah.

"Gavin nggak mau, Pah. Gavin, kan, udah bilang nggak mau dijodohkan."

"Nggak ada penolakan. Papah udah telanjur janji sama Pak Rahman kalau kita akan berkunjung ke sana. Papah tunggu di ruang tamu. Jangan lama-lama mandinya," ucapnya sembari membalikkan tubuh tambunnya. Kemudian, lelaki paruh baya itu berjalan menuju ruang depan.

Aku mengehela napas kasar. Baginya, Dimas tak pernah berubah dari dulu. Selalu menciptakan keputusan sendiri tanpa membicarakan kepada Gavin. Mau tak mau Gavin harus menurutinya meski sebenarnya dia ingin menolak keras permintaannya.

Gavin melangkah menuju kamar dengan perasaan dongkol. Baru sesaat tadi perasaan Gavin damai karena asyik bermain dengan ikan-ikan kesayangannya. Kini, perasaanya tak menentu karena harus menuruti perintah Dimas.

Setelah sampai kamar, Gavin langsung menuju kamar mandi. Akan tetapi, sebelum kakinya masuk ke sana. Mata Gavin menatap bingkai foto yang berdiri tegak di meja rias. Gambar perempuan cantik sedang tersenyum. Lengkungan tipis muncul di bibir lelaki itu.

Gavin masih berharap kabar dari Nesya. Meski sudah hampir dua bulan pencarian Gavin tak membuahkan hasil. Hanya kekecewaan yang lelaki itu dapatkan.

***
Gavin melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang. Jalanan hari ini lumayan ramai karena hari Minggu biasanya waktu untuk berlibur bagi mereka yang setelah enam hari bekerja.

"Vin, kamu udah menghubungi anak dari sahabat Papah? Beberapa waktu lalu Papah sudah kirim foto anaknya sekalian nomor teleponnya." Pertanyaan Dimas memecah kesunyian yang sejak tadi tercipta di mobil berwarna hitam itu.

Gavin menoleh ke arah Dimas. "Belum, Pah," ucapnya, kemudian lelaki itu fokus menyetir mobil.

Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu gimana, sih, Vin? Setidaknya berkenalan dulu. Setidaknya tahu namanya."

"Gavin malas, Pah."

"Kamu, kok, nggak semangat gitu, sih. Dia cantik juga, kok. Sama seperti Nesya."

"Cantikkan Nesya, Pah." Rima, yang sejak tadi terdiam ikut menimpali. Meski wanita paruh baya itu sempat marah karena Nesya yang tiba-tiba tak ada kabar, tapi Rima masih membelanya. Nesya adalah perempuan yang menurutnya layak dijadikan menantu. Cantik dan elegan.

Hanya lengkungan tipis yang tercipta di bibir Gavin. Dia ingin sekali mengatakan bahwa belum ada perempuan yang dia kenal seperti Nesya. Cantik dan energik.

JODOH UNTUK PAK DOSEN  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang