Hai, Guys. Part 9 sudah tayang.
Happy reading.😍Wulan menggelengkan-gelengkan kepalanya melihat Naila yang begitu cepat menyantap semangkuk bakso. Seperti orang yang tak makan satu hari.
"Pelan-pelan makannya, Nai!" tegur Wulan. "Tenang aja, aku nggak minta, kok."
Naila melirik sahabatnya. Kemudian meringis. "Baksona enak banget, Lan!" sahutnya, perempuan itu kembali menyeruput kuah bakso.
Wulan kembali menggeleng melihat sikap sahabatnya itu.
"Lan, aku minta maaf, ya, soal tadi pagi yang di pantai," ujarnya setelah meneguk air putih dalam botol kemasan. Peluh membanjiri dahinya karena kuah baksonya terlalu pedas .
Wulan mengerutkan dahi. Dia masih belum paham arah pembicaraan Wulan.
"Soal aku yang diam-diam kepo tentang pak dosen itu." Naila tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Nai."
"Nggak papa, santai aja." Wulan menyunggingkan senyum.
"Tapi, Lan. Kamu yakin ingin menolak dia?"
"Kan, aku udah bilang. Aku belum memberi keputusan."
Naila mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tapi, dia udah menerima perjodohan ini," ucapnya lirih nyaris tak terdengar. Tapi, Naila masih bisa mendengar suaranya.
Mata Naila melebar. "Beneran, Nai?"
Wulan mengangguk. Pandangannya berpaling ke arah lapangan luas yang jaraknya tak jauh darinya. Perempuan itu menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan.
"Kamu sudah sholat istikhoroh, belum?"
"Sudah, Lan. Tapi, aku belum yakin. Belum ada petunjuk." Naila menjeda kalimatnya. "Besok Selasa dia dan keluarganya mau datang. Otomatis aku harus punya jawaban. Nggak boleh mengulur waktu."
Naila terdiam. Detik berikutnya hanya terdengar suara lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan raya yang tak jauh dari mereka duduk.
"Coba, Lan. Tanyakan hatimu. Dia menjawab apa. Menolak apa menerima. Hati tak pernah berbohong, Lan." Nada suara Naila terdengar serius. "Jangan buru-buru menolak atau pun menerima. Tapi mantapkan hatimu."
Wulan tersenyum menatap sahabatnya. "Bener apa yang dikatakan kamu, Nai. Dari kemarin aku mengabaikan bagaimana hatiku."
Naila mengangguk, tersenyum. Tangan kanannya mengusap pelan bahu sahabatnya.
***
"Mas Furqon ...." Naila sedikit terkejut ketika keluar dari masjid. Dia dan Wulan baru saja menunaikan salat Dzuhur. "Mas ngapain di sini?""Salatlah. Di masjid emang ngapain?"
Naila terkekeh mendengar jawaban lelaki yang mengenakan celana jins dan jaket itu. "Maksudku, Mas dari mana? Rumah Mas Furqon lumayan jauh, kan, dari sini."
"Aku abis dari rumah saudara," balas Furqon. Dia tersenyum. "Eh, kamu sendiri, Nai?"
"Enggak, dong. Sama Bestie aku." Naila menunjuk Wulan yang sedang duduk sembari memakai sepatu.
Naila berpaling menatap Furqon lagi. Dia menemukam wajah Furqon berbinar ketika menatap sahabatnya. Naila menggeleng dan tersenyum kecil.
"Hai, Lan!" sapa Furqon ketika Wulan sudah berdiri di sisi Naila.
Wulan membalas sapaan lelaki itu. Tersenyum manis. Sudah beberapa hari, Furqon jarang mengirimi pesan.
Furqon mengajak makan siang dua perempuan di depannya. Tapi, lelaki itu harus menelan kecewa karena Naila dan Wulan menolak ajakannya karena sudah makan siang tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH UNTUK PAK DOSEN
Romance"Vin, kamu harus segera menikah!" Dimas memandang putranya yang baru saja menghabiskan nasi di piring. Kenapa cepat sekali Dimas menyuruh Gavin untuk menikah? Baru satu bulan yang lalu, kejadian menyedihkan nyaris membuat Gavin putus asa karena keke...