Langkah kaki Rima makin cepat ketika melihat Dimas di ruang tamu. Dia sudah tak sabar ingin bertanya perihal perjodohan Gavin. Kenapa Dimas tak memberi tahu dirinya terlebih dahulu? Tadi pagi setelah sarapan, Rima ingin bertanya. Akan tetapi, sang suami sudah siap akan pergi ke kantor.
Kini, Rima sudah duduk di sofa yang berseberangan dengan Dimas.
"Pah ...."
Dimas menanggapi panggilan sang istri dengan gumaman. Dia masih fokus membaca surat kabar yang dipegangnya karena sedang ada berita yang kini sedang viral.
"Papah beneran mau jodohin Gavin? Kok, nggak ngasih tahu Mamah dulu, sih?! Harusnya, kan, bicara dulu sama Mamah." Rima mencerca sang suami dengan pertanyaan yang sedari tadi menjejal di kepala. Dia menarik napas pelan.
Dimas melipat korannya, kemudian meletakannya di meja yang berada di hadapannya. "Baru rencana saja, kok, Mah. Tapi, Papah berharap Gavin mau," sahutnya santai. Kemudian, Dimas meneguk teh yang kini sudah dingin.
"Siapa calonnya? Mamah penasaran." Wanita yang masih cantik di usia setengah abad itu terlihat tak sabar.
"Dia anak dari teman Papah dulu waktu SMP." Dimas meletakkan cangkir yang kini telah kosong ke meja. "Papah yakin, kalau anaknya adalah perempuan baik-baik. Makanya Papah berencana menjodohkan Gavin dengan perempuan itu."
"Papah udah pernah ketemu sama perempuan itu?" Mata Rima memicing.
Dimas hanya mengangguk. "Sudah."
"Kapan?"
Dimas menceritakan pertemuannya beberapa waktu yang lalu, ketika lelaki itu pergi ke toko buku. Di sana, Dimas bertemu dengan Rahman, teman dekatnya dulu. Rahman bersama putrinya. Meski baru pertama kali, tapi Dimas bisa menilai bahwa anak dari temannya itu adalah perempuan baik.
***
Gavin melengkungkan bibirnya ketika menatap ponsel. Di layar, ada gambar dirinya bersama sang pujaan hati. Gavin mengusap-ngusap layar ponsel tepat pada wajah Nesya. Seketika, ingatannya melayang ketika dia melontarkan kalimat kepada perempuan cantik itu.
"Nes, menikahlah denganku."
Mata Nesya melebar mendengar ucapan Gavin. Bahkan, mulutnya sedikit menganga. "Menikah ...?"
Gavin mengangguk. Dia sudah mantap. Nesya adalah perempuan tepat yang akan menemaninya sepanjang hidupnya. Menggapai mimpi-mimpi indah yang selama ini yang telah Gavin dirajut.
"Tapi, Mas, aku, kan, belum lulus S2."
"Nggak masalah. Menikah sembari menyelesaikan S2, kan, bisa," sahut Gavin dengam nada lembut. Dia tersenyum manis. Berharap Nesya luluh.
Nesya terdiam sejenak. Hatinya diliputi kebimbangan.
Gavin menangkap raut kegelisahan di wajah perempuan yang duduk di hadapannya. "Nggak usah khawatir, Nes. Menikah tidak menjadi penghalang kamu meraih gelar magister. Satu tahun lagi, kamu akan lulus, kan? Kalo kamu menerima, minggu depan aku akan datang langsung bersama kedua orangtuaku."
Gavin tersentak ketika pundaknya ditepuk oleh seseorang. Membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya. Dia menoleh ke samping.
"Ada apa, sih, Al?" tanyanya dengan nada sedikit kesal.
"Dipanggil Papah, Ka. Ditunggu di ruang keluarga," ujar perempuan berambut sebahu itu.
Gavin menghela napas berat. Dia sudah mengira jika Dimas akan membahas perihal rencana perjodohan lagi. Karena Gavin beberapa hari ini, lelaki itu sedikit menghindar berbincang dengan Dimas. Gavin masih fokus mencari keberadaan Nesya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH UNTUK PAK DOSEN
Romance"Vin, kamu harus segera menikah!" Dimas memandang putranya yang baru saja menghabiskan nasi di piring. Kenapa cepat sekali Dimas menyuruh Gavin untuk menikah? Baru satu bulan yang lalu, kejadian menyedihkan nyaris membuat Gavin putus asa karena keke...