Bab 11

261 4 0
                                    

Hai, Teman-teman. Maaf lahir batin, ya. Maaf kalau lama up-nya. Semoga bab ini suka.

Bab 11 udah tayang. Happy reading.🥰


"Gimana tadi malam? Sukses?" Naila mengangkat kedua alisnya ketika Wulan baru saja tiba di meja kerjanya.

Wulan hanya mengacungkan kedua jempolnya.

"Ceritain dong! Masa cuma dijawab dengan dua jempol. Aku, kan, penasaran." Naila pura-pura merajuk.

"Ya, sukses. Aku menerimanya."

"Good job!" Naila mengacungkan dua jempolnya. "Aku sengaja dari kemarin nggak nanya jawaban kamu, Lan. Karena aku udah tahu, kamu bakal menerimanya. Dan, ya, jawabanmu sudah tepat menurutku."

Wulan hanya menyunggingkan senyum. Meski hatinya terasa lega, dia tetap sangsi. Pasalnya, wajah Gavin sejak bertamu sampai pulang hanya wajah datar yang Wulan lihat. Ya, meski Wulan sekilas menemukan senyum tipis ketika menjawab kesediannya menerima perjodohan itu.

Dan yang membuatnya terkejutnya lagi adalah ketika Gavin dan keluarganya berpamitan. Rima sempat mendekat ke arahnya, berbicara pelan tapi penuh penekanan.

"Saya harap, kamu bisa menyesuaikan diri ketika nanti bersanding dengan Gavin. Ya, kamu sudah bisa menilai, kan, kehidupanmu berbeda dengan kehidupan kami."

Wulan sempat tertegun mendengar penuturan wanita paruh baya itu. Wulan semakin bisa menilai jika Rima memang tak tak begitu menyukainya.

"Wulan Ayu Kencana!"

Wulan tersentak. Suara sahabatnya membuyarkan lamunan perempuan itu. Mata Wulan mengerjap. Kemudian meringis malu. "Ya, ada apa."

"Kamu, tuh, kebiasaan, ya. Sering ngalamun kalau diajak ngobrol!"

Wulan tersenyum malu, lalu meminta maaf.

Detik berikutnya, Naila menatap wajah perempuan di depannya yang kini terdiam lagi. Sorot mata Wulan menyiratkan kesedihan.

"Lan, kamu bahagia, kan, dengan perjodohan ini?"

Wulan yang tatapannya ke meja, mendongak. "Aku bahagia, kok, Nai."

"Jangan bohong, Lan. Aku bisa menangkap wajahmu yang murung itu. Harusnya kamu bahagia, kan, punya calon tunangan? Tapi, wajahmu malah seperti nggak bahagia." Suara Naila terdengar serius.

Wulan tertawa. Lebih tepatnya berpura-pura tertawa untuk menutupi wajahnya yang mendung. "Lihat wajahku, Nai. Aku bahagia, kan?" ucapnya dengan nada yang dibuat riang. Perempuan itu tak mau Naila turut merasakan kesedihannya. Sebentar. Kesedihan? Ya, Wulan merasa hatinya sedih karena dua orang. Rima dan Gavin. Dua manusia itu yang membuatnya ragu dan khawatir.

***
Wulan mematut dirinya di cermin. Tubuh mungilnya bergerak ke samping kiri dan kanan. Memastikan pakaian yang dikenakannya cocok. Sudah tiga kali perempuan itu berganti baju.

Seketika Wulan berhenti dari gerakannya. Kenapa dia seantusias ini ketika Gavin mengajaknya keluar? Bukankah sebelumnya dia meragukan lelaki itu. Akan tetapi, kenapa kini dia berbahagia?

Tadi malam, Gavin mengirim pesan kepada Wulan. Jika esok hari akan mengajaknya keluar. Lelaki itu mengajak ke toko buku. Ya, Gavin mengatakan jika membutuhkan teman.

Wulan tak langsung mengiakan ajakan itu. Pasalnya, dia sempat tertegun ketika Gavin mengirimi dia pesan. Apa lelaki itu salah kirim? Akhirnya, setelah berpikir, Wulan menerima ajakannya. Perempuan itu berniat ingin lebih mengenal lelaki itu. Sebelum lamaran dan hari pernikahan tiba. Meski kedua belah pihak belum membahas perihal lamaran dan pernikahan karena Gavin ingin melakukan pendekatan juga.

JODOH UNTUK PAK DOSEN  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang