"Terima kasih." Gavin tersenyum kepada pelayan yang mengantarkan pesanan mereka. Lelaki itu melirik ke arah Wulan. "Ayo, dimakan!"
Wulan mengangguk, kemudian tangan kanannya dicelupkan ke wadah yang ada airnya. Menu makan siang mereka adalah bebek goreng sambal ijo. Itu menu pilihan Wulan sendiri.
Gavin sempat menawari perempuan itu ikan gurame bakar. Tawaran Gavin langsung ditolak karena perempuan itu tak menyukai ikan. Akhirnya, Gavin memberi kesempatan kepada Wulan untuk memilih sendiri menu makanannya. Sementara lelaki itu memesan gurame bakar.
Wulan makan dengan pelan. Menunduk. Sesekali, dia melirik Gavin yang tampak santai. Seperti tengah makan sendiri. Wulan merasa diabaikan.
Wulan mengembuskan napas pendek. Dia akhirnya makan seperti biasa. Seolah tak ada lelaki dingin di depannya. Dia mencoba abai dengan kehadiran Gavin. Toh, lelaki itu juga mengabaikan dirinya.
Wulan ingin belajar menampilkan sifat naturalnya. Bukan yang dibuat dengan apik agar dipuji. Tidak. Wulan tidak mau. Perempuan itu menganggap jika dirinya menampilkan sisi baiknya saja, takutnya ketika mereka menikah nanti. Gavin akan terkejut melihatnya.
Jadi, Wulan bersikap apa adanya sebisa mungkin meski rasa canggung lebih mendominasi. Perempuan itu bukanlah orang yang supel.
Wulan tak peduli jika Gavin mengkritik dirinya. Wulan hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Dia ingin mempunya pasangan yang mau menerimanya apa adanya. Tanpa merubah apa yang ada dalam dirinya.
"Terima kasih, Pak, bukunya." Wulan yang sibuk dengan pikirannya kembali sadar. Dan dia ingat belum mengucapkan terima kasih kepada lelaki di hadapannya.
Gavin yang sudah menghabiskan makan siangnya. Melirik Wulan, dahinya sedikit mengerut.
"Buku yang tadi di toko. Bapak, kan, yang bayarin. Bapak bilang nggak mau diganti."
Gavin menarik bibirnya sedikit ke atas membentuk lengkungan, lalu mengangguk.
Detik berikutnya, hening kembali menyapa mereka. Kedua manusia yang duduk berhadapan itu sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Kamu suka baca novel?" Gavin akhirnya bersuara. Sejak tadi dia sibuk berbalas pesan dengan Deni. Ketika lelaki itu melirik ke perempuan di hadapannya. Wulan tengah membaca buku yang tadi dipilihkannya. Bahkan, perempuan itu tak menyadari jika tengah ditatap oleh Gavin beberapa detik. Wulan terlalu fokus.
Wulan mendongak. Manik matanya bertemu dengan tatapan Gavin yang tengah menatapnya. Entah kenapa, Wulan merasa sorot mata lelaki itu tak dingin meski wajahnya tetap dengan ekpresi datar.
"Ya, Pak," balasnya, tersenyum lalu mengangguk. Wulan ingin mengungkapkan bahwa novel yang tengah dibacanya itu bagus. Tapi, hanya tertahan di tenggorokan.
"Hanya novel aja. Nggak ada yang lain?" Kali ini Gavin tertarik ingin tahu.
"Nggak juga, Pak. Non fiksi juga baca, tapi jarang. Lebih ke novel, sih." Wulan tersenyum. "Bapak suka baca juga kayaknya?"
Gavin tersenyum tipis. "Ya, suka."
***
Wulan memejamkan mata, menarik napas panjang. Perempuan itu menikmati semilir angin yang mengenai wajahnya. Sungguh nikmat. Angin yang datang juga menerpa jilbabnya yang sejak tadi berkibar."Nai, kamu udah tahu belum. Kalau Mas Furqon mau lanjut S2?"
Wulan membuka matanya. Dia menoleh ke arah Naila yang sedang menyantap seblak yang dibawa dia bawa sendiri tadi ketika berkunjung di rumah Wulan.
"Kamu belum tahu?" Naila yang tengah memegang sendok yang berisi seblak, berhenti tepat di depan bibirnya. "Kemarin aku tak sengaja ketemu dia di pasar raya. Kita ngobrol sebentar, terus dia cerita dikit. Katanya mau lanjut S2 di Jogja," lanjutnya lagi. Kemudian menguyah makanan kesukaanya yang sudah masuk ke mulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH UNTUK PAK DOSEN
Romance"Vin, kamu harus segera menikah!" Dimas memandang putranya yang baru saja menghabiskan nasi di piring. Kenapa cepat sekali Dimas menyuruh Gavin untuk menikah? Baru satu bulan yang lalu, kejadian menyedihkan nyaris membuat Gavin putus asa karena keke...