Jalanan tampak lengang. Membuat Gavin mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu ingin segera sampai ke alamat yang dituju.
Setelah kurang lebih lima belas menit perjalanan, Gavin mematikan mesin di pinggir jalan. Lelaki itu turun dari mobil. Berjalan menuju bangunan bercat putih.
Gavin mengucap salam diringi dengan tangan yang mengetuk daun pintu. Tak berselang lama, pintu terkuak menampilkan lelaki dengan kaos hitam dan celana pendek selutut. Gavin masuk setelah dipersilakan.
"Gimana, Vin?" Deni melirik ke arah sahabatnya yang duduk di sofa yang berseberangan dengannya.
Gavin seolah paham ke mana arah pembicaraan Deni. "Ya, seperti janjiku. Aku menerima," ucapnya dengan lirih. Nada suaranya terdengar tak bersemangat.
Deni mengangguk, tersenyum. Kemudian, dia pamit ke belakang. Setelah beberapa menit, lelaki itu membawa nampan yang di atasnya ada dua cangkir kopi cuppocino dan satu toples keripik singkong.
"Terima kasih." Gavin berucap ketika Deni meletakkan kopi cuppocino di hadapannya.
"Kamu udah bertemu berapa kali dengan perempuan itu?" tanya Deni setelah menyeruput kopi cuppocino yang masih mengepulkan asap. Melihat dahi Gavin mengernyit, Deni menambahkan. "Perempuan yang dijodohkan papamu."
"Baru satu kali."
Deni masih menatap Gavin. Dia tak mau menyela ucapan Gavin. Karena sepertinya sahabatnya itu masih ingin berbicara.
"Aku hanya diberi waktu tiga bulan untuk mengenal perempuan itu."
"Tiga bulan?"
Gavin mengangguk. "Papahku nggak mau terlalu lama."
"Bener juga apa yang dikatakan Om Dimas." Deni mengangguk-nganggukkan kepalanya "Lagian, niat baik memang harus disegerakan, Vin." Deni seolah mendukung rencana Dimas. Akan tetapi, lelaki itu mendapat tatapan tajam dari sang sahabat. Deni hanya tertawa.
Hening. Hanya terdengar jarum jam yang berdetak di dinding. Kedua lelaki itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali terdengar notifikasi dari ponsel Deni. Lelaki itu sibuk membalas pesan yang masuk ke ponsel.
Gavin melirik ke arah sahabatnya. "Kalau aku nikah nanti, kamu segera menyusul, Den," celetuk Gavin dengan senyum menyeringai. Dia ingin menggoda sahabatnya yang masih betah melajang. Hanya saja usia Deni lebih muda satu tahun dari Gavin.
Wajah Deni tak jauh berbeda dengan Gavin. Sama-sama memiliki wajah rupawan. Para mahasiswi di kampus banyak juga yang mengidolakan Deni.
"Gampang kalau itu," ucap Deni santai. Dia membuka tutup toples kemudian mengambil isinya. "Kalau sudah menemukan yang cocok. Aku ingin segera melamar. Nggak mau menunggu terlalu lama. Hidup sendiri nggak enak, Vin." Lelaki itu terkekeh.
Gavin hanya mengulas senyum tipis. Dia tahu, sahabatnya tak jauh berbeda dengan dirinya. Tak mudah jatuh cinta dengan perempuan. Jika memang sudah ada yang disuka, maka akan diperjuangakan. Sayangnya, Deni belum menemukan perempuan yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup.
"Bu Desi masih sendiri, Den." Gavin mengulum senyum. "Siapa tahu cocok dengan kamu."
Deni melirik Gavin dengan tatapan tak suka. Sementara Gavin hanya tertawa.
"Kalau aku suka sama Bu Desi, dari dulu sudah kudekati, Vin."
***
Wulan melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Dia dan Naila akan pergi ke pantai Bocor yang berada tak jauh dari rumah mereka. Mungkin memang terlalu pagi untuk pergi ke pantai.Ya, Wulan keluar tadi sekitar pukul 05.15 WIB. Jalanan yang masih lumayan gelap, dia sudah mengendarai motor matic-nya.
Wulan merapatkan sweater-nya dengan tangan kiri karenan udara pagi yang dingin. Sementat tangan kanannya untuk menyetir. Wulan menyukai udara pagi seperti ini meski dingin menusuk tulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH UNTUK PAK DOSEN
Romance"Vin, kamu harus segera menikah!" Dimas memandang putranya yang baru saja menghabiskan nasi di piring. Kenapa cepat sekali Dimas menyuruh Gavin untuk menikah? Baru satu bulan yang lalu, kejadian menyedihkan nyaris membuat Gavin putus asa karena keke...