Bab 1

1.2K 14 6
                                    

"Gavin, kamu harus segera menikah." Lelaki dengan rambut yang sudah mulai memutih memandang putranya yang baru saja menghabiskan nasi di piringnya.

Gavin yang baru saja menghabiskan sarapannya disuapan terakhir, hampir tersedak karena belum sempat ditelan. Tangannya bergerak cepat mengambil gelas berisi air putih, lalu meneguknya.

Kenapa cepat sekali lelaki di depannya menyuruh menikah? Baru satu bulan yang lalu kejadian yang nyaris membuatnya putus asa karena kekecewaan yang sangat mendalam menimpa dirinya.

"Gavin masih mencari keberadaan, Nesya, Pah," sahut Gavin sembari memandang Dimas sekilas. "Gavin berangkat dulu. Takut terlambat pergi ke kampus." Dia memundurkan kursi dan beranjak menuju kedua orangtuanya untuk mencium tangan mereka.

"Ingat umur, Vin." Dimas berkata setelah Gavin usai mencium tangannya.

Gavin tak menyahut. Lelaki itu berpikir bahwa Dimas terlalu ikut campur urusan hidupnya. Sejak kecil bahkan sampai dewasa dia menganggap Dimas terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya sehingga mengabaikan dirinya. Akan tetapi, ketika dirinya sudah bisa menentukan pilihan hidupnya, Dimas baru peduli kepadanya.

"Pokoknya, kamu harus cepat menikah. Umur kamu sudah tiga puluh tahun. Sudah matang untuk menikah," sahut Dimas lagi, kali ini nada suaranya sedikit penuh penekanan.

"Gavin berangkat dulu, Pah." Gavin langsung melenggang pergi meninggalkan Dimas yang masih menatapnya. Gavin sengaja menghindar kalimat-kalimat yang akan dilontarkan kembali oleh Dimas.

Dimas menghela napas kasar.

"Udah, Pah, biarin aja." Sang istri mengelus lengan suaminya. Berharap lelaki di sampingnya bersabar. "Dia butuh waktu untuk melupakan kejadian satu bulan yang lalu."

"Papah hanya khawatir karena umur Gavin udah 30 tahun, Ma."

"Ya, tapi jangan-jangan tergesa-gesa juga, Pah," sahut Rima santai. Dia kembali menatap ponsel-membalas pesan teman-teman arisan. Baginya, mengobrol dengan mereka adalah hiburan tersendiri.

***
Sinar hangat muncul dari mentari bersinar cerah pagi ini. Tapi, tak secerah hati lelaki yang sedang bersiap-siap untuk pergi mengajar hari ini.

Meski kejadian sudah satu bulan lebih berlalu, tetapi hati Gavin masih didera kecewa. Dia benar-benar tak habis pikir, kenapa perempuan yang dicintainya pergi menghilang begitu saja. Bahkan, nomor teleponnya sudah tak bisa untuk dihubungi.

Terdengar pintu diketuk. Diiringi suara gadis yang memanggil Gavin.

"Sebentar." Suara lelaki bertubuh jangkung itu terdengar malas. Dia pun beranjak menuju ke asal suara.

"Ayo, sarapan, Ka. Sudah ditunggu Papah sama Mamah." Gadis dengan rambut sebahu itu mengingatkan. "Tumben, Kakak santai. Biasanya tepat waktu. Bangun kesiangan, ya?" cerca Alia.

"Udah bangun dari tadilah," jawabnya. Gavin berbalik ke belakang mengambil tas kerjanya. "Ayo, katanya suruh sarapan." Gavin menghentikan langkahnya ketika Alia, adiknya masih berdiri di ambang pintu. Kemudian mereka berjalan menuju meja makan.

Mata Gavin berbinar ketika sampai di meja makan. Gavin menelan ludahnya melihat nasi goreng seafood kesukaanya. Tak menunggu lama, dia langsung menarik kursi, lalu menuangkan nasi berwarna cokelat itu di piring yang berada di depannya. Lelaki itu makan begitu lahap, seolah lupa dengan kisah pilu yang dari kemarin mengganggu pikirannya.

Suasana kini berganti hening. Hanya terdengar suara denting sendok yang beradu dengan piring. Gavin meneguk air putih hingga tinggal separuh. Meski nasi goreng yang dia makan pedas. Nasi di piringnya sudah bersih.

"Jangan lupa, Vin, pesan Papah." Dimas berkata setelah meneguk sisa kopi yang hanya tinggal separuh.

Mata Gavin memicing menatap Dimas yang sedang mengambil tisu kemudian mengelap bibirnya pelan. Kini, Gavin paham apa yang diucapkan Dimas. Hatinya merasa kesal karena sang papa terus saja menyuruh dia menikah.

"Aku, kan, sudah bilang, Pah. Aku masih mau mencari Nesya dulu," sahut lelaki itu. "Lagian kenapa, sih, Papah maksa banget nyuruh Gavin menikah? Selama ini Papah nggak pernah peduli sama aku, kan?" Lelaki itu berbicara dengan nada rendah. Meski sebenarnya lelaki itu ingin berbicara dengan suara yang lebih tegas dan penuh penekanan. Tapi, Gavin lebih memilih untuk menahannya. Dia ingat pesan mendiang neneknya. Agar tetap berbicara lembut di depan kedua orangtuanya.

Hampir satu tahun, Gavin ingin berdamai dengan lukanya yang sudah dipendam lama. Dia belajar agar tidak membangun dinding tebal dengan kedua orangtuanya. Meski dirinya merasakan banyak luka yang tak mudah untuk disembuhkan.

"Papah hanya khawatir karena umur kamu sudah menginjak 30 tahun." Kali ini suara Dimas terdengar lebih lembut.

"Tapi, nggak harus tergesa-gesa, Pah. Aku yakin Nesya akan kembali."

"Nggak usah nunggu Nesya. Jika dia benar-benar serius, tidak mungkin dia menghilang tanpa kabar di saat hari lamaran sudah ditentukan."

Gavin bergeming. Dia membenarkan ucapan Dimas. Mengapa Nesya menghilang tanpa kabar? Padahal lamaran sudah disetujui oleh keluarga masing-masing.

"Atau Papah yang akan carikan jodohkan untuk kamu? Kamu mau, kan?"

Gavin menggeleng. Perjodohan tidak ada dalam kamus hidupnya. Gavin sudah bertekad akan mencari pendamping hidupnya sendiri. "Gavin nggak mau ada perjodohan, Pah."

"Kenapa? Takut nggak cinta? Cinta bisa datang setelah kalian menikah nanti, Vin."

"Papah beneran mau jodohin Gavin?" tanya Rina yang sedari hanya menyimak perbincangan suami dan putranya. "Emang udah ada calon?"

Dimas hanya tersenyum tipis.

***

Gavin menepikan mobilnya di parkiran khusus dosen. Kemudian dia mematikan mesin sebelum turun dari kendaraan. Lelaki itu melihat arloji di tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 06.55.

Dia pun bergegas keluar dari mobil. Gavin berjalan agak cepat menuju gedung berlantai dua. Sesekali lelaki itu berpapasan dengan para mahasiswi. Dia hanya mengangguk ketika mereka menyapanya. Mereka terpana dengan penampilan Gavin pagi ini; celana bahan dipadukan dengan kemeja biru tua.

"Pagi, Pak Ganteng." Perempuan bertubuh semampai itu menyapa ketika melihat Gavin. Desi, dosen yang mengajar di fakultas yang sama dengan lelaki itu tersenyum semanis mungkin. Berharap Gavin memuji penampilannya pagi ini.

"Pagi, " balas Gavin singkat. Dia menahan senyum ketika melihat lipstik yang berada di bibir Desi sedikit berantakan. Mungkin perempuan itu tidak bercermin terlebih dahulu tadi, pikirnya.

***

"Selamat pagi." Gavin menyapa para mahasiswanya.

"Pagi, Pak." Para mahasiswa menjawab serempak.

"Pak, makin hari makin ganteng aja, sih?" celetuk salah satu mahasiswi. Heni, perempuan yang terkenal percaya diri dan cerewet di kelas.

"Huuu ...." Sorakan pun terdengar dari para mahasiswa di ruangan itu. Kelas pun menjadi riuh karena ulah Heni. Perempuan itu tak peduli. Dia sudah lama mengagumi pak dosennya itu.

"Sudah, jangan ramai! Saya absen dulu." Dengan suara tegas Gavin memberi peringatan kepada para mahasiswanya. Setelah mengabsen, dilanjut dengan memberi materi mata kuliah hari ini.

Sesekali Gavin menatap mahasiswa yang duduk di kursi paling belakang. Biasanya, mereka tidur atau bermain ponsel. Gavin tak menyukai jika ada mahasiswa tidak menyimak materi yang telah dia berikan.

Setelah 90 menit berlalu, Gavin menghela napas sejenak. Lalu berkata, "Ada yang mau ditanyakan untuk materi hari ini?" Pandangan Gavin mengedar menatap para mahasiswa yang sedari tadi menyimak penjelasan darinya.

"Pak, saya mau tanya." Heni mengangkat tangan kanannya. "Dulu waktu hamil, ibunya Pak Gavin ngidam apa, sih? Kok bisa Bapak jadi ganteng banget."

Lagi, suara sorakan terdengar. Kali ini semakin riuh. Sementara, Gavin tak menyahut. Dia hanya mengulas senyum tipis. Lelaki itu tahu, jika Heni hanya sedang bergurau.

JODOH UNTUK PAK DOSEN  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang