46. Jika Ingin Bertahan

920 96 44
                                    

Ketahuilah bahwa rasa syukur merupakan tingkatan tertinggi, dan ini lebih tinggi daripada kesabaran, ketakutan (khauf), dan keterpisahan dari dunia (zuhud)." – Imam Al-Ghazali

46. Bukan Akhir

"Alhamdulillah anak Umi udah dateng," sambut Umi Fatimah tersenyum senang.

Ailin membalas dengan senyuman pula. "Ayo masuk, Nak," aja Umi Fatimah.

"Tunggu, Umi." Ailin menahan tangan Umi Fatimah yang ingin menggandengnya. "Maaf, boleh Ailin tinggal di asrama aja?" tanya Ailin hati-hati.

"Tiba-tiba, Mbak?" celetuk Gus Azam. Berpura-pura tidak tahu apapun.

Umi Fatimah menatap mata Gus Arez yang berdiri di belakang istrinya. Sedangkan teman-teman Ailin sudah lebih dulu kembali ke asrama.

"Boleh, Umi?" tanya Ailin tanpa menjawab pertanyaan Gus Azam.

Gus Arez menatap Umi Fatimah, menganggukkan kepala, meminta agar Umi Fatimah memberikan izin juga pada istrinya.

Umi Fatimah mengangkat kedua sudut bibir. "Udah izin ke suami kamu?" tanya balik Umi Fatimah.

Ailin menengok ke belakang sebentar. Ia melihat Gus Arez yang hanya menatap tulus ke arahnya. "Udah kok, Umi," jawabnya.

Umi Fatimah mengangguk lalu mengelus pundak Ailin. "Iya, Nak. Enggak apa-apa," ujar beliau.

"Sampai kapan, Mbak?" tanya Gus Azam.

Ailin menunduk. Tak tahu harus menjawab apa.

"Kapan pun yang Starla mau, di waktu hati senang," Gus Arez yang menjawab.

Gus Azam bersuara, "Atan? Nggak mau diurus-"

"Ada abang, kan?" Gus Arez menyela.

"Adek, udah .... Gih, masuk duluan," Umi Fatimah menyuruh.

Gus Azam menghembuskan napas kasar lalu masuk lebih dulu tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi. Begitulah anak bungsu keluarga Al-Farizi, seseorang yang selalu menyatakan secara blak-blakan apa yang ada di pikirannya. Berbeda dengan Gus Arez yang memilih diam, Gus Aznar yang memberi saran walaupun sedikit sarkas di dengar, juga adik mereka Arya yang tak mengeluarkan kata namun sangat ketara tampang tak suka dari ekspresi wajahnya.

"Maaf, Umi. Tapi Ailin pasti ke sini, Ailin nggak akan lupa sama tanggung jawab sebagai seorang Ibu," katanya merasa bersalah kepada Umi Fatimah.

"Iya, Ailin. Nggak apa-apa, di ndalem orangnya juga banyak, jadi kamu tenang aja, ya?"

Ailin tersenyum tipis. "Kalau gitu, Ailin ke asrama sekarang ya, Umi?" pamit Ailin.

"Sendiri?" tanya Umi Fatimah.

"Iy-"

"Sama Arez, Umi," sela Gus Arez membuat Ailin hanya bisa diam tanpa menyanggah.

Ailin menatap Umi Fatimah lalu dibalas anggukan paham oleh beliau. "Arez di sini aja, bantu Umi ke dalam. Kaki Umi tiba-tiba sakit," kata Umi Fatimah.

Gus Arez ingin menyahut. Namun tidak jadi karena Ailin lebih dulu memberikan salam setelah ia menyalami tangan Umi, "Ailin pamit dulu, Umi. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Iya, Nak. Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Umi Fatimah tersenyum tipis.

Gus Arez bergeming saat dilalui oleh istrinya sendiri. Arah matanya mengikuti langkah Ailin sampai punggung perempuan itu sudah tak dapat ia lihat. Lalu, Gus Arez menatap sang Umi. "Arez gendong ke dalam ya, Umi? Nanti Ares bantu urut kaki Umi di dalam." Gus Arez tetap tersenyum padahal matanya berkaca-kaca.

Jodohku Santriwati Buta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang