45. Hari Yang Ditunggu

1.1K 103 10
                                    

45. Membuka Mata

Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu semua anggota keluarga, Dokter akan membuka perban mata Ailin pasca operasi satu minggu yang lalu. Selama seminggu sebelum perban dibuka, Ailin memang menginap di rumah sakit karena mengikuti kemauan suaminya.

"Ayah sama Bunda beneran nggak bisa ke sini, ya?" tanya Ailin sedih.

"Maaf ya, Nak. Ayah kamu sakit, kalau ke sana, kondisi Ayah belum memungkinkan. Bunda juga nggak bisa tinggalin Ayah kamu sendiri di sini," jawab Bunda Zahra memberi pengertian dari seberang sana.

Gus Arez memegang handphonenya, mengarahkan ke Ailin yang sedang duduk di atas brankar itu. Mereka sedang vidio call.

"Ayah sama Bunda memang nggak bisa berhadir di sana. Tapi kamu harus percaya, doa Ayah sama Bunda selalu menyertai kamu, Nak. Kami ada di sana, tersenyum senang karena kamu akan bersegera melihat dunia," ucap Bunda Zahra tersenyum.

Ailin mengangguk kecil. "Tapi, nanti Ayah sama Bunda bakal ke sini, 'kan?"

"Iya, pasti Ayah sama Bunda ke sana. Untuk saat ini, ada keluarga Arez yang akan mendampingi kamu. Jadi, kamu tersenyum, oke? Agar bahagianya terasa," kata Bunda Zahra.

Ailin tersenyum. "Ailin usahain. Semoga Ayah cepet sembuh, supaya bisa ke sini. Ailin kangen banget sama Ayah Bunda."

Bunda Zahra ikut tersenyum, terlihat beliau menyeka air mata. "Aamiin. Bunda tutup ya, Nak? Udah waktunya Ayah minum obat."

"Iya, Bunda."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Tut.

Saat operasi, orang tua Ailin memang datang. Namun saat pembukaan perban mata hari ini, mereka tak bisa berhadir. Gus Arez sempat mengatakan untuk ikut serta melihat moment Ailin lewat handphone seperti tadi. Namun, Bunda Zahra menolak.

"Assalamu'alaikum," salam banyak orang memasuki ruangan.

"Wa'alaikumussalam."

"Akhirnya, Lin. Aku seneng banget," ucap Sania yang langsung menghampiri Ailin diikuti Hesti.

Ailin hanya merespon dengan senyuman.

"Selamat ya, Lin. Sebentar lagi kamu bakal bisa lihat," ucap Hesti tersenyum tipis.

"Syukron, Hes," balas Ailin.

"Permisi, sekarang kita buka perbannya, ya?" Dokter datang diikuti Suster.

"Iya, Dok," jawab Sania sumringah.

"Alangkah baiknya sebelum perbannya dibuka, kita berdoa dulu kepada Allah," kata Abi Ali membuat Sania tersenyum kikuk.

"Bener, Dok. Maksudnya saya, kita berdoa dulu, baru perbannya dibuka," ujar Sania membuat yang lain terkekeh.

Setelah selesai berdoa. Dokter mulai membuka perban Ailin dengan hati-hati.

"Sekarang, buka matanya pelan-pelan, ya?" pinta Dokter kepada Ailin.

Suasana menjadi sedikit berbeda menunggu respon dari Ailin.

Saat mata Ailin penuh terbuka. Arah mata Ailin langsung tertuju kepada orang yang berposisi paling dekat dengannya.

Ailin menangis dengan kedua sudut bibir terangkat. "A-aku, a-aku bisa lihat sekarang," ucapnya terharu membuat semuanya mengucapkan syukur.

"Kamu ...?" Ailin mendongak, menatap Gus Arez dengan lamat.

"Dia suamimu, Nak," jawab Umi Fatimah membuat Ailin langsung memeluk Gus Arez erat.

Jodohku Santriwati Buta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang